Haru sudah berdiri di balik pintu kamar rawat Ryu selama beberapa menit yang lama. Ia menggigit bibir, mengangkat sebelah tangan hendak meraih gagang pintu namun menariknya lagi. Lalu ia berbalik, beranjak meninggalkan kamar rawat namun perasaan bersalah yang membendungnya membuat Haru berputar lagi, berdiri di posisi yang sama seperti semula.
Haru tidak yakin apakah ia harus masuk ke dalam, menjenguk Ryu setelah apa yang ia dengar kemarin. Tapi, mengingat apa yang sudah lelaki itu lalui demi melindunginya, Haru merasa berhutang budi. Ditambah lagi, dengan perasaan yang berkecamuk di dalam dadanya saat ini, Haru tidak yakin ia bisa bersikap normal di hadapan Ryu.
Haru baru hendak memantapkan hati untuk meraih gagang pintu ketika pintu di hadapannya lebih dulu terbuka. Haru terkesiap kaget ketika seorang pria muncul di ambang pintu.
"Oh? Bukankah Anda..."
Membutuhkan beberapa detik yang lama bagi Haru untuk mengenali wajah pria yang kini menunjuknya dengan jari telunjuk. "Se-senang bertemu denganmu lagi, Akira-san."
Akira membungkukkan badan, memberi salam. "Senang bertemu denganmu lagi, Haru-san. Anu... Ryu sedang... dia ada di dalam. Tapi, aku ragu kau mau menemuinya karena..."
"Tidak masalah. Aku akan menemuinya." Haru menggeleng samar kemudian berjalan memasuki ruangan. Akira mengikutinya, berjalan di sampingnya seolah ada sesuatu yang ingin dijelaskan. Haru mencoba mendengarkan namun ia lebih dulu melihat Ryu duduk di atas ranjang dengan dua orang perawat wanita berdiri di sisi-sisi ranjang, mencoba melepas pakaiannya.
Kedua mata Haru melebar, syok. Lalu ia buru-buru mengalihkan tatapannya dan bertemu pandang dengan Akira.
Akira tersenyum bersalah, "Ya... inilah yang kumaksud."
Keadaan yang dimaksud Akira adalah Ryu yang sedang menerima perawatan luka dari dua perawat wanita yang berusaha membuka pakaiannya. Wanita! Dan oh, lihatlah bagaimana cara dua wanita itu memandang Ryu yang telanjang dada. Cara dua wanita itu tersenyum satu sama lain membuat Haru menggigit bibirnya, kesal.
"Ogawa?"
Haru dapat mendengar Ryu memanggilnya ketika ia berbalik badan, memunggungi pemandangan yang tak seharusnya ia lihat. "Y-ya. Aku akan kembali saat," Haru menggoyangkan jari telunjuknya ke arah Ryu sebelum melanjutkan, "ini semua selesai."
"Tidak! Jangan. Ini hanya memakan waktu beberapa menit. Bukan begitu, perawat Suzuki?"
Haru melotot lebih lebar. Apa katanya? Perawat Suzuki? Ryu tahu nama wanita itu?
Akira yang memperhatikan wajah Haru, mengerutkan alisnya dan menarik diri. "Eh... Ryu? Karena tunanganmu sudah datang, aku sebaiknya pulang. Aku akan membawakan beberapa pakaianmu besok."
"Oke. Terima kasih, kawan."
"Sampai ketemu lagi, Haru-san."
Haru membalas sapaan Akira yang kemudian meninggalkan ruangan. Ruang rawat Ryu ditempati seorang diri, berfasilitas VIP dengan kasur tambahan untuk penjaga. Ada televisi di sudut ruangan serta kamar mandi kecil. Sekilas, ruang rawat Ryu tampak seperti kamar hotel.
"Sudah selesai. Ogawa, sudah selesai," panggil Ryu dengan suara nyaring.
"Ya, ya. Aku mendengarmu." Haru menggigit bibir dan menarik napas cukup panjang sebelum akhirnya berbalik menghadap Ryu. Namun kedua matanya melebar lagi, ia buru-buru mengalihkan pandangan saat dilihatnya Ryu belum berpakaian.
"Tunanganku akan membantuku memakai baju. Terima kasih. Anda boleh pergi," ucap Ryu pada dua orang perawat yang tersenyum kepadanya dan membungkukkan badan sebelum pergi.
"Apa katamu?!" tanya Haru sambil menghentakkan sebelah kaki. "Kenapa menyuruhku memakaikan bajumu?"
"Apa? Kupikir kau mau bertanggung jawab karena telah membuatku ditusuk pisau. Membantuku memakai baju tidak begitu sulit, bukan?"
Haru melirik Ryu dengan sebal sambil menggigit bibirnya kuat-kuat. Ia yakin ia terlihat memalukan sekarang karena ia dapat merasakan kedua pipinya memanas. Haru meletakkan tas kerjanya di atas sofa lalu mengambil kemeja rumah sakit yang terlampir di punggung ranjang. Dengan hati-hati, Haru mengarahkan lengan kemeja ke arah Ryu yang mengulurkan lengannya. Lalu saat Haru membentangkan sisi lengan kemeja yang lain, ia melirik perban tebal yang menutup bekas luka di puncak punggung Ryu. Pemandangan itu membuat Haru bertanya, "Bagaimana keadaanmu?"
Ryu tak langsung menjawab. Ia mengamati Haru yang kini membantunya menopang lengan kanannya dengan kain penyangga setelah mengaitkan kancing kemeja dengan hati-hati. Wajah Haru yang begitu fokus membuat Ryu tersenyum. Lalu ia mendengar Haru mengulang pertanyaannya.
"Hmm, aku tidak begitu baik," jawab Ryu lalu menggumamkan terima kasih saat Haru selesai membantunya.
"Kau harus banyak istirahat. Aku yakin kau membutuhkan waktu yang cukup lama untuk benar-benar pulih," timpal Haru sambil duduk di kursi berlengan di samping ranjang Ryu.
"Ya, mungkin begitu. Aku merasakan dadaku sakit kemarin."
"Benarkah?" Haru mencondongkan wajah dengan cemas. "Apa kau baik-baik saja sekarang?"
Ryu mengangguk sambil tersenyum. "Ya, karena kau sudah di sini."
"Aku? Apa hubungannya denganku?"
Ryu tersenyum lagi. Lalu ia menundukkan wajah saat membalas, "Dadaku sakit karena aku begitu merindukanmu."
Haru mengerjap kemudian ia berdeham dengan kesal. "Berhenti bercanda di saat-saat seperti ini. Kau membuat orang cemas."
"Tapi aku tidak bercanda," balas Ryu. "Kau tahu, malam itu, saat aku merasakan sesuatu menusuk punggungku, aku merasakan ketakutan yang besar. Aku takut kehilangan banyak kesempatan. Seperti kesempatan untuk membahagiakan orang tuaku, melihat murid-muridku menjadi orang-orang sukses. Melihatmu. Aku takut aku tidak akan pernah bisa lagi melihatmu."
Haru memandang Ryu yang kini bersandar pada punggung ranjang dalam diam, membiarkan lelaki itu bercerita.
"Lalu aku berjanji dalam hati kalau... kalau aku diberikan kesempatan untuk membuka mata lagi, aku tidak akan pernah menyia-nyiakan setiap kesempatan yang kupunya. Dan aku berjanji aku akan mengalahkan rasa takutku," lanjut Ryu sambil tersenyum menatap atap ruangan. "Karena itu aku tidak bercanda saat kubilang aku merindukanmu."
Pandangan Haru dan Ryu bertemu. Haru mendadak tak dapat merasakan udara di sekitarnya. Ia berusaha sekuat tenaga untuk menarik napas. Keberanian Ryu yang mengungkapkan isi hatinya mendorong Haru untuk membulatkan tekadnya. Mungkin, ini saat yang tepat untuk memberitahu Ryu.
Haru berdeham, menggigit bibirnya kuat-kuat sebelum membuka mulut, "Sepuluh tahun yang lalu, kejadian yang serupa terjadi padaku."
"Apa?!" Kini Ryu mencondongkan badan menghadap Haru yang menunduk menatap lantai.
"Aku baru saja pulang dari perayaan kelulusan di sekolah. Semuanya salahku. Aku seharusnya tidak pulang selarut itu tapi teman-temanku mengadakan pesta besar-besaran di aula sekolah lalu kami melanjutkan acara ke karaoke sampai subuh. Dan hampir semua teman-temanku pulang didampingi pasangan mereka. Dan aku, aku memutuskan untuk pulang sendiri."
Haru berhenti sejenak untuk mengambil napas dan menenangkan dirinya yang mulai resah. "Waktu itu langit benar-benar gelap. Lampu jalanan di gang menuju rumahku mati. Tapi aku tidak begitu takut karena, tidak pernah terjadi apapun sebelumnya. Tapi saat berjalan memasuki gang, seseorang menarikku dari belakang dan menodongkan pisau ke leherku."
Kedua mata Ryu melebar, kaget. Ada banyak hal yang ingin ia ucapkan tapi ia menutup mulut, membiarkan Haru terus bercerita. Lalu ia langsung teringat pada ucapan Kenta. Jadi ini yang dimaksud anak itu tentang kecelakaan?
"Waktu itu jam tiga pagi. Tidak ada orang di sekitar dan lelaki itu mengancam akan membunuhku kalau aku berteriak," jelas Haru, kini suaranya bergetar. Ia merasakan sebutir air mata jatuh membasahi pipinya. "Ketika kutanya apa yang dia inginkan, dia menyuruhku untuk mengeluarkan isi tasku. Dan ketika dia tidak menemukan hal yang berharga, laki-laki itu... dia..."
Ryu mengeraskan rahangnya, menahan amarah yang berkecamuk di dadanya. Haru menatapnya, kedua matanya kembali meneteskan air mata saat melanjutkan, "Hanya Ai yang benar-benar tahu tentang kejadian itu. Bahkan keluargaku sekalipun tidak mengetahuinya. Aku tidak bisa... memberitahu orang tuaku. Maksudku, orang tua mana yang ingin mendengar puteri mereka diperkosa di pinggir jalan?"
Kedua mata Ryu mendelik begitu mendengar prasangka terburuknya diucapkan. Ryu melawan kekuatan dalam dirinya yang begitu ingin meninju sesuatu. Membayangkan Haru yang tergeletak tak berdaya di jalanan yang gelap dan dingin... dan lelaki yang tidak bertanggung jawab itu... Ryu bersumpah dalam hati kalau ia tak akan tinggal diam kalau sampai berhasil menemui pelakunya.
"Aku juga yakin kau akan berubah pikiran, Ryu."
Mendengar namanya disebut, Ryu mengerjap, kaget. "Apa?"
"Aku tidak pernah berteman dengan laki-laki. Aku tidak pernah menginjinkan diriku untuk dekat dengan laki-laki. Apa kau tahu alasannya?" tanya Haru. Tak menunggu reaksi Ryu, Haru melanjutkan, "Pertama, karena aku membenci laki-laki. Aku selalu memikirkan kejadian itu setiap saat berada di dekat mereka. Bahkan di sekitarmu."
Ryu merasa tenggorokannya tercekat. Ia tak bermaksud menahan napas namun bernapas mendadak berubah menjadi suatu hal yang mustahil untuk dilakukan.
"Kedua, karena aku yakin tidak ada pria yang mau menerimaku. Terutama setelah mendengar cerita ini." Haru tersenyum hambar sambil tertawa masam saat menambahi, "Maksudku, pria mana yang mau menerima wanita yang sudah tidak memiliki kehormatannya lagi? Aku bahkan sudah tidak bisa melihat bayanganku dengan cara yang sama di cermin."
"Tidak. Kau tidak boleh bicara seperti itu," ucap Ryu, lirih.
Haru mengusap wajahnya yang basah lalu memberanikan diri mengangkat wajah pada Ryu. "Karena itu, aku tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaanmu. Aku tidak yakin apakah aku sudah siap. Apakah aku bisa melihatmu tanpa membayangkan kejadian itu berputar di otakku."
Haru menggigit bibirnya kuat-kuat sambil mencengkeram ujung pakaiannya. Hanya keheningan yang menyelimuti ruangan selama beberapa menit yang panjang sampai Ryu tiba-tiba berkata, "Haru..."
"Hmm?" Haru membalas namun belum menemukan kekuatan untuk mengangkat wajahnya.
"Terima kasih," lanjut Ryu dengan hati-hati. "Terima kasih karena sudah memberitahuku semuanya. Aku yakin tidak mudah bagimu untuk melakukannya."
Benar. Memutar ulang kejadian itu di otaknya dan menarasikannya sungguh-sungguh bukan hal yang mudah bagi Haru. Karena itu, kini tubuhnya kehilangan tenaga, seperti baru saja berlari berkilometer jauhnya.
"Kau tidak perlu melakukan apapun," kata Ryu sambil tersenyum kecil. "Kalau langkahmu begitu berat, diam saja di sana. Berdiri di sana dan biarkan aku yang melangkah, menghampirimu. Dan saat kau sudah siap, meski bukan sekarang, suatu saat nanti, saat aku telah menggapaimu, maukah kau meraih tanganku?"
Haru tertegun. Kedua matanya lagi-lagi meneteskan air mata yang langsung jatuh ke permukaan lantai.
"Raih tanganku dan biarkan aku mengobati lukamu. Berjalan bersamaku sampai kau bisa menoleh ke belakang, melihat masa lalumu sambil tersenyum," ucap Ryu. Kemudian ia merentangkan sebelah tangannya yang tak terluka dan mendaratkannya di puncak kepala Haru yang tertunduk. "Semuanya akan baik-baik saja. Aku akan memastikannya. Aku janji."