Ryu menatap layar ponselnya dengan alis berkerut. Akira yang memandangnya dari kejauhan akhirnya mendesah, "Aku hampir berpikir kau bisa memecahkan layar ponselnya jika memelototinya seperti itu."
Ryu tak mengalihkan pandangannya ketika menjawab, "Dia tidak menjawab teleponku. Dia tidak membalas pesanku. Dan dia, tidak datang!"
Akira memungut bungkus plastik roti yang bertebaran di atas meja ruang tamu, sisa makan malam yang ditinggalkan murid-murid Ryu. Sambil membuangnya ke tempat sampah, ia menyahut, "Aku yakin dia punya alasan yang bagus."
"Oh, dia sebaiknya memilikinya karena aku sangat membutuhkan penjelasan." Ryu bangkit berdiri dari sofa lalu berjalan memasuki kamarnya. Dan ketika kembali, Ryu sudah mengenakan mantel dan bersiap-siap pergi.
"Kau mau kemana?" tanya Akira, seolah ia tidak tahu jawabannya.
"Mendengarkan penjelasannya," jawab Ryu, singkat sambil memasukkan sebelah lengannya ke dalam mantel dengan hati-hati.
Akira tidak pernah tahu kalau Ryu bisa begitu keras kepala. Sosok Ryu yang ia kenal selama ini tak pernah menunjukkan sisi seperti ini. Akira bahkan hampir tidak pernah melihat Ryu mengomel dengan geram meski ia yakin banyak sekali hal yang membuat temannya itu marah. Selama ini, Akira mengenal Ryu sebagai seseorang yang tenang. Sangat bertolak belakang dengan apa yang ada di depan matanya saat ini.
"Tapi sekarang sudah jam 12 malam," Akira memperingatkan, ikut berdiri dan berjalan mengikuti Ryu yang kini mengambil kunci apartemen di atas kulkas.
"Ya, itulah masalahnya. Sudah jam 12 malam dan belum ada kabar dari Haru."
"Ngomong-ngomong, bagaimana dengan Yui?"
Pertanyaan Akira membuat Ryu mengerutkan keningnya, samar. "Yui? Ada apa dengannya?"
Akira mengangkat sebelah bahu, "Sepertinya dia menyukaimu."
"Apa?" Ryu mendesah sambil setengah tertawa. "Tidak mungkin. Aku sudah berteman dengannya selama bertahun-tahun. Yah, keluarga kami memang dekat karena hubungan bisnis. Tapi aku dan Yui tak pernah sedekat itu."
Akira mengerutkan alis, tidak setuju. Ia menyaksikan apa yang terjadi selama berjam-jam sejak kepulangan Ryu dari rumah sakit. Ia, Ryu dan Yui serta beberapa murid sekolah Ryu menghabiskan waktu bersama sampai makan malam hari ini dan apa yang dilihatnya tidak selaras dengan penjelasan Ryu.
Ia ingat ia melihat Yui memperhatikan Ryu sambil menopang dagu, mendengarkan Ryu bicara sambil sesekali tersenyum. Gadis itu menyematkan sejuntai rambut di balik telinga setiap saat Ryu mengucapkan sesuatu kepadanya. Dan terlebih lagi, Yui adalah satu-satunya orang yang tertawa pada guyonan Ryu yang sama sekali tidak lucu. Pemandangan itu memberikan penegasan pada asumsi Akira. Tapi, kini ia harus merasa kasihan pada Yui. Karena sudah sangat jelas sekarang kalau Ryu tidak merasakan hal yang sama.
"Aku akan kembali dalam beberapa jam," celetuk Ryu saat memakai sepatu di genkan. Ia meragu sejenak sebelum membuka pintu dan melangkah keluar, "Atau tidak sama sekali. Jangan khawatirkan aku."
***
Haru baru saja tiba di rumah, ketika ia merasakan ponselnya bergetar. Sebelum sempat mengecek ponsel untuk pertama kalinya dalam berjam-jam, ia menjawab telepon yang masuk. "Halo?"
"Haru? Apa aku mengganggumu? Apa kau sedang tidur?"
Haru berjalan memasuki kamar tidurnya lalu menjawab, "Okaasan? Ada apa menelepon malam-malam begini?"
"Anu... aku tidak bermaksud untuk membuatmu cemas tapi... ayahmu..."
"Ada apa dengan Otousan?"
"Ayahmu dirawat di rumah sakit, Haru. Ada masalah dengan jantungnya."
Haru merasakan bahunya menegang. Ia mendadak kehilangan tenaga seraya kedua matanya melebar, syok.
"Aku tahu kau sibuk tapi, kuharap kau bisa pulang sebentar karena dokter bilang ayahmu memerlukan operasi. Dan, aku tidak yakin aku bisa melewati ini sendiri." Suara ibunya bergetar dan sedetik kemudian terdengar suara isakan yang lembut.
Haru menelan ludah sebelum menjawab, "Okaasan, tenang. Aku akan pulang. Aku akan menemanimu."
Setelah menenangkan ibunya dan mengobrol cukup lama, Haru akhirnya menutup telepon. Ia lalu menghela napas panjang sebelum menyeret kakinya ke kamar mandi. Setelah selesai mandi dan mengganti pakaian, Haru langsung menghempaskan diri ke kasur dan membungkus dirinya dengan selimut tebal.
TOK-TOK-TOK
Haru sedang memejamkan matanya, berusaha untuk tidur ketika terdengar suara ketukan pintu yang nyaring. Beberapa detik berlalu dalam hening. Mungkin ia salah dengar. Haru berbalik memunggungi pintu kamarnya, menarik selimut dan menutup matanya lagi.
TOK-TOK-TOK!
Suara ketukan itu terdengar lagi. Kali ini lebih nyaring dari sebelumnya hingga membuat Haru akhirnya bangkit duduk di sudut ranjangnya. Ia sedang memakai sandal rumah ketika bunyi ketukan pintu muncul kembali, kali ini dengan suara yang menyerukan namanya.
Haru mengintip dari lubang pintu kemudian mendelik ketika melihat bayangan Ryu di balik pintunya. Ia langsung membuka pintu dan melangkah mundur. "Ryu?"
"Oh, bagus. Kau baik-baik saja. Aku tidak tahu apakah aku harus marah atau merasa lega," gumam Ryu, lebih kepada dirinya sendiri.
"Apa yang kau lakukan malam-malam begini di rumahku?"
Ryu mendesah, tidak percaya. "Menurutmu apa yang membuatku datang ke sini?"
"Entahlah. Ayo bicara di dalam. Di luar benar-benar dingin," ucap Haru kemudian menepi untuk memberi jarak pada Ryu untuk masuk.
Setelah menutup pintu, Haru menyalakan lampu ruang tamu kemudian berjalan ke dapur untuk memanaskan air. Saat menunggu air mendidih, Haru berbalik kepada Ryu yang kini duduk di balik kotatsu dan mengangkat wajah menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Pandangan matanya seolah mengandung kemarahan dan sesuatu yang lain - sesuatu yang lembut.
Haru membawa secangkir teh panas dan meletakkannya di atas meja kotatsu. Lalu ia duduk di hadapan Ryu dan berkata, "Jadi, apa yang membawamu kemari?"
"Kau tidak menjawab belasan teleponku," jawab Ryu. "Dan puluhan pesan yang kutinggalkan."
Haru mengerjap kaget ketika menyadari ia belum mengecek pesan-pesan dari Ryu. Meski ia tahu ia seharusnya minta maaf, Haru hanya bergumam, "Ah, itu."
Ryu menarik napas, "Setelah menceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi padamu hari itu, menurutmu aku tidak akan cemas saat kau tidak bisa dihubungi?"
Haru baru hendak meminta maaf, namun ia menariknya lagi ketika mengingat hal terakhir yang membuat suasana hatinya buruk. Lalu ia bersedekap, "Entahlah, kupikir kau terlalu sibuk menikmati makan malammu."
"Apa?" Kedua mata Ryu melebar, tajam. "Menurutmu aku bisa makan dengan tenang saat aku membayangkan hal-hal buruk yang bisa saja terjadi padamu?"
"Mungkin. Maksudku, kau bahkan tidak menungguku untuk mulai makan malam. Bukankah kau sendiri yang memintaku untuk menemanimu makan malam? Kenapa aku harus menemanimu di saat ada orang lain yang sudah melakukannya?"
Ryu mengerutkan alisnya dengan bingung. "Aku tidak mengerti."
"Aku mengunjungi apartemenmu. Aku datang tapi aku tidak memutuskan untuk masuk," jelas Haru sambil mengalihkan pandangannya dari Ryu.
"Apa? Kenapa?"
Bayangan Yui yang tersenyum padanya dengan percaya diri langsung muncul di benaknya. Namun tentu saja Haru tidak bisa mengatakannya pada Ryu. Akhirnya ia berkata, "Aku sedang tidak bertenaga."
"Sebenarnya apa yang terjadi hari ini?"
Haru terdiam cukup lama sebelum akhirnya bercerita tentang percakapannya dengan Watanabe. Lalu ia menambahkan, "Aku benar-benar tidak bertenaga setelah percakapan kami. Rasanya seperti jatuh ke lubang yang sama, merasakan luka lama yang menusukku lagi. Semuanya berubah begitu gelap sekarang. Aku tidak yakin aku bisa menghabiskan waktu bersamamu, berpura-pura seperti segalanya baik-baik saja."
"Tapi kau tidak perlu berpura-pura."
"Ya," sela Haru. "Saat berdua saja denganmu, aku tidak bisa berpura-pura. Tapi, aku tidak bisa melakukannya saat dikelilingi begitu banyak orang. Aku harus terlihat baik-baik saja di depan banyak orang karena kalau tidak, mereka akan mulai bertanya dan aku harus mulai bercerita lagi. Dan menguak segala kenangan buruk yang ingin kulupakan, luka yang tak pernah berhenti menyakitiku. Lalu mereka akan memandangku dengan iba. Aku tidak bisa melihatnya. Karena itu, aku harus berpura-pura - memasang topeng dan bersikap baik-baik saja. Itu lebih mudah dari apa yang harus kurasakan saat ini."
Ryu menghembuskan napas dan menundukkan wajahnya.
"Aku tidak punya cukup tenaga untuk melakukan itu hari ini. Karena itu aku memutuskan untuk pulang. Kuharap kau mengerti," tambah Haru.
Jeda yang panjang dalam kesunyian membuat Ryu dapat mendengar suara jangkrik yang nyaring di luar sana. Suara tetesan air yang beradu dengan permukaan wastafel di dapur serta suara kereta api yang samar. Ia bahkan bisa mendengar suara detak jantungnya sendiri. Setelah beberapa menit yang lama, Ryu akhirnya memecahkan keheningan, "Bisakah kau berjanji satu hal?"
"Hmm?"
Ryu meniup dahi sebelum melanjutkan, "Jangan pernah melakukannya lagi."
"Melakukan apa?"
"Tidak menjawab teleponmu dan membuatku takut setengah mati," jelas Ryu dengan kedua mata melebar, kesal.
Dan entah mengapa pemandangan itu membuat Haru menahan tawa, "Aku janji."
"Dan satu hal lagi."
"Apa?"
"Berjanjilah kalau kau akan selalu memanggilku saat kau merasa seperti ini," ucap Ryu sambil memandang Haru lurus-lurus. "Aku ingin menjadi seseorang yang melintas di pikiranmu saat kau memerlukan bantuan, saat kau membutuhkan teman dan saat kau merasa kesepian. Dan mungkin ini terdengar egois, tapi kuharap aku bisa menjadi satu-satunya orang yang berada di sisimu."
Haru menatap Ryu sambil tersenyum kecil. Ryu membalas tatapan itu dengan seulas senyum lega. Lalu ia berkata lagi, "Berjanjilah untuk membagi bebanmu bersamaku. Karena segalanya akan terasa lebih ringan kalau kau tidak menanggungnya sendiri."
Ryu adalah orang pertama yang pernah mengucapkan kalimat itu kepadanya. Dan entah mengapa, Haru merasa begitu beruntung bisa mendengarnya. Ia senang ia bisa mengenal Ryu. Haru tidak yakin apakah ia pantas menerimanya, tapi ia akhirnya mengangguk dengan mantap sambil berkata, "Aku janji."