Chapter 4 - Tiga

Hari pertama mengajar setelah libur musim dingin begitu melelahkan. Tidak hanya harus berurusan dengan anak-anak malas yang belum 'bangun' dari libur panjang, tapi ia juga harus menyeret diri ke dunia nyata setelah menghabiskan waktu bersama Haru semalam. Ia juga harus menjaga diri agar tidak terlalu senang agar bisa fokus mengajar hari ini. Meski bahan mengajar tak terlalu banyak dan ia hanya menyuruh murid-murid di kelasnya untuk bergantian membaca buku dengan suara lantang, tapi kegiatan hari ini cukup menguras energi.

"Teacher!" seru salah seorang murid di kelasnya.

Ryu mengangkat wajah dan menatap murid perempuan yang memanggilnya. Ia menjelaskan beberapa bagian yang tidak dimengerti kemudian meminta murid itu untuk melanjutkan membaca. Lalu ia melempar pandangan ke luar jendela kelas. Langit hari ini mendung. Kemungkinan besar hujan akan turun sore ini. Hal pertama yang melintas di benaknya adalah apakah Haru membawa payung?

"Ueda! Giliranmu! Psst!"

Suara seorang murid yang berbisik dengan suara yang kelewat lantang menarik perhatian Ryu untuk kesekian kalinya. Ia menahan diri agar tidak menghela napas berat lalu pandangannya tertarik pada seorang anak laki-laki berambut pendek yang duduk di barisan ketiga dari kanan. Anak lelaki itu terlihat lesu, tak bersemangat dan hilang konsentrasi. Dan tidak biasanya ia terlihat begitu.

Ryu menarik napas sebelum buka suara, "Ueda!" Suaranya berhasil membuat anak itu menegapkan badan lalu memandangnya.

Kenta berdeham lalu melirik Ryu dengan kikuk. "Eh... so-sorry," ucapnya lalu mulai membaca kolom yang ditunjuk oleh teman semejanya.

"Focus, kids!" seru Ryu sambil mulai berjalan mengelilingi barisan kursi duduk para murid.

Ketika Ryu tiba di sudut kelas, Ryu mengeluarkan ponselnya diam-diam dan melihat isinya. Ibu jarinya bergerak naik-turun, mengecek e-mail dan beberapa pesan masuk. Kemudian perhatiannya tertarik pada sebuah pesan masuk dengan nama 'Kuda' di atasnya. Ryu buru-buru membuka pesan masuk tersebut dan melihat isinya.

- Jangan terlambat sore ini. Tunggu aku jam 7 malam. -

Dalam makan malam mereka kemarin, Ryu banyak bertanya tentang apa saja yang dilakukan Haru selama ini. Haru memberitahunya kalau ia sudah lulus kuliah dan saat ini bekerja sebagai suster di sebuah rumah sakit bersalin di kawasan Nakaochiai. Tugasnya adalah merawat bayi-bayi yang baru lahir sampai diperbolehkan pulang bersama ibunya. Dan ketika ditanya kenapa ia memilih pekerjaan itu, Haru menjawab kalau ia sangat mencintai bayi dan anak-anak. Katanya berada bersama anak kecil membuat isi pikirannya tenang. Mendengar pernyataan itu membuat Ryu begitu senang. Bukankah itu berarti Haru akan menjadi seorang ibu yang luar biasa?

Namun setelah percakapan itu, Haru menjelaskan beberapa aturan untuk pekerjaan sampingannya. Gadis itu memberitahunya kalau ia tidak diperbolehkan mengajaknya bicara selama menemaninya pulang, tidak boleh berdiri lebih dekat dari satu meter dan tidak boleh ada hubungan fisik. Lalu Haru akan memastikan dirinya menandatangani sebuah kontrak sebagai kesepakatan mereka.

Ryu tak yakin ia menyukai peraturan-peraturan itu tapi sebagai seseorang yang profesional, ia harus mengikutinya. Lalu sambil tersenyum samar, Ryu menulis sebuah balasan singkat kepada Haru.

- Oke. Bawa payung, kudengar sore nanti turun hujan. Aku tidak mau meminjamkan payungku. -

"Ueda!"

Ryu sedang memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya ketika ia mendengar salah satu muridnya lagi-lagi membuat onar. Ia memutar bola mata. Mengajar murid SMA memang lebih menguras tenaga dan melatih kesabaran. Apalagi yang mereka lakukan sekarang?

"Kenapa kau terus mengganggu Ueda, Yamato? Sebenarnya apa yang kau inginkan darinya?" tanya Ryu sambil menghampiri meja Yamato Enji, yang duduk di belakang Kenta. Pertanyaannya barusan membuat salah seorang murid yang sedang membaca berhenti bicara.

Enji mengangkat wajah pada Ryu dengan perasaan bersalah lalu menggeleng samar.

Kemudian Ryu berjalan ke meja Kenta dan mengetuk papan mejanya. "Are you okay? Kau tampak tidak sehat hari ini."

"Dia baru saja putus cinta, sensei!"

Seruan itu disusul tawa samar para murid yang kemudian menggaung nyaring. Ryu hanya perlu melempar tatapan tajam pada sumber biang onar untuk membuat kelas itu diam. Lalu ketika dilihatnya Kenta tak bergeming, Ryu mengerutkan sebelah alisnya dan memerintah, "Lanjutkan membaca."

Aneh. Sepengetahuannya, Ueda Kenta adalah salah satu murid dengan semangat paling tinggi dalam mempelajari bahasa Inggris. Logatnya mendekati sempurna, pelafalannya sangat bagus dan ia selalu mendapatkan skor yang cukup tinggi dalam ujian tatabahasa. Kenta selalu terlihat bersemangat mempelajari hal-hal baru di kelasnya, kecuali hari ini. Ada yang menyita perhatian anak itu dan Ryu ingin tahu.

***

Haru menghela napas berat ketika ia selesai mengganti pakaian di ruang ganti.

Haru mengecek waktu di jam tangannya kemudian bersiap-siap pergi. Ia masih punya banyak waktu untuk tiba di stasiun Takadanobaba, stasiun tempat janji temunya dengan Ryu sekaligus stasiun yang terletak di dekat apartemennya. Meski masih ada satu jam tersisa, Haru tetap harus bergegas kalau tidak mau berdesakan dengan puluhan orang di dalam kereta.

"Haru."

Suara sahabatnya, Ai, membuat Haru menoleh. "Kau belum pulang?"

"Aku menunggu Haruya-san. Kita akan pulang bersama," jawabnya.

Ah, ya. Haru lupa kalau Ai sudah punya Edogawa Haruya, kekasih sekaligus dokter spesialis anak di tempat mereka bekerja. Haru menghembuskan napas yang terdengar seperti ungkapan rasa iri. "Oh, tentu saja. Selamat menikmati."

Ai tertawa pendek. "Di mana pacarmu?

Pacar yang dimaksud Ai adalah tokoh fiktif yang dibuat Haru untuk membuat Kenta berhenti berharap. Haru terpaksa berbohong kalau ia sudah punya pacar dan bahkan mempunyai rencana untuk menikah di waktu dekat saat Kenta memberitahunya kalau ia bersedia menunggu selama apapun. Bocah itu mulai terdengar menakutkan ketika ia bilang ia bahkan akan mengunjungi apartemen Haru setiap malam. Haru tak punya pilihan lain selain berbohong.

Haru mengerutkan dagu. "Dia sedang menungguku di masa depan. Sudah dulu, aku harus buru-buru."

"Pengawal sudah menunggu?"

Haru terkekeh sambil mengangguk. "Sampai ketemu besok."

"Bye."

Haru tiba di stasiun Takadanobaba hampir tiga puluh menit kemudian. Langit sudah gelap, dan udara musim semi berhembus cukup dingin. Haru mendapati dirinya melonjak kaget ketika melihat rintik hujan yang turun agak deras dari dalam stasiun. Ia lalu menepuk jidat. Ia ingat Ryu memberitahunya soal hujan malam ini tapi ia begitu sibuk sampai-sampai tak sempat membalas maupun menyiapkan payung. Ia berkacak pinggang sambil mengomeli dirinya sendiri.

Yah, apa boleh buat. Ia harus memaksa Ryu untuk meminjamkan payungnya.

Haru menempelkan kartu kendaraan umum pada mesin pintu keluar otomatis lalu berjalan menuruni tangga menuju gerbang keluar yang terletak di bagian belakang stasiun. Pintu keluar itu terhubung langsung dengan jalanan sempit yang mengarah ke apartemennya. Haru sudah memberitahu Ryu dimana pria itu harus menunggu, ia harap lelaki itu tidak kehilangan arah.

Ketika Haru tiba di pintu keluar bagian belakang stasiun, Haru mendapati Ryu sedang berdiri, menyandarkan bahu di tembok sambil mengangkat wajah menatap langit. Haru hanya bisa melihat bagian belakang tubuh Ryu yang memungginya dari tempatnya berdiri. Dari sana, ia baru menyadari betapa tingginya lelaki itu dibandingkan beberapa lelaki pada umumnya yang berjalan melewatinya. Ryu mengenakan mantel tipis yang menutupi kemeja kerjanya, sebelah tangannya dijejalkan ke dalam saku celana sementara tangannya yang lain menggenggam gagang payung yang belum dibuka. Rambutnya yang agak panjang tampak agak berantakan karena hembusan angin. Mengamati Ryu seperti ini membuat Haru sadar kalau Ryu besar sungguh berbeda dari Ryu kecil yang pernah ia kenal.

Ia baru hendak melangkah ketika Ryu tiba-tiba menoleh ke arahnya. Lalu lelaki itu tersenyum. "Kau sudah datang?"

Haru berjalan menghampiri Ryu sambil menjawab, "Sepertinya sudah kubilang kalau kau tidak diperbolehkan mengajakku bicara."

"Peraturan itu hanya berlaku setelah aku menandatangani kontrak. Jadi aturan-aturan itu belum berguna sekarang. Di mana payungmu? Sepertinya aku sudah memberitahumu kalau malam ini akan hujan," protes Ryu sambil bersiap-siap membuka payungnya.

Haru mengerutkan dagunya. Ia malu untuk mengakui kecerobohannya tapi akhirnya ia buka mulut, "Aku lupa membawanya."

Ryu mengerang sambil memutar bola matanya. "Sudah kubilang aku tidak mau meminjamkan payungku. Lagipula, bagaimana aku bisa memayungimu kalau aku tidak diperbolehkan lebih dekat dari satu meter? Kau dan peraturan bodohmu itu benar-benar tidak masuk akal."

"Masuk akal kalau aku ingat untuk membawa payung. Tapi karena aku tidak punya payung, kau harus memayungiku hari ini. Lagipula, kau sendiri yang bilang kalau peraturan kita belum berlaku." Haru menarik gagang payung yang digenggam Ryu lalu memerintah, "Cepat payungi aku. Aku akan memberitahumu jalan ke apartemenku."

Ryu menarik juntaian rambut Haru dengan sebal dan mengabaikan erangan Haru lalu membuka payung. Sambil menggenggam gagang payung erat-erat, Ryu mengangkat payung melindungi kepala Haru dengan hati-hati. "Jangan cepat-cepat! Payungku ini berukuran untuk satu orang. Tidak mudah memayungimu dan ekor kudamu itu tanpa memastikan bajuku tidak basah kuyup," keluh Ryu.

Haru mendesis lalu berusaha menyamakan langkah kakinya dengan Ryu. Payung milik Ryu rupanya lebih kecil dari yang terlihat. Haru harus mempersempit jarak di antaranya dan Ryu agar perjalanan menuju rumahnya tidak begitu menyiksa. Haru tahu ia seharusnya mendesak lebih dekat agar Ryu mendapatkan setengah bagian payung tapi semakin dekat ia merasakan keberadaan Ryu, ia dapat merasakan tubuhnya mulai bergetar.

Malam yang gelap, hujan lebat dan gang yang sempit serta keberadaan laki-laki yang mendekapnya... suasana ini memicu keresahan dan ketakutan yang sudah lama Haru kubur dalam-dalam. Trauma menakutkan yang selalu berusaha muncul ke permukaan dan menariknya ke masa lalu.

"Kau baik-baik saja?"

Haru baru sadar ia dan Ryu sudah setengah jalan ke apartemennya ketika mendengar suara berat Ryu di sampingnya. Lalu ia mengangguk, "Hanya mengantuk."

"Hmm. Jadi berapa banyak pria yang sudah melakukan ini untukmu?"

Pertanyaan itu membuat Haru mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi. "Melakukan apa?"

"Memayungimu seperti ini dalam perjalanan pulang."

"Para pengawal sewaan itu tidak diperbolehkan-,"

"Bukan pengawal sewaan," sela Ryu. "Maksudku teman laki-laki."

Haru mengerutkan dagu dan berpikir sejenak. Kalau dipikir-pikir, Haru tidak ingat ia punya teman laki-laki yang memayunginya seperti ini dalam perjalanan pulang. Ia bahkan tidak pernah punya pacar. Bagaimana mungkin ada pria yang bisa melakukan hal-hal seperti ini?

Tapi Haru kemudian teringat pada bocah SMA yang selalu membawa payung cadangan setiap hujan turun. Sudut-sudut bibir Haru membentuk senyum samar ketika mengingat Kenta yang selalu memiliki rencana kedua kalau-kalau Haru melupakan payungnya seperti hari ini. Dan meskipun Kenta tak pernah benar-benar memayunginya, Haru menjawab, "Satu. Satu orang."

"Oh." Ryu merasakan otot-otot lehernya melemas.

"Apartemenku gedung tingkat tiga berwarna hitam di sana, di seberang toko kelontong kecil."

Ryu mengikuti arah pandang Haru. Gedung apartemen itu tak begitu besar tapi juga terlihat luas. Ada lapangan parkir di pintu masuk yang diisi oleh beberapa mobil penghuni. Lalu ketika ia dan Haru mulai mendekati lapangan parkir, Ryu menyadari keberadaan seseorang yang berdiri di bawah payung hitam yang lebar. Perhatiannya tertarik karena seragam sekolah yang dikenakan lelaki itu terlihat begitu familiar. Ryu menyipitkan kedua matanya untuk melihat lebih jelas.

"Oh, demi Tuhan..."

Ryu dapat mendengar Haru mengerang. "Ada apa?" tanya Ryu.

"Sepertinya aku membutuhkan bantuanmu. Ikuti alurnya dan jangan ucapkan apapun," perintah Haru tanpa menatapnya. Pandangannya terpaku pada anak sekolah yang kini berjalan mendekat. Ryu baru hendak menanyakan apa maksud ucapan Haru ketika ia mendengar suara yang familiar.

"Se...sensei?"

Kedua mata Ryu melotot kaget ketika wajah Ueda Kenta muncul dari balik payung. "Ueda?"

"Kau mengenalnya?" tanya Haru pada Ryu dengan nada histeris.

"Jadi... dialah tunanganmu?"

"Tunangan?!" Kini Ryu yang bertanya sambil melongo, kaget.

Haru memandang Kenta yang memandangnya tidak mengerti lalu berpaling pada Ryu yang menuntut balasan. Pemandangan itu membuat Haru menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan mata. Oh, ia benar-benar dalam masalah besar.