"Kau tidak diperbolehkan untuk jatuh cinta padaku." Kalimat itu masih terngiang di telinga Ryu seperti baru saja diucapkan beberapa detik yang lalu. Ryu telah menandatangani kontrak kerjanya bersama Haru, tanda ia telah menyutujui syarat-syarat yang diajukan Haru. Dan meski ada satu poin yang tak sepenuhnya ia suka, bukankah ia tak punya pilihan selain menandatanganinya? Ryu menghela napas berat ketika menopang dagu di atas meja kerja di ruang guru.
"Ingin cepat pulang?" tanya salah seorang guru yang duduk di sebelah meja kerjanya, Takayama Sei.
Ryu mengangkat wajah pada Sei yang duduk menghadapnya sambil melipat tangan. "Jangan membaca pikiranku. Ngomong-ngomong, kau mengajar kelas 3 hari ini?"
Takayama Sei mengajar Fisika di SMA Yokohama. Umurnya hanya satu tahun lebih tua dari Ryu tapi wajahnya tampak lebih muda dan berkat itu, Sei menjadi guru favorit murid-murid perempuan di sekolah.
Sei mengangguk. "Kenapa?"
"Kau melihat Ueda?"
"Ueda? Maksudmu Kenta?" tanya Sei balik.
Ryu baru hendak mengangguk dan menjawab ketika pintu ruang guru tiba-tiba terbuka. Perhatian Ryu dan Sei tertarik pada sumber suara tersebut kemudian mengangkat alis, kaget ketika sumber perbincangan mereka muncul.
Ueda Kenta membungkuk memberi salam kepada guru-guru yang duduk di balik meja kerja mereka. Kemudian langkah kakinya terhenti di depan meja kerja Sei yang berada di sebelah meja Ryu. Kenta menaruh tumpukan kertas di atas meja lalu berkata, "Saya sudah mengumpulkan semua hasil tesnya, Sensei."
"Oh, bagus. Terima kasih." Sei menjawab lalu langsung berpaling pada Ryu. "Tanaka Sensei, bukankah kau tadi mencari Kenta?"
Oh, sial. Tepat saat itu Ryu melirik Kenta yang masih berdiri tak jauh dari mejanya. Lalu ia bertemu pandang dengan Kenta yang menatapnya lurus-lurus dengan tatapan kosong. Ryu tak bisa mengartikan maksud pandangan itu karena Kenta tak terlihat marah atau terusik. Anak itu juga tidak tersenyum atau mengerutkan alisnya dengan bingung karena ingin menanyakan sesuatu. Wajah Ueda Kenta begitu tak berekspresi.
Ryu berdeham dan menggeleng. "Aku lupa apa yang mau kukatakan tadi. Aku akan memanggilmu lagi kalau sudah ingat," balasnya, menggerakkan sebelah tangan yang menyiratkan untuk pergi.
Kenta membungkukkan badan lagi untuk memberi salam sebelum akhirnya pergi meninggalkan ruang guru. Ryu memandang kepergian Kenta dengan alis berkerut samar. Ia tiba-tiba ingin tahu apa yang ada di pikiran anak itu.
***
Kenta menutup pintu ruang guru dengan hati-hati sebelum berjalan melewati koridor menuju kelasnya.
"Jadi? Kau bertemu dengannya? Dia bilang sesuatu?" Suara Matsuyama Ichiro yang sejak tadi berjalan membuntutinya membuat Kenta hampir menghela napas berat.
Ia duduk kembali di mejanya lalu menyandarkan kepala di atas meja
"Bagaimana ekspresi wajahnya? Apa ada keanehan? Dunia ini benar-benar sempit, ya. Jadi, selama ini dia... wah, aku benar-benar tidak percaya. Hei, Kenta! Beritahu aku apa yang terjadi!"
Ichiro adalah satu-satunya orang yang mengetahui semua hal tentang kehidupannya. Dari warna kesukaannya, makanan favoritnya sampai segala masalah pribadi dan keluarganya. Kenta telah mengenal Ichiro sejak mereka berumur dua tahun. Ibu mereka adalah tetangga yang cukup dekat, menikah di tahun yang berdekatan dan melahirkan dua anak laki-laki di bulan yang sama. Kenta sudah menganggap Ichiro sebagai anggota keluarganya, seperti saudara kandung. Dan karena Kenta tak pernah dekat dengan kakaknya, ia tak punya orang lain selain Ichiro untuk diajak bicara mengenai masalah-masalahnya.
Kenta dengan enggan mengangkat wajahnya memandang Ichiro. "Dia... terlihat baik-baik saja."
'Dia' yang dimaksud adalah Tanaka Ryu, guru bahasa Inggris sekaligus orang yang baru saja berubah menjadi saingan beratnya.
"Wah, luar biasa. Laki-laki dewasa memang berbeda dari anak-anak seperti kita." Ichiro melahap roti cokelat ketiganya dan mengambil tempat duduk di depan Kenta. Sambil duduk menghadap belakang, Ichiro melanjutkan, "Mereka tidak mencampur-adukkan urusan pribadi dan pekerjaan."
Kenta mengerutkan alis dengan sebal lalu menarik napas dalam-dalam. Seingatnya, ia juga bersikap profesional di hadapan gurunya tadi. Ia tidak bersikap kekanak-kanakan meski ada begitu banyak pertanyaan yang tertahan di bibirnya.
"Tapi, memangnya kau benar-benar menyukainya?" Ichiro bertanya lagi dengan mulut penuh makanan. "Bukankah kau bilang alasan utama kau memilih pekerjaan itu karena... kau tahu...."
Kenta dan Ichiro sudah sepakat untuk tidak pernah menyebutkan nama wanita itu. Wanita yang pernah mempekerjakannya sebagai pengawal sewaan. Tapi Kenta tahu betul siapa yang dimaksud oleh Ichiro meski namanya tak disebutkan.
Kenta bangkit, menyandarkan diri pada punggung kursi mejanya ketika menjawab, "Ya, awalnya memang begitu. Tapi, memangnya kau bisa mengendalikan perasaanmu? Jika kubilang padamu untuk berhenti menyukai Chiyo, apa kau bisa melakukannya saat ini juga?"
Kedua mata Ichiro terbelalak lebar lalu sebelah tangannya terangkat menutup mulut Kenta dengan sigap. "Ssst!"
Seulas senyum usil tersungging di wajah Kenta ketika Ichiro menarik tangannya. "Mungkin kau benar. Itulah perbedaan laki-laki dewasa dengan anak-anak seperti kita."
Kenta menjejalkan kedua tangan ke dalam saku celana lalu melemparkan pandangannya ke luar jendela.
Pria dewasa mungkin lebih bisa mengendalikan perasaannya ketika bekerja dengan wanita yang disukai. Mungkin, itulah yang membuat Haru menjauh darinya; karena ia tak bisa mengendalikan diri. Seandainya saja ia tidak mengucapkan kalimat terkutuk itu. Seandainya Kenta menahan diri untuk tidak mengungkapkannya malam itu, mungkin saja keadaannya berbeda hari ini. Mungkin saja Haru tidak akan kembali kepada tunangannya - yang notabene adalah gurunya sendiri.
Kenta tak pernah berencana untuk menyukai Haru seperti ini. Karena sejak awal, alasannya memilih pekerjaan itu adalah karena rasa bersalah. Rasa bersalah yang menghantuinya untuk bertanggung-jawab. Bertanggung-jawab atas kesalahan yang tak pernah ia lakukan.
"Ngomong-ngomong, kau sudah mengunjungi kakakmu?"
Ichiro memelankan suaranya ketika melontarkan pertanyaan itu - pertanyaan yang merampas kekuatannya. Setiap saat Kenta mendengar sesuatu yang berkaitan dengan kakaknya, ia selalu merasa tenggorokannya tercekat. Rasanya seperti oksigen yang ia butuhkan menghilang entah kemana. Dan meski tidak mudah, Kenta mengumpulkan keberanian untuk memandang sahabatnya lalu menggeleng dengan pelan.
***
Setelah hujan turun sangat lebat kemarin malam, Haru bersyukur hari ini cuaca begitu cerah meski angin musim semi yang sejuk sesekali berhembus dan membuatnya sedikit menggigil. Haru senang ia tak perlu menenteng payung hari ini karena ia membawa beberapa seragam kotor dari rumah sakit yang harus ia cuci di rumah. Ia tak bisa membayangkan bagaimana rasanya menenteng tas berisi pakaian kotor di sebelah tangan dan menenteng payung di tangan yang lain sementara harus menempelkan kartu transportasi umum di pintu keluar otomatis stasiun kereta yang sibuk.
Haru menaiki tangga yang terhubung dengan gerbang bagian belakang stasiun Takadanobaba. Dan ketika ia tiba di sana, ia dapat melihat langit yang sudah menggelap. Hal pertama yang muncul setiap saat ia melihat langit malam adalah perasaan panik. Rasa panik itu kemudian membuat Haru mencari keberadaan Ryu di antara orang yang berlalu-lalang.
"Uma-chan!"
Seruan itu menarik perhatian Haru dan beberapa orang di sekitarnya. Setelah menangkap sosok Ryu yang berdiri sambil melambai padanya di gerbang keluar, ia merasakan kedua pipinya memanas malu akibat tatapan pejalan kaki di sekelilingnya.
"Jangan memanggilku seperti itu di tempat umum!" Haru menghentakkan sebelah kaki ketika ia sampai di hadapan Ryu. "Dan lagipula, apa kau tidak ingat peraturan nomor dua?"
Ryu menggerakkan matanya seperti sedang berpikir kemudian tersenyum lebar dan menutup mulut dengan ibu jari dan telunjuknya, meniru gerakan menarik resleting.
Haru mengerutkan kening dengan sebal. "Ayo," ujarnya lalu beranjak hendak berjalan ketika ia merasakan tas pakaiannya diambil alih oleh Ryu. Gerakan itu lagi-lagi membuat Haru mendengus, kesal. "Bekerjalah sesuai peraturan!"
Ryu mengerjap lalu mengeluarkan ponselnya. Ibu jarinya bergerak lincah di atas permukaan layar ponsel selama beberapa detik yang lama kemudian begitu selesai, ia menunjukkan layar ponselnya pada Haru. Mata Haru menyipit melihat barisan-barisan tulisan di sana.
Tidak ada peraturan yang tidak memperbolehkanku untuk membantumu membawa barang. Lalu, peraturan nomor dua; hanya komunikasi verbal yang tidak diperbolehkan, bukan komunikasi elektronik. Jadi, kurasa aku boleh bicara menggunakan ponselku ;)
Setelah membaca itu, Haru melotot pada Ryu yang tersenyum dengan polos mengunjukkan barisan giginya yang rapi. Ugh, apa boleh buat. Haru mau tidak mau membiarkan Ryu membawa tas pakaian kotornya lalu mulai berjalan.
Selama beberapa menit yang lama, Haru dan Ryu berjalan dalam keheningan. Meski sesekali Haru merasa seperti Ryu sedang mengamatinya, tapi lelaki itu tidak mengajaknya bicara. Biasanya, Haru merasa canggung berjalan dalam diam bersama laki-laki yang tidak ia kenal tapi, rasanya berbeda dengan Ryu. Meski Haru sudah belasan tahun tidak bertemu dengan Ryu, tapi berada bersama lelaki itu terasa aman. Seperti bersebelahan dengan seorang teman. Karena itu meski berjalan dalam keheningan, Haru tidak merasa ada yang janggal. Ia malah merasa tenang dan nyaman.
Drrt-drrt!
Merasakan ponselnya bergetar, Haru langsung mengeluarkannya. Ada pesan yang masuk. Haru membuka pesan tersebut dalam gerakan yang cepat.
Apa yang sedang kau pikirkan?
- Ryu.
Begitu membaca isi pesannya, Haru langsung melempar tatapan sinis pada Ryu yang berjalan dua meter jauhnya. Ryu hanya balas tersenyum saat melihatnya.
Haru mengabaikan pesan dari Ryu. Ia memasukkan ponselnya ke dalam saku lalu berjalan lagi sambil melihat aspal. Satu menit kemudian ponselnya bergetar lagi. Awalnya, Haru pikir itu pasti ulah Ryu. Tapi, bagaimana kalau ada sesuatu yang penting? Lalu Haru mengeluarkan ponsel dan mengecek isi pesan yang masuk.
Kau sudah makan? Aku lapar :(
- Ryu.
Haru mengeraskan rahang dan menahan diri untuk tidak menggeram. Lalu ketika ponselnya berdering untuk ketiga kalinya, Haru menghela napas dengan kasar.
Ngomong-ngomong, apa isi tasmu? Berat sekali.
- Ryu.
Haru menghentakkan sebelah kaki dengan geram, lalu baru hendak membuka suara ingin meneriaki Ryu ketika sebelah kakinya tersandung bebatuan. Langkah kakinya yang cepat membuatnya kehilangan keseimbangan dan terhuyung ke depan. Haru membentangkan kedua tangannya, bersiap-siap menahan diri agar tidak membentur aspal tetapi tiba-tiba sesuatu menahan sikunya dengan mantap, mencegahnya untuk tidak jatuh.
Kedua mata Haru melebar kaget ketika ia mendongak dan menyadari Ryu berdiri di sebelahnya dengan tangannya yang kuat.
"Kau baik-baik saja?" tanya Ryu dengan sinar mata yang cemas.
Ryu menahan tubuhnya. Ryu menyentuhnya. Ryu berada terlalu dekat dengannya. Kenyataan-kenyataan itu membuat Haru panik dan langsung mendorong Ryu sekuat tenaga.
"Jangan menyentuhku!!" seru Haru dengan cukup lantang, membuat Ryu yang terkejut melangkah mundur.
Untuk pertama kalinya dalam sepuluh tahun terakhir, Haru bersentuhan dengan seorang pria. Dan tepat seperti dugaannya, tubuhnya bereaksi dengan tak semestinya.