Chereads / Spring Breeze - 春のそよ風 / Chapter 19 - Delapan Belas

Chapter 19 - Delapan Belas

Sinar matahari yang merambat masuk lewat sela-sela jendelanya membuat Haru mengernyit. Kemudian suara kicauan burung yang beradu dengan bunyi kereta api akhirnya berhasil membangunkannya. Haru meregangkan kedua lengannya sambil menguap. Lalu saat ia berusaha keluar dari kotatsu, Haru merasakan tumitnya menyentuh sesuatu. Ia terbangun duduk ketika mengingat kalau Ryu menginap di rumahnya.

Setelah mengobrol cukup lama dan menyadari waktu sudah lewat tengah malam, Haru akhirnya menyarankan Ryu untuk menginap di rumahnya. Apalagi dengan kondisi bahu Ryu yang belum sepenuhnya pulih. Akhirnya Haru dan Ryu memutuskan untuk tidur di bawah selimut kotatsu yang hangat di ruang tamu.

Haru menarik dirinya keluar dari kotatsu dengan sangat hati-hati. Lalu ia menarik selimut Ryu yang tersibak menutupi bahunya. Haru tahu ia harus buru-buru bersiap untuk berangkat kerja, namun entah mengapa ia malah berjongkok tak jauh di sebelah Ryu, memandang lelaki itu yang terlelap sambil memeluk lutut.

Haru memiringkan wajah sambil tersenyum samar. Ia baru menyadari tentang fakta bahwa Ryu adalah lelaki pertama yang pernah menginap di rumahnya. Dan fakta bahwa Ryu adalah satu-satunya teman lelaki yang membuatnya sangat nyaman - begitu nyaman sampai ia bisa tertidur pulas di sampingnya.

Ryu tampak begitu tenang saat tidur. Rambutnya yang lebat jatuh menutupi dahinya, dagunya sesekali berkerut samar, seperti sedang bermimpi. Napasnya teratur dan Haru dapat mendengar bunyi dengkuran pelan ketika Ryu bergerak mengubah posisi kepalanya. Haru begitu menikmati pemandangan di hadapannya sampai-sampai ia enggan pergi dari sana.

Ada dorongan yang begitu kuat dalam dirinya yang membuatnya ingin mengulurkan tangan, meraih wajah Ryu. Haru ingin tahu seperti apa rasanya bersentuhan dengan Ryu, seperti apa rasanya bisa memeluk lelaki itu, bagaimana rasanya bisa berada begitu dekat dengan seorang laki-laki. Namun senyuman kecil yang sejak tadi menghiasi wajah Haru perlahan-lahan menghilang ketika mengingat apa yang terjadi kemarin. Ia menarik lagi sebelah tangannya yang sudah setengah terulur kepada Ryu.

Haru kemudian menarik diri, memaksa tubuhnya untuk bangkit berdiri dan menyeret kaki memasuki kamar mandi. Lalu ia berdiri mematung di depan cermin wastafel yang memantulkan bayangannya. Haru menggigit bibir.

Ia tahu apa yang mulai terjadi pada dirinya. Jantungnya yang berdebar saat berada di dekat Ryu, keinginan yang begitu kuat untuk menyentuh lelaki itu dan bagaimana ia begitu membenci fakta kalau ada wanita lain yang menginginkan Ryu. Haru menyadari perubahan-perubahan kecil pada dirinya itu sejak beberapa hari yang lalu. Tepatnya, sejak Ryu berusaha menyelematkannya malam itu.

Haru sadar kalau ia telah jatuh cinta pada Tanaka Ryu. Namun di saat yang bersamaan, sesuatu yang begitu kuat menahan langkahnya. Menariknya dari melangkah pada Ryu yang kini berdiri di hadapannya, mengulurkan sebelah tangannya... menantinya.

Ryu adalah orang pertama yang menyadarkan Haru kalau ia harus melakukan sesuatu pada ketakutan terbesarnya, pada trauma gelap yang selalu berusaha untuk mencengkeramnya. Bahwa ia tidak boleh terpuruk begitu lama di masa lalu dan bahwa ia harus melangkah pada masa depan yang menantinya. Kepada permulaan baru, seperti makna nama pemberian orang tuanya.

Haru merasakan dirinya berdiri tegap, menatap bayangan wajahnya di dalam cermin dengan wajah yang terangkat tinggi. Lalu ia menarik napas dalam-dalam dan mengangguk mantap.

***

"Ya... aku tidak keberatan. Kapanpun waktu yang tepat, aku akan menyamakannya... terima kasih, terima kasih banyak, Dokter. Sampai ketemu besok..."

Ryu samar-samar dapat mendengar suara Haru yang berdiri tak jauh darinya. Ia kemudian mengernyit saat mencium aroma kopi yang tajam. Ia merasakan aliran rasa sakit di bahunya ketika ia berusaha bangkit duduk di kotatsu. Meski luka tusuknya berangsur membaik, Ryu masih meringis kesakitan setiap merasakan rasa sakit di punggungnya.

"Kau sudah bangun?" tanya Haru yang sedang menuangkan kopi ke dalam dua cangkir kosong di dapur.

"Ohayou. Kau tidur nyenyak?" tanya Ryu sambil setengah menguap.

Haru meletakkan dua cangkir kopi di atas meja lalu duduk bersimpuh di sebelah Ryu. "Hmm, tidurku baik-baik saja. Bagaimana denganmu? Lukamu tidak apa-apa?"

Ryu mengangguk. "Sepertinya aku harus pulang untuk minum obat dan mengganti perban lukaku."

"Oh, aku bisa melakukannya kalau kau tidak keberatan," ucap Haru sambil menyeruput kopinya.

Ryu meraih cangkir kopinya sambil menggeleng, "Tidak. Aku tidak ingin kau terlambat. Kau tidak mau membuat bayi-bayi menangis karena merindukanmu, kan?" Ryu tersenyum lebar lalu menyesap kopinya sebelum melanjutkan, "Lagipula Yui akan membantuku."

Haru mengerjap begitu mendengarnya, "Apa?"

"Aku sudah berjanji untuk mengantar Yui berkeliling Tokyo hari ini. Dan karena Akira harus bekerja, aku meminta bantuan padanya untuk mengganti perbanku," jelas Ryu, santai.

Haru terdiam menatap cangkir kopi dalam genggamannya. Lalu ia menggigit sudut bibirnya sebelum bertanya, "Jadi, kalian teman dekat di Kumamoto?"

Ryu berdeham dan tampak berpikir sejenak. "Hmm, begitulah. Hubungan keluarga kami cukup baik dan karena hubungan bisnis, aku dan Yui sering bertemu dalam pertemuan keluarga. Aku sudah mengenalnya sejak lulus sekolah dasar. Kami sering mengobrol dan membicarakan beberapa hal."

"Seperti apa?"

"Seperti masalah sekolah, keluarga dan teman-teman. Hal-hal yang membosankan."

Haru mengangguk sambil memaksakan seulas senyuman, "Hal-hal membosankan seperti warna kesukaanmu, makanan favoritmu dan semacamnya?"

Ryu mengangkat sebelah bahu saat menjawab, "Begitulah."

Haru mengerutkan dagunya samar. Ia tampak sibuk dengan isi pikirannya selama beberapa detik sebelum akhirnya bangkit berdiri dan mengambil jaketnya yang tergantung di balik pintu kamar. Setelah mengenakan jaket, Haru mengeluarkan sepatu dan memakainya sambil berkata, "Aku pergi dulu. Aku yakin kau tidak mau terlambat untuk kencanmu dengan Yui. Jadi, cepatlah bersiap-siap dan pergi."

"Kencan?" tanya Ryu saat berjalan menghampiri Haru di ambang pintu. "Aku tidak-,"

"Jangan lupa mengunci pintu saat kau pergi. Bersenang-senanglah." Haru mengatakan itu sambil membanting pintu, menutupnya sepenuh tenaga hingga membuat Ryu hampir melangkah mundur.

Ryu menatap bagian belakang pintu sambil mengerjap bingung. Ia menelengkan kepala untuk berpikir namun bunyi ponselnya yang berdering nyaring menarik perhatiannya. Ryu buru-buru menjawab telepon yang masuk, "Halo? Yui? Oh, kau sudah sampai? Aku akan tiba di sana dalam setengah jam. Apa kau keberatan menunggu?"

***

"Kuharap suasana hatimu yang buruk itu tidak akan membuat bayi-bayi di sini menangis," komentar Ai sambil meletakkan salah satu bayi di dalam inkubator dengan hati-hati.

Haru mengerjap sambil berdeham. "Suasana hatiku baik-baik saja."

"Oh, benarkah? Kau sudah memberengut seperti itu sejak pagi. Aku bahkan harus berpikir dua kali untuk mengajakmu bicara."

Haru sedang duduk di salah satu bangku yang terletak di sebelah ranjang bayi ketika ia menghembuskan napas dengan kasar. "Apa menurutmu seorang pria dan wanita bisa hanya berteman saja?"

Ai mengerutkan keningnya samar. Kemudian ia mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi dan tersenyum lebar. "Oh! Aku tahu apa yang sedang kita bicarakan. Maksudku, siapa yang sedang kita bicarakan."

"Jangan berpikir macam-macam. Jawab saja pertanyaanku," ujar Haru sambil bersedekap dan menunduk menatap lantai.

Setelah memastikan semua bayi telah tertidur, Ai meredupkan lampu ruangan kemudian duduk di bangku kosong di sebelah Haru. Ia lalu bersandar pada punggung kursi sambil setengah berbisik, "Hmm, menurutku sepertinya hal itu mustahil. Karena dari mulanya, pria dan wanita diciptakan untuk saling menemani. Kau tahu maksudku? Menemani satu sama lain sampai tua, di dalam pernikahan. Bukankah itu alasan Tuhan menciptakan Hawa? Dan pria dan wanita mempunyai daya tarik untuk memikat satu sama lain. Jadi kalau ada pria dan wanita yang mengaku kalau mereka 'hanya berteman', aku bisa memastikan salah satu dari mereka memiliki perasaan rahasia yang terpendam."

Haru langsung mendelik, melirik Ai yang menyipitkan kedua mata sambil tersenyum jail. "Oh, aku tidak percaya ucapanmu."

"Apa? Kenapa?"

"Kau tidak berpihak padaku!" Haru setengah mengerang lalu bangkit berdiri.

"Aku justru memihakmu! Bukankah kita sedang membicarakan Ryu? Dan aku yakin dia punya perasaan yang sama denganmu."

Haru menghela napas panjang sebelum akhirnya berjalan keluar dari ruang bayi dan menuju ruang tunggu karyawan. Haru mengambil gelas kertas, mengisinya dengan air hangat lalu menegaknya dengan cepat. Sambil duduk di salah satu kursi yang mengelilingi meja, Haru menyandarkan kepala di atas lengan.

Penjelasan Ai membuat Haru langsung membayangkan sosok Yui yang tersenyum padanya malam itu. Yui yang bertubuh tinggi, memiliki kaki jenjang dan postur tubuh yang sempurna. Laki-laki mana yang bisa bilang 'tidak' pada wanita seperti itu? Bahkan meski Ryu tidak memiliki perasaan yang sama, Haru yakin lelaki itu akan terima saja jika Yui tiba-tiba menciumnya atau...

"Ugh..." erang Haru sambil membenamkan wajah di sudut lengannya.

DRRT-DRRT-DRRT!

Haru mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya kemudian menjawab telepon yang masuk. "Halo?"

"Haru? Apa kau akan datang menjenguk hari ini?"

Suara ibunya di seberang sana langsung membuat Haru bangkit duduk. "Ibu? Bagaimana keadaan Ayah?"

"Sepertinya penjelasannya terlalu panjang untuk dimengerti lewat telepon."

"Ibu bisa memberi tahuku nanti. Aku akan datang menjenguk malam ini. Sampai ketemu."

"Hmm, hati-hati."

Haru menutup telepon lalu menghembuskan napas panjang. Ia benar-benar berharap ayahnya baik-baik saja karena kalau tidak, ia tidak tahu apa yang akan hal itu lakukan pada hidupnya yang sudah cukup rumit.

***

"Dan inilah perhentian terakhir kita hari ini," Ryu merentangkan sebelah lengannya yang tak dibebat ke arah gedung di hadapannya setelah menyeberang jalan.

Sebuah papan kaca dengan tulisan raksasa bertulisan Nezu Museum di samping pintu masuknya menarik perhatian Yui. "Kudengar museum ini salah satu museum terbaik di Tokyo."

"Ya, sebenarnya aku tidak begitu suka museum. Tapi, ini salah satu tempat yang harus kau kunjungi kalau datang ke Tokyo, bagaimana? Kau mau masuk?" Ryu memiringkan wajah sambil tersenyum lebar.

Nah, siapa yang bisa bilang 'tidak' pada lelaki yang memiliki senyuman seperti itu? Yui tersenyum kecil lalu mengangguk, "Ayo."

Setelah membayar tiket masuk, Ryu dan Yui memasuki museum dan mulai berjalan berkeliling. Mereka mengamati patung pahatan Buddha, ukiran-ukiran seni dan sesekali mengomentari lukisan abstrak dengan kritik pedas karena mereka tidak mengerti apa arti dari bercak warna-warni yang tak bermotif. Ryu meniru beberapa gerakan patung yang dipajang, membuat Yui tertawa sampai merasakan otot-otot di perutnya menegang.

Ryu tidak banyak berubah. Meski sudah bertahun-tahun tidak bertemu, tetapi lelaki itu masih saja senang bergurau dan membuatnya tertawa. Dan Yui, masih menyukai keberadaannya di dekat lelaki itu. Berada di dekat Ryu terasa begitu nyaman dan menyenangkan.

Sejak kecil, Yui selalu membenci pertemuan keluarganya dengan keluarga Tanaka. Kedua orang tuanya hanya membicarakan hal-hal membosankan tentang daging, penjualan dan angka pemasaran yang sama sekali tak dimengerti Yui. Ia begitu bosan sampai-sampai hampir di setiap pertemuan, ia selalu menyendiri untuk mencari angin segar dan bermain di perkarangan rumah keluarga Tanaka yang luas. Percakapan pertama mereka dimulai sejak Yui mencoba memetik setangkai bunga mawar di halaman dan Ryu menghentikannya sambil berkata, "Kau tahu, kalau kau memetiknya, bunga itu akan mati kalau tidak segera ditaruh di dalam air, bukan?"

Ryu mengajarinya bagaimana caranya berkebun, sebuah keahlian yang dipelajari dari ibunya. Kemudian percakapan tentang tumbuh-tumbuhan itu beralih kepada perbincangan soal sekolah, permainan komputer dan buku-buku komik lucu yang ditunjukkan Ryu kepadanya. Beberapa pertemuan kemudian, Yui mulai menunggu-nunggu kapan ia dapat berkunjung ke rumah keluarga Tanaka lagi. Kapan ia dapat melihat Ryu lagi.

Beberapa tahun berlalu, Yui dan Ryu mulai sibuk dengan kegiatan mereka di SMA. Sejak itu, Yui hampir tidak pernah melihat Ryu lagi di pertemuan keluarga mereka yang dilakukan setiap bulan. Lalu, Yui pun memutuskan untuk menggunakan kegiatan ekstrakulikuler sebagai alasannya untuk tidak mengunjungi keluarga Tanaka. Hanya seperti itu, ia dan Ryu tak pernah bertemu lagi.

Dan meski sudah bertahun-tahun berlalu, Yui tidak pernah berpikir kalau ia masih menyukai keberadaan Ryu di dekatnya.

Setelah berkeliling cukup lama, Yui dan Ryu memutuskan untuk istirahat di sebuah kafe di lantai dasar yang dikelilingi dengan dinding-dinding kaca dimana pemandangan taman hijau di luar serta sinar matahari menembus masuk ke dalam. Ryu mengambil tempat duduk untuk dua orang di samping jendela kaca, menunggu Yui yang kemudian datang membawa dua cangkir teh hijau panas dan sepotong kue.

"Jadi bagaimana kehidupanmu selama ini?" tanya Yui saat ia mengambil tempat duduk di hadapan Ryu.

Ryu menarik napas lalu tersenyum saat menjawab, "Kehidupanku baik-baik saja. Membosankan, tapi menyenangkan. Aku menyukai pekerjaanku."

"Mengajar di sekolah?"

Ryu mengangguk sambil menyesap teh panasnya. "Aku tahu. Aku?" Ryu mengibas sebelah tangan ke arah tubuhnya, "Seseorang sepertiku mengajar anak-anak. Kau pasti bertanya-tanya apa yang mereka pelajari dariku."

Yui tertawa ringan dan menggeleng, "Tidak. Menurutku sepertinya mereka menyukaimu."

Ryu menjentikkan jari, "Betul sekali."

Jeda sejenak. Beberapa detik yang lama berlalu dalam keheningan, sampai Yui kembali membuka suara. "Jadi, gadis yang kutemui di rumah sakit hari itu... apa dia..."

Yui tak melanjutkan, membuat Ryu menebak maksud tatapan Yui yang kini menyipitkan mata sambil tersenyum menggoda. Lalu Ryu tertawa dan menundukkan wajah. Sebelum menjawab, ia menarik napas yang panjang dan menghembuskannya. "Kami... dia dan aku... entahlah. Untuk saat ini, kami hanya berteman."

Ryu menunduk menatap cangkir teh panas di hadapannya, menghindari pandangan mata Yui cukup lama. Dan siapapun yang melihat gerak-gerik itu, pasti mengerti kalau lelaki itu tak menyukai apa yang baru saja diucapkannya. Ryu mengharapkan yang sebaliknya. Yui mengangguk, mengerti. Lalu ia menghela napas lalu memutuskan untuk menarik diri.

"Jadi," ucap Yui, memecahkan keheningan, "ke mana tujuan kita selanjutnya?"