"Selamat ulang tahun, Haru."
Haru tersenyum ketika menjepit ponsel di bahu dengan telinganya. Ia sedang berusaha memasang jepit di rambutnya ketika menerima telepon dari Ryu keesokan harinya. "Terima kasih. Maaf aku tidak bisa mengantarmu pulang hari ini."
"Jangan khawatir. Akira sedang membantuku mengurus kepulanganku." Jeda sejenak sebelum Ryu menambahkan, "Kuharap kau tidak bersenang-senang tanpa aku."
Haru tersenyum sambil memutar bola matanya. "Aku hanya akan menghadiri acaranya karena Ai mengundangku. Aku tidak pernah benar-benar menikmati pesta. Yah, meski aku senang berada di keramaian."
"Kau menyukai keramaian?" tanya Ryu, tidak percaya.
Haru menggapai ponsel dengan sebelah tangan ketika ia akhirnya selesai merias rambut. Haru melangkah mundur dari cermin panjang di kamarnya dan mengamati penampilannya. Sambil bergerak ke kanan dan kiri, Haru menjawab, "Aku merasa lebih aman saat di kelilingi banyak orang. Seperti mereka akan melindungiku kalau terjadi sesuatu padaku, kau mengerti? Ya, memang terdengar aneh tapi, itulah yang kurasakan."
Haru memilih gaun selutut yang sederhana untuk acara pertunangan Ai hari ini. Warnanya kuning pastel yang lembut, tepat seperti tema acara yang diinginkan Ai. Ia mengaitkan sisi-sisi rambutnya dengan jepit dan untuk pertama kali dalam kurun waktu yang cukup lama, Haru membiarkan rambut panjangnya tergerai manis melewati bahu sampai ke pinggang. Melihat rambutnya yang begitu panjang membuat Haru ingin memotongnya. Mungkin ia harus mengganti gaya rambut.
"Begitu rupanya," gumam Ryu di ujung sana. "Apa kau yakin kau tidak membutuhkanku?"
"Kenapa kau pikir aku akan membutuhkanmu?"
"Entahlah." Nada bicara Ryu terdengar lemas saat mendesah dan melanjutkan, "Sebagai teman bicara atau untuk menemanimu menari? Atau untuk sekedar menyelamatkanmu dari situasi-situasi yang canggung, mungkin?"
"Hmm, sepertinya aku bisa mengatasi itu semua sendiri. Dan lagipula, aku tidak suka menari," balas Haru.
"Baiklah," Ryu mendesah, pasrah. "Tapi, apa kau bisa melakukan sesuatu untukku hari ini?"
Haru sedang duduk di ujung kasur, hendak mengenakan sepatu hak tingginya saat bertanya, "Apa?"
"Biarkan aku melihatmu malam ini."
Haru mengerjap dan mengerutkan alis, samar. "Baiklah. Kau mau makan malam bersama?"
"Apa kau keberatan makan malam di apartemenku?"
Senyum kecil Haru merekah, "Tentu saja tidak."
"Baiklah," jawab Ryu. "Sampai ketemu nanti malam."
***
Ryu baru saja meletakkan ponselnya di atas meja ketika Akira memasuki ruangan. "Ryu, ada yang ingin menemuimu."
Ryu mengangkat kedua alisnya, bingung. Ia baru saja ingin membuka mulut hendak bertanya ketika seorang laki-laki muda berjalan menyusul Akira dari belakang. Lelaki itu tampak ragu sejenak sebelum akhirnya mengulurkan keranjang buah dalam pelukannya kepada Ryu dan membungkukkan badan.
"Ueda?" Kedua mata Ryu melebar ketika beberapa laki-laki muda lainnya berjalan memasuki ruangan, satu per satu memenuhi ruang rawat Ryu yang sebentar lagi akan ditinggalkan. "Yamamoto? Takada? Apa yang kalian semua lakukan di sini?"
"Sensei..." Salah seorang murid yang disebut Takada menarik sudut-sudut bibirnya turun. "Kami benar-benar merindukan sensei. Sebenarnya apa yang terjadi?"
"Ya, kupikir sensei sudah tidak mengajar di sekolah lagi," timpal Yamamoto.
"Kami benar-benar khawatir," tambah Kenta yang kini melangkah maju dan meletakkan keranjang buah di atas meja.
Ryu tersenyum pahit lalu duduk di sudut ranjang. "Aku mengalami kecelakaan kecil saat bermain basket dengan temanku."
Akira yang berdiri di ujung ranjang, mengerutkan keningnya kaget begitu mendengarnya. Lalu saat Ryu mengedipkan sebelah mata padanya, Akira langsung mengerti.
"Kuharap sensei cepat kembali. Guru penggantimu benar-benar...," Yamamoto memijit dahinya sambil menggeleng-geleng, "...mengerikan."
"Aku bisa saja kembali mengajar minggu ini tapi, aku membutuhkan beberapa asisten untuk membantuku menu-,"
Semua murid lelaki di sana serempak mengangkat sebelah tangannya sambil berseru, "Aku!! Aku akan membantu! Aku tidak keberatan!"
Ryu tertawa melihatnya. "Baiklah. Karena kalian sudah datang jauh-jauh, bagaimana kalau kita makan siang bersama hari ini?"
Ryu tersenyum ketika melihat wajah-wajah muridnya menyunggingkan senyuman lebar sambil memandang satu sama lain. Kemudian pandangannya mendarat pada Kenta yang lebih dulu menatapnya. Ada begitu banyak pertanyaan yang ingin ia ajukan pada Kenta tentang kecelakaan yang dialami Haru. Tapi, tentu saja ia tidak bisa melakukannya sekarang. Tidak di sini. Karena itu, Ryu hanya bisa tersenyum pada Kenta yang lalu mengangguk, samar.
TOK-TOK!
Sebuah suara di ambang pintu membuat seluruh penghuni kamar mengangkat wajah. Ryu dapat mendengar para muridnya berbisik satu sama lain dengan nada ceria. Seseorang di sana melongok masuk lalu melambaikan sebelah tangan pada Ryu, "Hai, Ryu! Akhirnya aku menemukanmu."
Kedua mata Ryu melebar, bingung. "Yui?"
***
Haru menguap untuk kesekian kalinya, menyaksikan Ai dan Haruya menari di lantai dansa. Mereka menari diiringi alunan musik orkestra yang menurut Haru, menambah rasa kantuk yang sudah sejak tadi ditahannya. Sebenarnya acara pertunangan ini bisa dibilang cukup menyenangkan. Diadakan secara besar-besaran, membuat Haru merasa seperti menghadiri pesta pernikahan. Makanan yang disajikan bergaya Eropa, klasik dan mewah. Tata acaranya tersusun rapi dan dipimpin oleh MC yang profesional. Meski Haru merasa beruntung bisa berada di pesta semewah ini, ia sedikit merasa kesepian di tengah padatnya tamu undangan.
Pesta pertunangan Ai dan Haruya diadakan di gedung aula raksasa yang disulap begitu indah dengan hiasan-hiasan klasik berwarna putih dan kuning muda. Meja-meja bundar yang diisi oleh tamu-tamu yang telah ditetapkan terletak di berbagai bagian. Namun mereka mengosongkan bagian depan aula sebagai lantai dansa bagi Ai dan Haruya. Dan kini, semua pasang mata tertuju pada pasangan yang berayun dengan gemulai di sana.
"Ogawa-san? Anda Ogawa Haru, bukan?"
Tepat saat itu musik orkestra yang mengiringi tarian Ai dan Haruya berhenti. Lalu sorak tepuk tangan para tamu undangan menyusul, memenuhi ruangan. Dan saat itu Haru mengangkat wajah kepada lelaki paruh baya yang kini berdiri di samping mejanya, mengulurkan sebelah tangan kepadanya. Haru membalas uluran tangan tersebut sambil bertanya, "Ya. Apa aku mengenal Anda?"
"Aku Watanabe Enji, inspektur yang bertanggung-jawab atas kasusmu beberapa tahun lalu."
Begitu mendengar penjelasan itu, Haru langsung bangkit berdiri dan membungkukkan badan, tanda hormat. "Senang bertemu dengan Anda, inspektur Watanabe."
"Aku salah satu teman dekat ayah dari mempelai pria," ucap Watanabe, menjelaskan keberadaannya di sana.
"Oh. Aku teman dekat mempelai wanita."
Watanabe mengangguk-angguk, samar. "Bagaimana kabarmu, Ogawa-san? Anda sekarang baik-baik saja?"
Haru memaksakan seulas senyum tipis. "Ya, aku baik-baik saja."
"Bagus. Aku senang mendengarnya. Aku sangat ingin memberitahu beberapa hal penting kepadamu soal... kasus itu. Tapi, kau tidak bisa dihubungi jadi, kami menutup kasusnya," Watanabe memelankan suaranya ketika suara riuh tepuk tangan meredup.
Haru hanya bisa tersenyum dan berusaha keras untuk tak mengalihkan pandangannya dari Watanabe. Ingatan-ingatan menyakitkan itu kembali muncul di hadapannya dan menghantui isi pikirannya. Haru tahu alasan Watanabe tak dapat menghubunginya adalah karena ia mengganti nomor teleponnya berkali-kali, pindah dari satu apartemen ke tempat lainnya untuk bersembunyi dari petugas keamanan dan jurnalis yang mencoba menginterogerasinya tentang kejadian malam itu.
Sejak kejadian itu, Haru hanya terus berlari. Berlari dan bersembunyi.
Watanabe berdeham kemudian mencondongkan kepala untuk berbisik, "Kami hanya ingin memberitahu kalau kami menutup kasusnya setelah berhasil menemukan pelakunya."
Kedua mata Haru mendelik, syok mendengarnya. Lalu ia mengerjap, menatap Watanabe yang kini memandangnya dengan tatapan iba.
***
Haru meletakkan cangkir tehnya di atas piring. Lalu ia menunduk menatap meja kayu bundar di depannya. Setelah berbincang-bincang pendek, Haru dan Watanabe memutuskan untuk bicara di kafe kecil yang terletak bersebelahan dengan gedung aula. Watanabe yang duduk di hadapannya kemudian berdeham ketika dirasanya waktu sudah cukup lama berlalu. "Aku menemukannya di Kyoto, bersembunyi di sebuah gedung usang tak terpakai di kawasan Takao. Agak sulit mencari anak itu karena pedesaan di sana begitu kecil dan tak banyak jalanan yang dipasang cctv."
Haru hanya duduk di bangkunya, bersedekap sambil mencoba untuk terus memandang Watanabe tanpa menunjukkan isi pikirannya. Ia sesekali mengangguk samar sambil menelan ludah, berusaha untuk tetap tenang meski tangannya mulai bergetar.
"Tapi, berkat bantuan penduduk desa, kami akhirnya berhasil menemukan dia. Dia tidak berusaha kabur atau mengelak ketika melihat kami. Dia akhirnya menyerahkan diri," jelas Watanabe lalu menyesap kopi panasnya.
Haru meragu selama beberapa detik yang lama sebelum akhirnya bertanya, "Berapa lama?"
Watanabe menyipitkan mata saat membalas, "Jika maksudmu berapa lama dia akan dipenjara, jawabannya adalah hampir 20 tahun."
Jawaban itu tidak mengagetkan. Bahkan Haru hampir merasakan dirinya mengeluarkan desahan kecewa saat mendengarnya. Dua puluh tahun penjara tidak bisa membayar apa yang telah Haru rasakan dan lewati selama bertahun-tahun setelah kejadian itu. Rasa takut... serangan rasa panik... mimpi buruk...
"Ada banyak sekali korban yang menuntut. Tidak sedikit korban yang meninggal. Dia sudah mendekam di sana selama beberapa tahun sekarang," tambah Watanabe ketika dilihatnya Haru tertegun cukup lama.
Dan saat Haru memaksakan seulas senyum, Watanabe menghela napas berat sambil berkata, "Ogawa-san, kejadian yang menimpamu itu benar-benar mengerikan. Aku tidak bisa membayangkan kalau itu sampai terjadi kepada puteriku. Anda telah melalui banyak hal. Kuharap, Anda baik-baik saja sekarang."
Haru merasakan kedua matanya memanas, mulai mengumpulkan genangan air yang membuat pandangannya buram. Ia tersenyum lemah, "Terima kasih, Inspektur Watanabe. Aku menghargainya."
Watanabe memberi tepukan ringan pada tangan Haru sebelum menarik diri dan mengenakan jasnya, bersiap-siap pergi. Haru turut bangkit berdiri ketika Watanabe telah lebih dulu melakukannya. Ia merogoh saku bagian dalam jasnya lalu mengeluarkan selembar kartu nama berwarna putih dan mengulurkannya pada Haru, "Ini. Hubungi aku, kapanpun Anda membutuhkan bantuan."
Haru menerima kartu itu dengan kedua tangannya lalu membungkukkan badan, tanda hormat. "Terima kasih banyak, Inspektur."
"Suatu kehormatan bagiku. Senang bertemu denganmu hari ini, Ogawa-san."
Haru masih memiliki sisa kekuatan yang ia miliki untuk mengulas senyum sebelum melihat Watanabe pergi meninggalkannya yang kini duduk di meja kafe, memandang bangku kosong di hadapannya.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Haru sudah duduk di sana selama berjam-jam dan ia masih enggan menyeret tubuhnya pergi. Tenaganya lenyap, ia bahkan tak memiliki kekuatan untuk sekedar merubah posisi duduk atau mengecek ponselnya yang sejak tadi bergetar-getar. Ia yakin salah satu orang yang menghubunginya adalah Ai dan Ryu karena ia meninggalkan pesta begitu mendadak dan karena ia telah berjanji akan menemui Ryu malam ini.
Setelah beberapa menit yang panjang bergelut dengan isi pikirannya, Haru akhirnya menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan kasar sebelum akhirnya bangkit berdiri. Ia memasukkan ponsel ke dalam tas jinijingnya kemudian berjalan keluar dari kafe untuk mencegat taksi.
Haru memberikan alamat yang dikirim Ryu kepada supir taksi kemudian duduk dalam diam. Suara radio samar yang diputar oleh supir menjadi latar belakang yang bercampur dengan bunyi bising lalu lintas. Haru memusatkan perhatiannya keluar jendela - melihat lampu-lampu jalanan yang melintas, mobil-mobil yang berlalu melewatinya dengan cepat. Pikirannya begitu kosong dan tidak fokus, ia tidak yakin apakah bertemu Ryu adalah ide yang bagus saat ini.
Pertemuannya dengan Watanabe seolah membangkitkan begitu banyak emosi gelap dalam dirinya - ingatan-ingatan pahit, luka yang begitu dalam serta setiap detil kejadian yang terjadi malam itu. Rasa sakit, takut, panik, ketidak-berdayaan... semua itu kini telah mengambang di permukaan dan menguasai dirinya. Haru tak tahu apa yang harus ia lakukan selanjutnya.
Ketika taksi yang ia tumpangi berhenti di sebuah gedung tinggi bercat putih, Haru baru mendapatkan kesadarannya kembali seperti baru bangun dari tidur. Setelah membayar, ia melangkah turun dengan hati-hati. Gedung itu lebih tinggi dari gedung apartemennya yang kecil. Haru mengangkat wajah tinggi-tinggi, menatap puncak gedung dengan mata menyipit lalu berjalan masuk.
Ia menekan tombol lift dan melangkah mundur sambil menunggu. Lalu ketika bunyi bel berdenting, Haru mengangkat wajah seiring pintu lift yang terbuka lebar. Kemudian kedua matanya melebar kaget saat matanya beradu tatap dengan wanita yang kini berdiri di bagian dalam lift.
"Oh? Bukankah kau teman Ryu?"
Wanita bertubuh tinggi dengan kaki jenjang dan perawakan yang mendekati sempurna. Wanita yang ia temui di taman rumah sakit hari itu. Wanita yang dipanggil 'Yui' oleh Ryu.
"Senang bertemu denganmu lagi," ucap Haru sambil setengah membungkuk.
Yui tersenyum lebar dan mengangguk. "Aku juga. Sepertinya Ryu sedang menunggumu. Kami baru saja selesai makan malam."
Makan malam? Jadi, Ryu juga mengajak Yui untuk makan bersama?
Haru menepi untuk membiarkan Yui berjalan keluar dari lift. Ia kemudian menekan tombol pintu untuk membiarkannya terus terbuka sementara ia memandang Yui yang berjalan menuju pintu keluar.
Haru hanya tersenyum saat Yui menoleh ke arahnya lagi sambil berkata, "Sampai ketemu lagi."
Haru mengulangi kalimat yang sama lalu berjalan masuk. Pintu lift tertutup, ia tahu ia seharusnya menekan angka sepuluh, tempat apartemen Ryu berada tapi sisa tenaga yang telah susah payah ia kumpulkan sejak tadi lenyap entah kemana seiring kepergian Yui.
Seolah apa yang terjadi hari ini tidak cukup untuk menyiksanya, Haru kini diserang oleh begitu banyak pertanyaan tentang Yui. Seperti apa yang dilakukan wanita itu bersama Ryu, mengapa Ryu tidak memberitahunya kalau dia mengundang Yui dan terlebih lagi, kenapa mereka memulai makan malam tanpa dirinya? Bahunya terasa semakin berat dan satu-satunya hal yang ingin Haru lakukan saat ini hanyalah tidur dan kalau memungkinkan, menangis semalaman.
Setelah berpikir cukup lama, Haru akhirnya menekan tombol untuk membuka pintu dan berjalan keluar dari sana, berjalan meninggalkan gedung apartemen Ryu dalam diam.