Chereads / Spring Breeze - 春のそよ風 / Chapter 10 - Sembilan

Chapter 10 - Sembilan

Saat Haru kembali ke mejanya, acara sudah berlangsung setengah jalan. Barisan duduk telah disebar; para peserta acara duduk berpasang-pasangan dengan lawan jenis. Haru menggigit bibirnya dengan ragu saat melihat Ai duduk berhadapan dengan seorang pria berambut cokelat terang, saling menatap tanpa mengucapkan apapun. Lalu ia menyapu seisi kafe, mencari tempat duduk kosong yang belum terisi.

"Haru-san? Kau harus duduk bersama pasanganmu di sana."

Haru hampir melonjak kaget saat mendengar suara Jio yang muncul dari belakang. Ia tersenyum malu lalu mengikuti langkah Jio yang mengawalnya ke sebuah meja untuk dua orang di sebelah jendela di sudut kafe. Di sana, seorang pria berambut ikal panjang telah duduk menunggunya dengan senyum menyeringai yang menurut Haru tampak menakutkan. Pemandangan itu membuat Haru harus menyeret kakinya lebih kuat.

"Halo, manis," sapa lelaki itu ketika Haru dipaksa duduk oleh Jio.

Sepeninggal Jio, Haru duduk di hadapan lelaki itu sambil tersenyum dan berharap senyumannya tak terlihat dipaksakan. "Halo," Haru balas menyapa.

Ada bagian dari wajah lelaki itu yang tak disukai Haru. Seperti contohnya bentuk hidung lelaki itu. Bagian ujung hidungnya yang tertarik ke atas, bentuk wajahnya begitu tajam hingga membuat hidung pria itu tampak menakutkan. Sekilas, Haru seperti melihat tengkorak wajah yang berambut.

"Aku Sato Hideki. Bagaimana denganmu, cantik?"

"Eh... aku Haru. Ogawa Haru."

"Wah, kau lahir di musim semi! Apa ulang tahunmu sudah lewat?"

"Eh... ya, begitulah."

Haru berusaha semampunya untuk terus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Hideki; seperti berapa tinggi badannya, berat badannya, lokasi kencan favoritnya dan seperti apa tipe lelaki yang ia sukai. Lalu pertanyaan-pertanyaan itu mulai mengarah ke hal pribadi. Hideki menanyakannya sambil mencondongkan tubuh, mendekat pada Haru sambil tersenyum miring. Entah karena apa, senyuman itu tampak mengerikan.

Haru menarik diri ke sudut bangku sofanya. Kini ia mengalihkan pandangannya, mencengkeram roknya dengan cukup kuat sambil berusaha mengatur napasnya yang berat.

Satu-satunya alasan ia berada di tempat ini adalah karena Ai yang mengajaknya. Dan sekarang ia terpisah dari Ai dan harus berpasangan dengan Hideki yang memandangnya seolah hendak memakannya. Haru menggigit bibir ketika merasakan tubuhnya mulai bergetar. Oh, ini dia. Serangan ketakutan yang selalu mengguncang tubuhnya.

Tiba-tiba suara bel pintu masuk kafe berdenting. Suara itu menarik perhatian Haru. Ia mengangkat wajah menatap sumber suara tersebut. Kemudian senyumannya mengembang saat melihat bayangan seseorang berjalan menghampirinya.

Haru mengangkat wajah tinggi-tinggi menatap Ryu yang kini berdiri di samping tempat duduknya. "Kau sudah datang..."

"Apa yang kau lakukan di tempat seperti ini?" tanya Ryu sambil menarik bangku kosong ke sebelah Haru dan duduk di sana.

"Kenapa kau marah-marah?"

Ryu bersedekap sambil mendesah berat. "Aku tidak marah."

"Lalu kenapa kau memelototiku begitu?"

"Apa? Aku tidak-,"

"Hei! Hei!"

Suara Hideki yang begitu lantang menyela Ryu dan Haru yang masih setengah berbisik. Ryu menoleh pada Hideki dengan wajah terusik. Ia baru hendak mengucapkan sesuatu ketika Haru menyikunya. Ryu dapat melihat Haru melirik Kenta yang berdiri di balik konter, mengamati mereka dengan sungguh-sungguh. Ryu kemudian menahan diri untuk tak berpaling kepada Kenta, dan akhirnya berkata, "Aku datang untuk menjemput tunanganku."

Kedua mata Hideki melebar histeris saat mendengarnya. "Tu-tunanganmu?!!"

Ryu melirik Haru dan mengerutkan alisnya samar sebelum menjawab, "Y-ya. Kami bertengkar kemarin malam dan kurasa dia sedang mengancam akan meninggalkanku dengan cara seperti ini."

"I-ini tidak adil! Jio!" Hideki mengangkat sebelah tangan tinggi-tinggi dan tak lama kemudian orang yang dipanggil menghampiri meja mereka. "Dia melanggar peraturan. Ini pertemuan untuk orang-orang lajang, bagaimana mungkin Haru-san datang ke sini tanpa seijin tunangannya?! Kau berencana selingkuh dan meninggalkan tunanganmu?!"

***

Tepat ketika suara Hideki melengking tinggi, Ryu merasakan ujung jaketnya ditarik. Ia berpaling dan mendapati Haru mengalihkan pandangannya dari Hideki, menunduk menatap lantai sambil mengernyit ketakutan. Ryu langsung dapat merasakan getaran pada tangan Haru yang mencengkeram pakaiannya. Pemandangan itu membuat Ryu mengepalkan tangan dan mengangkat wajah pada Hideki dengan kedua mata melebar, geram.

"Aku penasaran," celetuk Ryu dengan suara yang cukup lantang untuk didengar para pengunjung kafe. "Wanita seperti apa yang mau mengencani pria yang meneriaki wanita seperti itu?"

Pertanyaan itu mengundang perhatian para pengunjung dan peserta acara. Lalu terdengar suara desis bisikan di tengah-tengah keheningan. Ryu menggunakan kesempatan itu untuk bangkit berdiri dan memandang para peserta wanita di seisi kafe. Kemudian ia bertanya pada salah satu peserta wanita yang menatapnya, "Apa Anda mau berkencan dengan pria yang tidak bisa mengendalikan emosinya?"

Wanita itu menggeleng dengan ragu-ragu.

"Tidak. Tentu saja tidak. Karena kalau seorang pria tidak bisa mengendalikan emosinya, itu berarti ia tidak bisa mengendalikan tubuhnya," jelas Ryu lalu melirik Hideki. "Mungkin Anda lupa, kalau tugas pria adalah melindungi, bukan menyakiti."

Ryu kemudian meraih tangan Haru dan menariknya keluar dari ruangan itu, meninggalkan Hideki duduk mematung di tempat duduknya sambil mengeraskan rahang dan mengepalkan kedua tangannya dengan kuat di bawah meja. Wajahnya memerah, seluruh pasang mata di dalam ruangan tertuju padanya. Dan berkat Ryu, rencana Hideki untuk bersenang-senang setelah minggu yang sibuk lenyap seketika.

Hideki menggeram dalam hati kemudian memandang bayangan Ryu dan Haru yang menghilang di balik pintu kafe.

Ogawa Haru. Ia akan mengingat nama itu baik-baik. Dan tunangannya, Hideki akan memastikan lelaki itu membayar apa yang sudah dilakukannya karena telah mempermalukannya di depan banyak orang.

***

Haru memandang punggung Ryu yang menariknya keluar ke jalanan Shibuya yang dipadati oleh banyak pejalan kaki. Rambutnya yang panjang tertiup angin dan entah bagaimana Haru dapat mencium aroma shampo yang lembut ketika angin berhembus ke arahnya. Tubuh Ryu tampak begitu tegap dan menjulang kalau dilihat dari belakang dan saat mengingat ucapan Ryu beberapa saat lalu.

"Mungkin Anda lupa, kalau tugas pria adalah melindungi, bukan menyakiti."

Haru langsung tersenyum samar. Ini kali pertama ada seseorang yang membelanya. Terlebih lagi, seorang pria. Dan untuk pertama kalinya, Haru baru menyadari kalau ia baik-baik saja meski seseorang menggenggam tangannya seperti Ryu menarik pergelangan tangannya saat ini.

Haru masih menatap tangan Ryu yang menggandengnya saat lelaki itu tiba-tiba berhenti berjalan dan berbalik padanya, membuat Haru harus mendongak cukup tinggi untuk memandang Ryu.

"Apa?" tanya Haru, polos.

"Apa kau tidak akan menjelaskan kepadaku kenapa kau ada di sana?"

Seperti yang pernah terjadi sebelumnya, Ryu dan Haru berdiri berhadapan di tengah arus pejalan kaki yang sibuk. Kali ini di Shibuya, dimana orang-orang yang berlalu-lalang dan menubruk satu sama lain lebih padat dari jalanan Shinjuku.

Haru berdeham lalu balik bertanya, "Apa kau akan menjelaskan kepadaku kenapa kau masih menggenggam tanganku meski kita sudah keluar dari kafe?"

Ryu tidak meragu saat menjawab, "Ya, aku tidak akan melepaskannya sebelum aku mendapatkan penjelasan yang pantas."

Haru memutar bola matanya. "Aku sudah memberitahumu. Ai mengajakku ke acara itu."

"Kenapa kau menyutujuinya?"

Haru berpikir sejenak sambil melirik ke sekelilingnya. "Karena kupikir tidak ada salahnya untuk mencoba."

"Mencoba apa?"

"Mencoba membuka diri, mengenal banyak orang." Haru berdeham sebelum melanjutkan, "Untuk... bersenang-senang."

Mendengar itu kedua mata Ryu melebar, tidak percaya. Kemudian ia menghela napas dan menggelengkan kepala. "Kupikir kau sudah mengenal cukup banyak orang di lingkungan kerjamu. Menurutku kau tidak perlu mengenal lebih banyak orang, apalagi bersenang-senang di tempat seperti itu. Memangnya kau tidak tahu apa alasan para lelaki itu mengikuti acara kencan buta?"

"Aku tahu. Tapi aku tidak mau tahu." Haru mengerang, "Lagipula kenapa tiba-tiba kau memarahiku? Aku tidak ingat telah melakukan sesuatu yang menyinggung perasaanmu."

Ryu spontan terdiam lalu akhirnya melepaskan genggamannya dari pergelangan tangan Haru. Namun ia langsung bersedekap dan menarik napas, "Sebagai pria yang berperan menjadi tunanganmu, bukankah aku berhak tahu apa yang dilakukan calon isteriku? Lagipula, bukankah kau yang meneleponku dan memintaku untuk menyelamatkanmu? Aku sedang menikmati daging panggang Korea yang lezat saat kau menelepon. Sekarang, siapa yang harus bertanggungjawab?"

"Ryu!"

"Haru!"

Ryu dan Haru dengan refleks menoleh ketika nama mereka dipanggil.

"Bagaimana mungkin kau meninggalkan aku sendiri di sana? Apa yang akan dikatakan Haruya kalau sampai dia tahu?!" Ai berlari menghampiri Haru yang masih berdiri di tengah arus pejalan kaki yang sibuk.

"Kau gila, ya?! Semua orang melihatku seperti orang aneh saat kau meninggalkan kafe." Kudo Akira menyusul, meninju sebelah bahu Ryu ketika ia berdiri di hadapannya.

"Maaf, aku harus buru-buru menyelamatkan anak ini," jawab Ryu singkat sambil menunjuk Haru dengan dagunya.

Merasa dirinya dipanggil, Haru menoleh pada Ryu lalu pada Akira dengan senyuman yang dipaksakan. "Ko-konnichiwa. Senang bertemu denganmu."

Akira balas membungkuk, memberi salam. "Senang bertemu denganmu," sapanya kemudian mendekat pada Ryu dan menyikunya. "Ryu, aku tidak tahu kau sudah punya..."

"Ya," sela Ryu lalu menoleh pada Haru sambil tersenyum polos. "Dia tunanganku."

Kedua mata Ai yang berdiri di samping Haru melebar, syok. Namun sudut-sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman yang riang. Ia senang melihat Haru membuat kemajuan. Terlebih lagi, menyadari beberapa fakta yang ada di depan matanya saat ini.

Fakta pertama, Haru yang tak menunjukkan gelagat gugup meski berdiri begitu dekat dengan Ryu yang notabene adalah seorang pria - jenis manusia yang ditakuti Haru. Dan yang kedua, fakta bahwa Haru tidak membantah saat Ryu menyebutnya sebagai tunangannya.

Ai tersenyum lagi, ini benar-benar menarik.