Aku mendapatkan shift pagi minggu ini, jadi kau tidak perlu datang menjemputku.
Ryu memandang layar ponselnya cukup lama sebelum akhirnya melemparkannya ke atas kasur. Ia baru saja bangun dari tidur pendek ketika getaran ponsel membuatnya terbangun. Ryu merentangkan kedua lengannya, mengernyit merasakan sinar matahari yang menembus masuk lewat kaca jendela kamar. Ia beringsut ke ujung kasur lalu menyeret dirinya ke dalam kamar mandi. Sambil memandang wajahnya yang tak bertenaga, Ryu menggosok gigi dengan malas.
Entah mengapa setelah membaca isi pesan dari Haru, Ryu kehilangan semangat. Rasanya ia hanya ingin membenamkan diri di kasur dan tidur sampai besok. Apa ia harus ijin mengajar saja hari ini? Ryu mendesah berat kemudian berkumur dan mencuci muka sebelum akhirnya mandi.
Setelah selesai mengenakan pakaian, ia keluar dari kamar menuju ruang duduk. "Morning," sapa Ryu pada Akira yang sedang mengenakan kaus kaki di sofa ruang duduk.
"Pagi. Kepalaku sakit sekali setelah karaoke kemarin malam," gumam Akira, lebih kepada diri sendiri.
Ryu memasukkan dua potong roti tawar ke dalam mesin pemanggang kemudian mengeluarkan susu dari dalam kulkas. Ia tertawa pendek, "Aku senang aku tidak memutuskan untuk ikut kemarin."
"Ya. Apa yang kau lakukan hari Minggu kemarin? Berkencan dengan tunanganmu? Ngomong-ngomong, aku sakit hati. Kita sudah tinggal bersama selama lebih dari lima tahun dan kau tidak pernah memberitahuku kalau kau sudah bertunangan," keluh Akira sambil bangkit berdiri.
Ryu terdiam sejenak, berdiri memunggungi Akira sambil menuang susu ke dalam gelas. 'Aku sendiri tidak tahu, Akira.' Ryu bergumam dalam hati sambil tersenyum kecil. "Yah," katanya, santai. "Haru ingin aku merahasiakannya dari siapapun."
"Begitu rupanya." Ryu dapat mendengar Akira mengenakan sepatu di genkan. Lalu temannya itu menyahut, "Aku pergi dulu. Bye."
Ryu hanya menggumamkan, "Hmm," pada Akira yang tampak terburu-buru saat menutup pintu apartemen. Tidak seperti Ryu, Akira bekerja sebagai staf marketing di sebuah perusahaan impor. Jam kerjanya dimulai lebih cepat dari Ryu dan kadang-kadang ia harus lembur jadi Ryu jarang sekali melihat Akira di rumah. Ia hanya menghabiskan waktu dengan Akira di akhir pekan dan berbincang pendek di pagi hari sebelum pergi bekerja.
TING!
Bunyi dua roti bakar yang menculat dari mesin pemanggang membuat Ryu menoleh. Ia menarik keluar rotinya, mengoles selai stroberi kemudian menjejalkannya ke dalam mulut. Sambil menikmati sarapannya, Ryu melihat isi ponselnya. Ia baru sadar kalau ia belum membalas pesan Haru.
Melihat isi pesan yang dikirim Haru membuat Ryu teringat akan ucapan Kenta.
Apa yang dimaksud Kenta dengan kecelakaan yang dialami Haru? Sebenarnya apa alasan Haru membutuhkan pengawal sewaan? Apakah ada alasan di balik Haru yang selalu terlihat resah dan tidak nyaman di sekitarnya? Apakah kecelakaan itu ada hubungannya dengan reaksi Haru yang mendorongnya sekuat tenaga dengan ketakutan malam itu? Kecelakaan yang membuat Haru tidak berani sendirian saat langit mulai gelap.
Ryu begitu ingin menanyakan banyak hal - kepada Kenta, kepada Haru, kepada siapapun yang memiliki jawabannya. Tapi, ia tidak bisa bertanya pada Kenta karena anak itu tidak tahu hubungannya dan Haru yang sebenarnya. Ia juga tidak bisa bertanya pada Haru karena gadis itu selalu menutup diri dan ia tahu kalau ia memaksakan diri untuk mencari tahu, ia hanya akan membuat Haru semakin jauh. Dan itu adalah hal terakhir yang ia inginkan.
Akhirnya, Ryu diam. Diam, meski perasaan serta begitu banyak pertanyaan bercampur aduk di dalam dirinya, membuatnya sulit bernapas.
DRRT-DRRT-DRRT!
Ponselnya yang bergetar-getar membuat Ryu tersentak dari lamunannya. Ia kemudian menjawab panggilan yang masuk dengan cepat. "Moshi-moshi?"
"Kenapa tidak membalas pesanku?"
Suara di seberang sana sontak membuat Ryu tersenyum lebar. "Ah, aku lupa."
Ryu dapat mendengar Haru mendesah kesal lewat speaker ponselnya. "Aku harus memastikan kau membaca pesanku. Aku tidak mau kau menungguku di stasiun hari ini karena aku-,"
"Mendapatkan jadwal kerja malam minggu ini. Aku tahu," potong Ryu. Senyumnya melebar, ia mulai merasakan semangatnya kembali menjalari tubuhnya. "Aku sudah membacanya."
"Ya, dan kau seharusnya mengucapkan sesuatu agar aku tahu kau sudah membacanya," ucap Haru sebal. Nada suara Haru membuat Ryu yakin gadis itu baru saja memutar bola mata.
"Ya, maaf. Lagipula, aku tidak keberatan menunggu," jawab Ryu lalu menegak habis susu dinginnya.
Haru mendecak, "Untuk apa menunggu seseorang yang tidak akan datang? Buang-buang waktu saja."
"Karena kalau kau tidak datang, aku punya alasan untuk mengunjungi apartemenmu. Menggeledah masuk dan memastikan kau baik-baik saja," goda Ryu, setengah tertawa.
"Ugh, lupakan saja. Pokoknya kau bebas tugas minggu ini. Lakukan... entahlah, apapun yang kau mau. Aku akan mengabarimu lagi kalau ada perubahan jadwal."
"Hmm. Baiklah," ucap Ryu. "Dan, Ogawa?"
"Apa?"
"Kau lahir di musim semi, bukan?"
Haru tidak langsung menjawab. Lalu, "Bukankah sudah jelas? Memangnya kenapa?"
"Tidak apa-apa. Hanya ingin tahu. Karena aku juga lahir di musim semi."
Haru menarik napas, kaget. "Benarkah?! Aku tidak pernah tahu. Maksudku, kau tidak pernah memberitahuku."
"Kau tidak pernah bertanya," balas Ryu, tersenyum miring lalu melirik jam dinding yang terus mengingatkannya untuk lekas pergi. "Baiklah, kalau begitu. Aku harus pergi sekarang. Sampai ketemu."
***
"Sampai ketemu," ucap Ryu kemudian menutup telepon. Haru menunduk, memandang layar ponselnya dalam diam.
"Ya, dia tunanganku."
Suara Ai yang tiba-tiba muncul di balik bahunya membuat Haru terkesiap. Ia berbalik menatap temannya itu dengan kedua mata melebar, sebal. "Bisakah kau berhenti melakukan itu?! Itu benar-benar menjengkelkan."
Haru berjalan menuju ruang bayi, mengenakan celemek untuk bersiap-siap melakukan tugas pertamanya di pagi hari: memandikan bayi. Ai menyusulnya dari belakang sambil berkata, "Maksudku, itu benar-benar romantis. Aku menyaksikannya sendiri dengan kedua mataku. Aku melihatnya, kedua mata Ryu yang memandangmu sambil mengatakan itu. Oh! Hatiku meleleh."
"Hentikan, Ai. Dia hanya melakukan itu karena aku sudah berbohong pada Kenta tentang hubungan kami," jelas Haru, mengangkat salah satu bayi yang dibungkus kain pengikat dengan hati-hati lalu membawanya ke sebuah bilik di ujung ruangan, di mana perlengkapan mandi telah disiapkan.
Ai mengikuti Haru dari belakang sambil memeluk bayi yang lain dengan hati-hati. Di dalam bilik ruang ganti, terdapat meja panjang yang dilapisi kain anti basah. Di atas meja itu, ada beberapa baskom berisi air hangat dan tumpukan handuk serta kain bersih yang akan digunakan untuk mengelap bayi. Haru menempati baskom pertama saat Ai mengambil tempat di sebelah Haru.
"Tapi kau mengiyakannya," Ai menekankan sambil tersenyum menggoda.
Haru meletakkan tubuh bayi di pelukan sebelah lengannya sementara tangannya yang bebas membasahi kain kering di dalam baskom. Ia dengan telaten mengusap wajah bayi dalam pelukannya perlahan-lahan. Saat itu ia menjawab, "Aku tidak membantah karena akulah yang memulai semuanya. Aku yang membuat Ryu harus berbohong di depan Kenta dan aku pula yang telah membuatnya harus melakukannya lagi di depan temannya."
"Hmm, begitu rupanya," gumam Ai. Lalu ia menambahi, "Tapi, bagaimana perasaanmu saat Ryu berkata seperti itu?"
Pertanyaan itu sanggup membuat Haru hampir berhenti bergerak. Tiba-tiba ia tertarik kembali ke saat itu.
Kalau dipikir-pikir, Haru cukup syok saat mendengar Ryu mengatakan itu kepada temannya waktu itu. Bukankah ia hanya perlu berbohong di depan Kenta? Sejak kapan mereka berdua harus berpura-pura menjadi pasangan di depan semua orang? Satu-satunya orang yang tahu kebenarannya hanya Ai seorang. Dan yang lebih aneh, Haru tidak mengerti mengapa dirinya tak mengatakan apapun saat Ryu bicara panjang lebar, menceritakan kisah pertemuannya yang tidak nyata pada Akira.
"Biasa saja," jawab Haru pada akhirnya.
"Benarkah?" tanya Ai, sambil lalu.
Benarkah? Haru mengulangi pertanyaan itu pada dirinya sendiri. Entahlah. Haru tidak yakin. Ia tidak pernah mempunyai teman laki-laki selama ini. Tidak semenjak kejadian itu. Jadi ia tidak tahu bagaimana rasanya didekati seorang pria atau sekedar berteman dengan mereka. Satu hal yang diyakini Haru adalah ia merasa aman berada di sekitar Ryu.
"Ngomong-ngomong, Ai. Kau akan datang ke pesta pertunanganku minggu ini, bukan?" tanya Ai, mengganti topik pembicaraan.
Haru mengangguk, mantap. "Tentu saja. Kenapa?"
"Kau harus datang bersama seseorang. Dan kuharap orang itu Ryu," lanjut Ai lalu memandangnya sambil tersenyum tulus.
Haru termenung. Lalu ia menjawab, "Akan kupikirkan."