Haru melangkah mundur. Ia tak yakin ia bisa melakukan apa yang diperintahkan Ryu karena kini kedua tangannya bergetar hebat, ia tak bisa mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya. Langit malam, gang sempit yang gelap, pisau tajam yang diarahkan kepadanya... pemandangan di hadapannya saat ini membangkitkan ingatan yang telah dikubur Haru selama bertahun-tahun. Ingatan itu muncul lagi, kini tak hanya di permukaan, melainkan tepat di depan matanya. Jantungnya berdebar kencang, lututnya terasa lemas. Haru mulai merasakan tubuhnya goyah.
"Ogawa? Kau mendengarku?"
Haru dapat mendengar suara Ryu yang mulai terdengar ketakutan. Haru membuka mulutnya, hendak mengucapkan sesuatu namun tenggorokannya tercekat. Tidak ada satu pun yang keluar dari sana.
Ryu baru hendak berpaling pada Haru saat Hideki tiba-tiba menggerakkan sebelah tangannya maju, mengarah pada wajah Ryu. Ryu dengan refleks, menarik wajahnya lalu mendaratkan tinju di wajah Hideki dengan cukup kuat.
Pemandangan itu membuat Haru akhirnya terjatuh di aspal, berjongkok sambil melindungi kepala dengan kedua tangannya. Ia memejamkan mata erat-erat lalu menutup kedua telinganya. "Tolong!!! Aaa!!! Hentikan!!!"
Jeritan Haru membuat Ryu berpaling padanya. Dengan gerakan cepat, Ryu ikut berjongkok di sebelah Haru kemudian mengusap punggung gadis itu dengan cemas. "Haru? Haru! Ogawa!"
Hideki yang terjatuh di tanah akibat pukulan Ryu yang cukup kuat mengangkat wajahnya dan merasakan darah mengalir dari sudut bibirnya. Ia mengeraskan rahang dan mendesis, "Sialan!" Hideki mengepalkan kedua tangannya erat-erat lalu berpaling pada Ryu yang kini berjongkok memunggunginya. Itu dia! Pria sialan itu sedang lengah. Ini benar-benar kesempatan emas baginya.
Tak ingin melewatkan kesempatan itu, Hideki buru-buru menyeret dirinya bangun lalu berlari kepada Ryu. Dengan sepenuh kekuatan yang ia miliki, Hideki mengangkat pisau lipatnya tinggi-tinggi, berderap dengan cepat dan...
JLEB!
Kedua mata Ryu perlahan-lahan melebar ketika ia merasakan aliran rasa sakit yang menjalar di punggungnya. Dan meski ia tahu ia seharusnya merasa kesakitan, Ryu justru bangkit berdiri dan hal pertama yang ia lakukan adalah mendorong Hideki hingga lelaki itu roboh ke aspal. Ryu sempat mendengar Haru yang meneriaki namanya tapi ia telah kehilangan kendali. Tubuhnya bergerak semaunya, kedua kepalan tangannya terus mendaratkan pukulan di wajah Hideki. Tak hanya sekali... dua kali... tapi berkali-kali hingga Ryu dapat melihat sebuah gigi menculat keluar dari mulut Hideki.
"Ryu!! Hentikan!!"
Ketika Haru berteriak untuk kesekian kalinya, Ryu dapat melihat beberapa orang berjalan keluar dari rumah, mengecek keadaan di luar. Beberapa pria dan pejalan kaki ikut mendekat, mengerumuninya sambil berseru pada Ryu untuk berhenti. Lalu bunyi sirene mobil polisi terdengar tak berapa lama kemudian, membuat Ryu akhirnya duduk di aspal dengan napas yang terengah-engah.
"Ryu... Ryu... punggungmu..." ucap Haru, lirih.
Ryu memandang Haru yang kini berlutut di sampingnya. Tubuh gadis itu berguncang hebat, tangisannya begitu deras hingga membuat kelopak matanya bengkak. Ryu dapat melihat kedua tangan Haru bergetar cukup kencang. Melihat itu, Ryu menggenggamnya dengan kedua tangan sambil berkata, "Tenang. Kau tidak apa-apa. Ada aku di sini. Kau baik-baik saja."
"Tidak... Ryu... tapi kau..."
Ryu tersenyum kecil. "Aku baik-baik saja."
Haru menangis lagi. Ryu ingin membuka mulut, mengucapkan sesuatu untuk menenangkan Haru namun ia tak bisa merasakan kekuatannya lagi. Tiba-tiba pandangannya buram lalu...
BRUK!
Haru menangkap tubuh Ryu yang terjatuh ke dalam pelukannya. Kedua matanya melotot syok ketika melihat pisau lipat yang kini menancap di punggung Ryu.
"Tidak... tolong!! Siapa saja, tolong!!"
Tak lama kemudian, suara derap kaki yang sibuk serta bunyi sirene mobil ambulan yang mendekat terdengar. Haru mencengkeram erat tubuh Ryu dalam pelukannya selagi beberapa petugas ambulan datang dan memastikan keadaan Ryu. Dari kejauhan, Haru dapat melihat Hideki yang diampit dua petugas keamanan dan dipaksa masuk ke dalam mobil polisi.
***
Ai berlari dengan kencang, berlari melewati orang-orang yang berlalu-lalang di unit gawat darurat. Ia sesekali menabrak beberapa petugas lalu menggumamkan kata maaf sambil lalu. Kedua matanya menyapu seisi ruangan, mencari keberadaan Haru dengan cemas.
Tidak... tidak lagi. Haru begitu bersemangat untuk membuat kemajuan akhir-akhir ini. Untuk mengalahkan ketakutannya, untuk melawan trauma yang telah mencengkeramnya cukup lama. Ai benar-benar tidak senang harus mendengar kabar ini; kejadian seperti ini menimpa Haru lagi.
"Haru!" seru Ai ketika ia menemukan Haru duduk di barisan bangku duduk di depan pintu operasi.
Haru mengangkat wajah menatap Ai. "Ai... Ryu..."
Ai mengambil tempat duduk di samping Haru kemudian dengan cepat memeluk Haru sepenuh tenaga. "Tidak apa-apa. Dia akan baik-baik saja. Semuanya akan baik-baik saja."
Ai mengusap punggung Haru, sesekali menepuknya dengan upaya memberikan kekuatan. Haru hanya terdiam, napasnya tercekat akibat isakan tangisnya. Kedua tangannya masih bergetar cukup hebat dan Ai menggenggamnya dengan erat sambil berbisik, "Tenanglah, Haru. Tenang. Semua akan baik-baik saja."
Tak lama setelah itu seorang pria berseragam hijau dengan masker yang menutupi wajahnya berjalan keluar dari pintu dan menghampiri Haru serta Ai. Haru adalah yang pertama bangkit berdiri. "A-apa dia baik-baik saja? Ryu? Apa Ryu baik-baik saja?"
Petugas kesehatan itu menarik maskernya lalu tersenyum dan mengangguk. "Tanaka-san baik-baik saja. Untungnya, lukanya tidak cukup dalam untuk melukai pembuluh darah dan syaraf-syaraf penting di sekitarnya jadi, kami hanya membersihkan dan menjahit lukanya," jelas petugas itu dengan tenang. "Namun, sayangnya pisau yang menancap di punggungnya melukai beberapa otot yang berhubungan dengan lengannya. Jadi, sepertinya Tanaka-san tidak akan bisa menggunakan lengan kanannya selama beberapa hari ke depan. Selain itu, dia baik-baik saja."
Haru menangis lagi. Kali ini sambil mengucapkan, "Terima kasih banyak. Terima kasih."
Petugas kesehatan itu membungkukkan badan, memberi salam lalu menambahkan. "Anda bisa melihat teman Anda di ruang rawat UGD."
Kini Ai yang berkata, "Terima kasih."
"Ayo, Ai." Haru menarik tangan Ai, berlari menuju ruang rawat pasien UGD yang disekat dengan tirai-tirai putih.
Begitu salah seorang suster menunjukkan bilik milik Ryu, Ai menyentuh bahu Haru. "Haru, aku akan menunggu di ruang tunggu. Aku harus mengabari Haruya."
Haru mengangguk, lemah. "Maafkan aku kau harus datang ke sini."
Ai menggeleng. "Tidak masalah. Aku akan ada di sini. Kabari aku tentang keadaan Ryu nanti."
Haru mengangguk lagi. Sepeninggal Ai, Haru menyeret kedua kakinya menuju bilik Ryu. Ia menarik tirai putih penyekat dan melangkah masuk. Kemudian ia melihat Ryu yang setengah sadar, bersandar pada ranjang rumah sakit yang setengah ditegakkan. Haru langsung menghampiri Ryu yang kini tersenyum padanya. "Kau baik-baik saja?" tanya Ryu pada Haru yang kini berdiri di samping ranjang.
"Bodoh!"
Ryu mengerjap dan tertawa. "Itu yang kau katakan kepada orang yang telah menyelamatkanmu?"
Haru meneteskan air mata untuk kesekian kalinya. "Ya! Kau benar-benar bodoh! Dalam keadaan seperti ini, kau tidak seharusnya mencemaskanku. Dalam keadaan seperti ini, kau seharusnya memarahiku atau semacamnya. Kau tidak seharusnya tersenyum dan tertawa seperti itu!"
Ryu melihat Haru yang duduk di kursi di sebelah ranjangnya sambil tersenyum miring. "Aku tidak tahu kalau kau rupanya begitu cengeng. Lihat matamu, sudah seperti gumpalan daging."
"Berhenti bergurau seperti itu! Aku tidak sedang bercanda."
"Aku juga," jawab Ryu. Kemudian ia mengangkat tangan kirinya dan mengusap wajah Haru yang basah. "Berhentilah menangis."
"Tidak. Semua ini salahku. Kalau saja aku tidak berbohong kepada Kenta tentang hubungan kita... aku tidak mungkin meneleponmu hari itu... kau tidak mungkin menyelamatkanku dari orang itu dan malam ini... semuanya tidak akan terjadi."
"Tidak," ucap Ryu pelan. "Kalau aku tidak ada di sana, pria sialan itu akan melukaimu. Dan itu jauh lebih buruk dari sekedar ditusuk pisau. Membayangkannya saja sudah membuatku ketakutan setengah mati."
"Tetap saja... aku... maafkan aku."
Ryu memandang Haru yang kini menundukkan wajahnya lurus-lurus. Lalu ia menarik napas dan menghembuskannya. "Ogawa, aku benar-benar baik-baik saja. Berhenti menyalahkan diri dan yang paling penting, berhentilah menangis. Kau merusak matamu. Lagipula apa kau mau menakuti para bayi dengan mata yang bengkak?" Pertanyaan itu hampir berhasil membuat Haru tertawa. Lalu Ryu menambahkan, "Aku tidak keberatan."
Haru memberanikan diri menatap mata Ryu yang kini memandangnya dalam-dalam.
"Aku tidak keberatan ditusuk berulang kali selama aku bisa melindungimu," tambah Ryu sambil tersenyum lebar.
Haru tertegun. Ia mengalihkan pandangannya dari Ryu ketika ia mulai merasakan perasaan aneh itu lagi. Perasaan aneh yang membuat darahnya mengalir deras dan jantungnya berdebar lebih kencang. Perasaan yang menggelitik dadanya.
Haru tidak pernah memiliki seseorang yang berniat melindunginya seperti itu. Bahkan setelah kejadian menyeramkan yang terjadi sepuluh tahun yang lalu, Haru tidak pernah bergantung kepada siapapun untuk melindungi dirinya. Haru selalu mengandalkan dirinya sendiri. Dan melihat Ryu yang selalu berusaha melindunginya, membuat Haru merasa... entahlah. Haru tidak tahu bagaimana menjelaskan perasaannya saat ini.
"Kau bisa bertanggung jawab kalau merasa begitu bersalah," sahut Ryu, membuat Haru menengadah kepadanya.
Haru mengangguk, mantap. "Aku mau bertanggung jawab."
"Sungguh?"
Haru memanggut lagi. "Beritahu aku apa yang harus kulakukan."
"Hmm." Ryu berpikir sejenak lalu, "Aku ingin kau membatalkan kontrak kerjaku."
"Hmm?" Haru mengerutkan kening, tidak mengerti.
"Aku ingin berhenti bekerja sebagai pengawalmu," jelas Ryu. "Dan mulai berjalan bersamamu sebagai teman. Apa kau bisa melakukannya?"
Haru mengerjap. Ia tampak berpikir selama beberapa detik yang lama sebelum akhirnya mengangguk, samar.
"Aku tidak mau menerima bayaran melakukan sesuatu yang sudah semestinya kulakukan. Aku ingin mengawalmu sebagai seseorang yang ingin melindungimu," tambah Ryu sambil tersenyum tulus. "Dan terlebih dari itu, aku ingin kau membatalkan kontrakku karena...,"
Melihat Ryu meragu sambil mengalihkan pandangan darinya, Haru mengangkat kedua alisnya. "Hmm?"
Ryu memandang Haru lagi, kali ini sambil menggigit bibir. "...karena sepertinya aku akan melanggar salah satu peraturan yang kau buat. Tidak. Bukan hanya satu, tapi semuanya."
Semua larangan di sana. Itu berarti larangan tentang kontak fisik, larangan komunikasi verbal, larangan untuk berada lebih dekat dari satu meter dan larangan untuk... apa itu artinya, Ryu...?
"Kau tidak perlu menjawabnya sekarang," tambah Ryu. "Aku akan berada di sini saat kau sudah mempunyai jawabannya."
Haru termenung, menunduk menatap lantai rumah sakit yang pucat. Lalu ia merasakan jantungnya berdegup lagi, melompat-lompat tidak keruan menyentuh dadanya. Haru mencoba sekuat tenaga untuk mengabaikannya - mengesampingkan fakta kalau ia sebenarnya telah memiliki jawaban yang diinginkan Ryu.