Chereads / Spring Breeze - 春のそよ風 / Chapter 16 - Lima Belas

Chapter 16 - Lima Belas

Haru. Nama itu berarti musim semi. Haru ingat ibunya pernah bercerita kalau ia lahir tepat di hari puncak bunga sakura bermekaran. Karena itu, ia dinamai Haru. Dan sejak hari ia menceritakan segalanya pada Ryu, lelaki itu memanggilnya dengan nama depannya. Tidak lagi dengan sebutan Uma-chan atau Ogawa seperti yang biasanya digunakan Ryu. Tidak lagi dengan nada canda yang selalu terdengar dari mulutnya. Dan entah mengapa, sikap itu membuat Haru dapat melihat kesungguhan Ryu.

"Haru?"

Haru yang sedang berjalan di jalan setapak, mengangkat wajah, "Hmm?"

"Apa yang sedang kau pikirkan?" Ryu bertanya sambil berjalan menghampirinya.

Hari ini adalah malam terakhir Ryu akan dirawat di rumah sakit. Meski dokter bilang lukanya akan memakan beberapa hari lagi untuk sembuh total, tapi Ryu sudah diperbolehkan pulang besok. Dan siang ini, Haru sengaja menyelesaikan shiftnya lebih cepat untuk menepati janjinya pada Ryu; menemaninya menonton bunga sakura.

Cuaca hari ini begitu mendukung. Langit tak berawan membuat matahari bersinar begitu terang, menghangatkan di tengah-tengah hembusan angin musim semi yang dingin. Taman rumah sakit dipenuhi oleh beberapa pasien yang duduk di kursi roda, didorong oleh keluarga dan kerabat mereka. Beberapa orang duduk di bangku taman, berbincang sambil menikmati pemandangan pohon sakura yang mulai menggugurkan kelopaknya.

Haru dan Ryu berjalan di jalan setapak kemudian berhenti di bawah pohon sakura raksasa di tengah-tengah taman. Saat itu, Haru menjawab, "Aku tidak memikirkan apa-apa. Hanya saja, aku heran. Kenapa orang-orang tidak pernah bosan melihat bunga sakura meski bunga ini bermekaran setiap tahun."

Ryu tersenyum kemudian mengangkat wajah memandang kelopak bunga sakura yang bermekaran di atasnya. "Apa kau tahu apa arti musim semi yang sesungguhnya?"

Haru mengangkat bahu. "Entahlah."

"Musim semi berarti sebuah permulaan baru. Cuaca hangat yang datang setelah musim dingin yang mencekam. Dan bunga-bunga ini menunjukkan warnanya yang indah untuk mengingatkan orang-orang yang melihatnya kalau hari-hari yang baik akan datang. Karena itu beberapa negara seperti negara kita memulai ajaran sekolah yang baru di musim semi, karena musim ini melambangkan sebuah permulaan yang baru," jelas Ryu sambil menutup mata, merasakan kulit wajahnya meresap sinar matahari yang terik.

Haru menyipitkan mata, menatap bunga-bunga sakura di puncak kepalanya.

"Namamu berarti musim semi, Haru." Ryu kini menunduk menatap Haru sambil tersenyum kecil. "Kuharap kau juga tahu kalau namamu mempunyai makna yang sama dengan musim semi."

Sebuah permulaan baru. Haru menunduk menatap tanah yang mulai ditumbuhi rerumputan hijau. Sebuah awal yang baru berarti melangkah maju, terus berjalan tanpa melihat ke belakang. Dan meski harus melihat ke belakang, ia bisa melihatnya sambil tersenyum, tanpa merasakan rasa sakit dari luka yang terus menghantuinya. Haru menarik napas dalam-dalam. Ia tidak yakin ia sudah siap untuk itu.

Menyadari topik pembicaraan mereka, Haru baru ingat sesuatu. "Ngomong-ngomong, kau bilang kau juga lahir di musim semi?"

Ryu mengerjap kemudian mengangguk. "Ya, kau benar."

"Kapan ulang tahunmu?" Senyuman Ryu mengembang lebih lebar. Sinar matanya dinaungi sipu malu, membuat Haru mencoba menebak, "Jangan bilang..."

"Hari ini."

Kedua mata Haru melebar, tidak percaya. "Tidak mungkin."

"Aku tidak berbohong." Ryu meraih dompet, mengeluarkan kartu identitasnya dan memberikannya pada Haru.

Haru menerimanya lalu kelopak matanya tertarik lebih lebar setelah memastikan tanggal lahir Ryu. "Wah, keren sekali. Kau pasti tidak akan mempercayaiku kalau kubilang besok adalah ulang tahunku."

Kini Ryu yang memandang Haru sambil mendelik, kaget. Lalu ia tertawa, "Wah, jadi ini yang dinamakan takdir?"

"Ini sungguh-sungguh sulit dipercaya."

"Ryu?"

Haru dan Ryu sedang tertawa bersama ketika mendengar seruan seseorang. Sebuah suara wanita. Haru berpaling ke arah sumber suara tersebut dan mendapati seorang wanita bertubuh ramping berjalan ke arahnya. Kemudian ia melihat Ryu mengangkat kedua alisnya. "Yui?"

Haru melirik wanita yang disapa Yui itu sambil mengerutkan alis, samar. Wanita itu memiliki bentuk tubuh idaman para pria; lekuk pinggang yang menyerupai gitar, sepasang kaki jenjang dan kulit putih yang memukau. Dahinya dihiasi poni yang tebal sementara rambut panjangnya yang lurus terurai melewati bahu. Wanita itu berjalan menghampiri Ryu lalu sambil menyibakkan rambut, ia berkata, "Ya Tuhan, aku ingin bilang kalau aku senang melihatmu lagi tapi... apa yang terjadi padamu?"

Ryu menunduk menatap kain yang menyangga lengannya. "Oh, ini... aku mengalami kecelakaan kecil."

Haru refleks menunduk, menghindari arah pandang Ryu ketika mendengarnya. Kecelakaan kecil katanya? batin Haru. Bahunya mendadak terasa berat saat mengingat ialah penyebab segalanya.

"Oh, ya Tuhan! Coba kulihat!"

Haru mendapati dirinya mendelik saat mendengarnya. Meski ia tak cukup berani untuk melihatnya secara langsung, Haru dapat melihat langkah kaki Yui yang kini berdiri di hadapan Ryu.

"Ya ampun, kau pasti tidak nyaman harus dibebat seperti ini," komentar Yui.

Ryu terkekeh. "Biasa saja. Lagipula aku sudah membaik. Aku sudah diperbolehkan pulang besok."

"Ah, syukurlah. Aku benar-benar senang mendengarnya."

"Kau sendiri sedang apa di sini?"

Haru menggigit bibir lalu mengeluarkan ponselnya. Ia melihat isi ponselnya yang kosong sambil perlahan-lahan berjalan menjauh, mendekati badan pohon bunga sakura di belakangnya.

"Begitu rupanya. Oh, ngomong-ngomong, kau sudah bertemu Haru?"

Haru mengangkat wajah ketika ia mendengar namanya disebut. Lalu ia mengerjap saat ia bertemu pandang dengan Yui yang langsung tersenyum padanya. "Halo," sapanya.

"Halo," Haru setengah menunduk.

"Ini temanku, Ogawa Haru."

Haru tak bermaksud ingin mengerutkan keningnya dengan kaget pada Ryu tapi... apa katanya? Teman? Setelah memperkenalkannya sebagai 'tunangan' di depan Akira sekarang ia hanya disebut teman di hadapan wanita ini?

Bukannya Haru tidak menyukainya atau menyangkal fakta bahwa mereka benar-benar hanya berteman tapi... apa yang berbeda dari Akira dan Yui? Mengapa Ryu ingin Akira tahu kalau ia adalah tunangannya dan tidak pada Yui?

Isi kepala Haru langsung dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan tak terjawab dan asumsi-asumsi yang belum tentu benar.

Yui mengulurkan sebelah tangannya pada Haru. Astaga, lihatlah tangan yang lembut itu. Kuku-kuku yang dihias begitu cantik dengan warna yang serasi dengan kulitnya. Haru diam-diam menggigit bibir, berusaha keras untuk menyembunyikan kukunya yang tak terawat saat membalas uluran tangan Yui. "Ogawa Haru. Senang bertemu denganmu."

"Satou Yui. Aku juga," balas Yui sambil tersenyum lebar, tak lama sebelum akhirnya kembali menatap Ryu. "Aku akan berada di Tokyo sampai bulan depan. Kau bisa mengajakku berkeliling kalau sudah membaik dan... tidak sibuk?"

"Tentu," jawab Ryu sambil tersenyum ramah. Kelewat ramah sampai-sampai Haru tak ingin melihatnya.

"Aku masih punya nomormu. Akan kutelepon nanti. Sampai jumpa." Yui mengulas senyum pada Haru sebelum akhirnya pergi memasuki gedung rumah sakit.

"Dia temanku dari Kumamoto," sahut Ryu kemudian.

Haru mengangkat wajah dan mengangguk samar. "Oh." Hanya itu yang keluar dari mulutnya meski ada begitu banyak pertanyaan di benaknya.

"Kau tahu, keluargaku mempunyai toko daging. Dan keluarga Yui adalah pemasoknya. Kami sudah saling kenal selama bertahun-tahun," jelas Ryu.

"Hmm, begitu rupanya."

"Dia datang ke sini untuk mengunjungi bibinya yang baru selesai operasi," kata Ryu lagi.

Kali ini Haru hanya mengangguk. Ia merasa tak perlu mendengar semua penjelasan tentang Yui. Semakin mendengarnya, Haru semakin merasa... entahlah.

"Kami hanya berteman," tambah Ryu. "Kurasa kau berhak tahu."

Haru hanya balas tersenyum. Ia mengangkat wajah memandang daun pohon sakura yang berguguran. Ia mengangkat sebelah tangan, menangkap beberapa kelopak bunga sakura yang jatuh.

"Ngomong-ngomong, bukankah kau ingin aku menemanimu ke suatu tempat?" tanya Ryu. Sebelah tangannya yang bebas menyomot beberapa kelopak yang jatuh di puncak kepala Haru.

Mendengar itu, Haru melompat kaget. "Ah!! Aku baru ingat! Besok hari pertunangan Ai!"

"Benarkah?"

Haru menepuk dahi. "Ya, dan aku lupa memberitahumu soal itu."

"Kenapa aku harus tahu?"

"Karena aku berencana mengajakmu dan kau bilang kau tidak keberatan," jelas Haru, mengangkat sebelah bahu.

Ryu tersenyum lebar. Ia membuka mulut baru hendak membalas ketika Haru melanjutkan, "Tapi tentu saja kau tidak boleh pergi. Kau harus istirahat. Banyak istirahat agar cepat pulih. Jadi, aku akan pergi sendiri besok."

"Di hari ulang tahunmu?"

Haru tersenyum. "Begitulah."

"Aku tidak keberatan. Aku bisa menemanimu."

"Tidak," bantah Haru. "Aku sudah cukup merasa bersalah atas apa yang terjadi padamu. Satu-satunya hal yang bisa kau lakukan untuk membuatku sedikit lebih tenang adalah menuruti ucapanku. Bisakah kau melakukannya? Bisakah kau sedikit saja menghapus rasa bersalahku?"

Ryu mengerjap saat menyadari kedua mata Haru memancarkan sinar dari genangan air kecil di pelupuk matanya. Dan melihat itu, Ryu tentu tak memiliki pilihan lain selain menjawab, "Baiklah."