Suara denting alat makan di ruang makan kediaman Ueda terdengar sedikit menegangkan. Kenta menyantap makan malamnya dalam diam, bunyi televisi di ruang tamu samar-samar menjadi latar belakang. Ibunya, Fujii Mio, melirik puteranya dari seberang lalu berdeham kikuk. "Jadi, bagaimana pertemuannya? Apa Kenzo baik-baik saja? Dia... sehat?"
"Dia baik-baik saja," jawab Kenta, singkat.
Mio meragu sebelum akhirnya memutuskan untuk bertanya lagi. "Apa... yang kalian bicarakan?"
"Bu, hentikan. Aku sama sekali tidak ingin membicarakannya," jawab Kenta, menghentakkan alat makannya di atas meja. Kemudian ia berdiri hendak beranjak pergi ketika Mio menyerukan namanya.
"Ueda Kenta!" Mio mulai kehilangan kesabarannya. "Aku tidak pernah membesarkanmu menjadi seseorang seperti ini. Seseorang yang menyimpan dendam begitu lama dan bersikap begitu kekanak-kanakan."
"Berhenti membelanya, Bu!" Kini Kenta yang mengeraskan suaranya. "Ibu tahu betul kalau dia hampir membunuh seseorang yang tidak bersalah. Demi apa? Demi beberapa lembar uang 10,000 ribu Yen. Bukankah aku lebih baik darinya? Apa Ibu bermaksud membesarkan seseorang seperti itu?"
"Hentikan!!!" Mio bangkit berdiri, mengacungkan jari telunjuknya pada Kenta. Bibirnya terasa gatal, begitu banyak kalimat menyakitkan yang ingin ia lontarkan pada puteranya namun ia mengerahkan seluruh tenaga untuk menahannya. "Semua orang pantas dimaafkan. Semua orang pantas mendapatkan kesempatan kedua. Kau seharusnya lebih baik dari ini, Kenta."
Setelah mengatakan itu, Mio meninggalkan Kenta berdiri mematung di ruang makan, memandang kekosongan tanpa bergeming sedikit pun.
Kenta tak mengerti jalan pikiran ibunya. Tuhan tahu sudah berapa banyak tindak kekerasan dan kriminal yang telah dilakukan oleh kakaknya. Tindakan-tindakan yang telah memenjarakannya selama bertahun-tahun. Korban-korban yang telah dirugikan Kenzo dan wanita-wanita tak bersalah yang hampir dicelakainya. Memikirkannya saja sudah membuat Kenta merasa geram.
Ibunya tentu saja hanya memikirkan putera kandungnya. Bagaimana dengan orang-orang di luar sana yang mengalami hari-hari yang buruk setelah bertemu dengan Kenzo? Orang-orang yang harus berperang melawan trauma yang begitu membekas sampai-sampai tidak mau hidup lagi. Ibunya tentu saja tidak memikirkan orang-orang itu. Tapi Kenta selalu memikirkannya. Merasa bersalah dan harus bertanggung-jawab.
Kenta menarik napas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya dengan kasar. Setelah menenangkan diri, ia membereskan piring-piring sisa makan malam di atas meja dan mencucinya, tak menyadari keberadaan Mio yang memandangnya dari ambang pintu dapur sambil meneteskan air mata.
***
"Aku sudah mengganti perban nyonya Nishimura di kamar 502. Aku juga sudah mengembalikan bayinya ke ruang bayi agar beliau bisa istirahat. Beritahu aku kondisinya nanti malam agar aku tahu apa yang harus kulakukan besok," ucap Haru kepada salah satu suster yang mengambil alih shift-nya.
"Baiklah. Aku akan mengirimimu pesan. Sampai besok."
"Sampai besok," Haru melambaikan sebelah tangan pada rekan kerjanya kemudian memasuki lift dan turun ke lantai satu.
Haru sedang berjalan menuju pintu keluar lobi sambil menunduk, memandang layar ponselnya ketika ia merasakan sentuhan di bahunya yang membuatnya menoleh.
"Kau bisa terperosok jatuh kalau berjalan sambil bermain ponsel."
Kedua alis Haru terangkat naik ketika mengenali orang yang baru saja memanggilnya. "Ryu-kun?!"
"Kenapa? Seperti melihat hantu saja."
Haru hampir tersenyum saat lelaki itu bicara. Kemudian ia mengerutkan kening, "Bukankah aku sudah memberitahumu untuk tidak datang hari ini?"
"Kau menyuruhku untuk tidak menunggumu di stasiun. Kau tidak memberitahuku kalau aku tidak boleh menunggumu di sini," Ryu mengangkat alis, menunjuk gedung rumah sakit dengan matanya.
"Tapi sekarang pukul empat sore. Bukankah kau seharusnya ada di sekolah?" Haru mengangkat jam tangannya.
Ryu menggeleng. "Sekolah selesai jam tiga. Lalu aku tidak harus menyelesaikan laporan hari ini jadi, di sinilah aku."
"Kenapa?" Ryu mengerutkan alisnya, tidak mengerti, membuat Haru mengulangi, "Kenapa kau datang ke sini?"
"Untuk mengajakmu makan sore bersama. Kau tidak mau? Aku yang traktir," ucap Ryu. Kemudian saat melihat senyuman di wajah Haru perlahan-lahan mengembang, Ryu menimpali, "Lihat siapa yang tersenyum. Di dunia ini memang tidak ada orang yang tidak menyukai makanan gratis. Ayo."
Haru tertawa renyah. "Tentu saja. Tapi sepertinya kali ini giliranku yang membayar."
"Tidak. Tapi kalau kau berniat untuk mentraktir, apa aku boleh menagihnya dengan cara lain?"
Haru dan Ryu menyeberang jalan, berjalan menuju halte bus yang mulai sibuk dipadati orang. Kemudian Haru mendengus, "Jangan macam-macam."
"Apa kau tahu minggu ini adalah puncak bunga sakura bermekaran?" tanya Ryu ketika berdiri di halte, menepi membiarkan Haru berdiri di bagian dalam halte sementara ia melongok keluar, mengintip bus yang datang.
"Benarkah?"
"Mm-hmm. Aku ingin melihatnya. Kau mau pergi bersamaku?"
Haru tak membutuhkan waktu yang lama untuk menjawab, "Kenapa tidak?" Jawaban itu membuat Ryu tersenyum lebar. Ia baru hendak membuka mulut mengucapkan sesuatu ketika Haru menambahi, "Aku akan pergi bersamamu kalau kau mau menemaniku ke suatu tempat."
"Aku tidak keberatan."
"Kau bahkan belum mendengar kemana aku akan membawamu," cetus Haru.
"Ke mana pun itu, aku tidak keberatan." Ryu menunduk, berpaling menatap Haru sambil tersenyum.
Haru mengangkat wajahnya tinggi-tinggi, memandang Ryu yang kini berbalik memunggunginya.
Entah sejak kapan, Haru merasakan perasaan yang aneh saat berada di sekitar Ryu. Perasaan nyaman yang menggelitik dadanya dan terkadang membuatnya gugup. Ryu kini tak lagi teman kecil menyebalkan yang bekerja untuknya. Bukan sekedar pria yang mengawalnya pulang dan mendapatkan bayaran. Lelaki itu sudah berubah menjadi seseorang yang berbeda. Dan membutuhkan waktu cukup lama bagi Haru untuk menyadarinya.
"Busnya sudah datang. Ayo," ucap Ryu.
Sebuah bus berwarna putih berhenti di hadapan mereka. Beberapa orang yang menunggu berdesakan untuk masuk ke dalam. Haru harus menepi, membiarkan dirinya didorong penumpang beberapa kali sampai akhirnya Ryu berjalan di depannya lalu berdiri di anak tangga bus di ambang pintu. Haru menengadah ketika Ryu mengulurkan sebelah tangan kepadanya, "Hati-hati."
Haru meragu sejenak sebelum akhirnya meraih tangan Ryu dan menaiki anak tangga masuk ke dalam bus. Ia menggumamkan 'terima kasih' tapi ia tidak yakin Ryu mendengarnya karena beberapa orang lainnya masuk ke dalam bus, mendorongnya dan Ryu hingga akhirnya berdiri di bagian tengah koridor yang sesak.
Bus mulai berjalan dan Haru harus menahan lututnya untuk tidak terhuyung mengikuti laju bus yang begitu cepat. Haru mendongak menatap atap bus, semua pegangan tangan telah dipakai. Haru harus mencari benda lain untuk dipakai menjadi alat menopang tubuh. Ia tidak mau terperosok jatuh di antara ramainya orang yang berdesakan. Oh, itu akan sangat memalukan. Dan tepat saat Haru sibuk mencari, Ryu tiba-tiba mengulurkan sebelah lengannya lurus-lurus dengan tangan yang dikepal, seperti gerakan meninju. "Peganglah erat-erat, perhentian selanjutnya sudah dekat. Kau tentu tidak mau terjerumus ke lantai bus, bukan?"
Haru melirik ke arah jalanan lalu buru-buru mencengkeram lengan Ryu ketika bus mendadak berhenti. "Ugh, aku benci naik bus. Kenapa kita tidak naik kereta saja?"
"Ada kedai udon yang enak di dekat tempat kerjaku. Tempat itu hanya bisa dijangkau dengan bus. Kau harus mencobanya. Bersabarlah sedikit," jawab Ryu.
"Kita akan ke sekolah tempatmu mengajar?"
Ryu mengangguk mantap.
Haru lalu bertanya lagi, "Kenapa kau tidak memberitahuku untuk datang ke sana saja? Sungguh-sungguh buang waktu."
Ryu mendesah sambil setengah tertawa, "Lelaki macam apa yang menyuruh wanita datang menemuinya? Aku tentu saja harus datang menjemputmu. Bukankah itu sudah jelas?"
Benarkah? tanya Haru dalam hati. Ia tidak tahu jawabannya. Ia tidak pernah berteman dengan pria. Bagaimana ia bisa tahu apa yang seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan pria padanya?
Beberapa menit kemudian, bus berhenti di sebuah halte di perempatan kecil. Haru dan Ryu turun dari bus lalu berjalan menuju sebuah bangunan kayu yang terhimpit rumah-rumah di antara gang kecil. Bangunan kayu itu menyerupai minka. Ada papan kayu dengan tulisan Inakaya Udon di puncak pintu. Ryu menggeser pintu tersebut, memimpin langkah Haru memasuki kedai.
"Halo, Yamamoto!" sapa Ryu dengan suara lantang.
"Oh, Tanaka sensei! Selamat datang! Kau mau yang seperti biasa? Dan... oh...,"
Lelaki muda yang disapa Ryu mengarahkan pandangannya kepada Haru. Menangkap tatapan itu, Haru langsung membungkukkan badan memberi salam. "Selamat sore."
Ryu tersenyum kemudian berkata, "Hari ini aku tidak sendirian."
Lelaki muda itu balas tersenyum kepada Haru.
"Oh? Tanaka-sensei! Teacher!"
Beberapa lelaki muda berseragam sekolah yang duduk di pojok restoran melambaikan sebelah tangannya tinggi-tinggi. Ada lima orang murid yang tampak bersemangat begitu melihat kemunculan Ryu. Melihat itu, Haru dapat menilai kalau Ryu guru yang disukai di sekolahnya. Dan gagasan itu entah mengapa membuat Haru tersenyum.
"Apa kau keberatan untuk duduk di sana sementara aku menyapa mereka?" tanya Ryu sambil menunjuk ke arah meja para murid dengan dagunya.
Haru langsung menggeleng. "Tentu. Aku akan menunggu di sini."
Tepat saat ia duduk di meja yang kosong, lelaki muda yang disapa Yamamoto tadi menghampiri mejanya. "Ini menunya."
"Terima kasih," gumam Haru.
"Anda yang pertama."
"Ya?" Haru mengangkat wajah menatap Yamamoto.
"Anda adalah teman wanita pertama yang dibawa Tanaka sensei kemari."
Entah bagaimana, kalimat itu membuat Haru tersipu malu. "Ah, begitu rupanya."
"Silahkan melihat-lihat menu. Beritahu aku apa yang Anda suka." Yamamoto kemudian meninggalkannya dan menghilang di balik pintu dapur.
Tak berapa lama setelah itu, Ryu kembali pada Haru dan duduk bersamanya di sisi lain meja. "Jadi, kau sudah memilih?"
"Belum. Samakan saja dengan pilihanmu," ujar Haru kepada Ryu yang langsung meneriakkan pesanannya pada Yamamoto. Lalu Haru bertanya lagi, "Jadi, kau mengenal pemilik kedai ini?"
Ryu menggeleng. "Aku hanya mengenal Yamamoto, pekerja sambilan yang bekerja di sini."
"Sepertinya kau sering datang kemari."
Ryu mengangguk sambil tersenyum. "Yamamoto. Dia salah satu murid di sekolahku. Orang tuanya meninggal dunia beberapa tahun yang lalu dan dia harus menghidupi dua adik kembarnya seorang diri," jelas Ryu sambil memainkan alat makan yang ia ambil dari kotak sumpit. "Dan meski begitu, dia tetap giat belajar dan tidak pernah patah semangat. Aku sungguh-sungguh mengaguminya. Aku ingin mendukung semangat itu. Aku ingin membantunya dengan caraku."
Haru tersenyum. "Dengan cara datang ke sini dan memastikan keadaannya?"
Ryu mengangkat wajah memandang Haru sambil balas tersenyum, "Begitulah."
Haru tersenyum lagi. Ia tak dapat mengendalikan kedua matanya yang tersenyum menatap Ryu yang kini sibuk dengan ponselnya. Rupanya ada banyak hal yang Haru tidak ketahui tentang Ryu. Salah satunya seperti bagaimana Ryu selalu memikirkan murid-muridnya. Mungkin karena itu Ryu disukai anak-anak di sekolahnya. Karena ketulusannya.
Tak berapa lama kemudian, dua mangkuk udon panas diletakkan di atas meja. Selama beberapa menit yang lama, Ryu dan Haru hanya menikmati makanan mereka sambil sesekali membicarakan soal kegiatan sekolah dan pekerjaan Haru.
Haru menghabiskan makanannya cukup cepat. Sepertinya tanpa ia sadari, ia lebih lapar dari dugaannya. Kemudian setelah mengobrol dengan Yamamoto dan beberapa murid lainnya, waktu menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Dan langit mulai redup. Haru mendongak menatap langit dan mendapati dirinya mulai gelisah.
"Jangan khawatir. Aku akan mengantarmu," ucap Ryu yang baru saja keluar dari kedai. Ia lalu melambaikan tangan pada mobil taksi yang kebetulan lewat. Dan saat taksi itu berhenti, Ryu membukakan pintu dan merentangkan sebelah tangan. "Silahkan masuk, tuan puteri."
"Cih. Tapi, bukankah kita bisa naik kereta saja?"
"Sekarang jam pulang kantor. Kita bisa tiba di rumahmu jam 8 malam kalau mengejar kereta sekarang. Hari ini saja, kita naik taksi."
Haru mendesah sebal sebelum akhirnya terpaksa memasuki mobil. Ia sebenarnya ingin mengoceh tentang cara Ryu mengelola uang. Kalau dilihat-lihat lelaki itu benar-benar boros. Atau setidaknya, tidak memikirkan pengeluaran uang sama sekali. Sangat bertolak belakang dengan dirinya.
Taksi yang mereka tumpangi berhenti persis di depan gedung apartemen Haru. Sepeninggal mobil taksi, Ryu berdiri di ambang gerbang sambil menunjuk gedung dengan dagunya. "Cepat masuk. Sudah malam."
Haru mengangguk. Ia meragu sejenak sebelum menjawab, "Terima kasih untuk hari ini, Ryu-kun."
"Sama-sama."
"Jadi di sini tempat tinggalmu, Haru-chan?"
Sebuah suara pria yang asing membuat Ryu dan Haru berpaling ke sumber suara tersebut. Tak jauh dari mereka, seorang pria berambut ikal panjang berdiri di ujung gang, menjejalkan kedua tangan ke saku celana dengan kaku. Bayangan pria itu sedikit samar, tak tampak jelas sampai akhirnya cahaya lampu jalanan menerangi bayangan pria itu yang berjalan mendekat.
Kini Haru dapat melihat cukup jelas seperti apa wajah lelaki itu dari tempatnya berdiri. Wajahnya terlihat seperti tengkorak dengan tulang hidung yang terangkat naik. Tubuhnya kurus dan pendek. Tunggu... Haru yakin ia pernah melihat orang itu di suatu tempat sebelumnya. Orang itu... bukankah dia... Hideki?
"Kau? Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Ryu pada Hideki sambil berdiri memunggungi Haru dengan sikap melindungi.
Hideki terus berjalan mendekat dengan gerakan lambat yang tampak mencurigakan. "Untuk menyelesaikan apa yang belum selesai."
"Apa yang belum selesai? Aku tidak ingat kita punya masalah. Aku bahkan hampir tidak ingat denganmu," balas Ryu sambil setengah tertawa, mengejek.
Haru hanya berdiri di sana, mematung di balik punggung Ryu sambil berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis. Tubuhnya mulai berguncang. Rasa takut yang selalu menghantuinya mulai muncul ke permukaan dan membuatnya cemas.
"Setelah mempermalukanku di depan umum, kau pikir kau bisa pergi begitu saja tanpa bertanggung-jawab?" Kini Hideki yang tertawa cukup nyaring. Lalu sebelah tangannya dikeluarkan dari dalam saku. Kedua mata Haru mendelik ketakutan saat melihat benda yang keluar dari sana. "Aku tidak suka dengan orang yang suka mempermainkanku."
Kedua mata Ryu pun ikut melebar syok saat melihat pisau lipat dalam genggaman Hideki yang memantulkan cahaya lampu jalanan. Pemandangan itu langsung membuat Ryu memasang kuda-kuda dengan sebelah tangan terulur ke belakang, memastikan Haru baik-baik saja. Kemudian sambil setengah berbisik, Ryu berkata, "Ogawa... telepon polisi."