Ryu mengerjap kaget ketika menarik diri. Haru tidak menatapnya saat mendorongnya sekuat tenaga tapi Ryu sempat melihat sorot mata Haru yang penuh dengan rasa panik. Sinar matanya berkelebat dalam berbagai arti dan yang paling besar di antaranya adalah ketakutan. Tapi kenapa?
Ryu meragu sejenak sebelum akhirnya bergumam, "Aku hanya berniat membantu."
Haru masih memeluk dirinya sendiri ketika menjawab, "A-aku tahu. Maafkan aku. Aku tidak bermaksud..."
Jeda sejenak. Hanya terdengar bunyi jangkrik malam yang beradu dengan suara kendaraan umum selama beberapa saat yang lama sebelum akhirnya Haru melanjutkan, "Apartemenku sudah dekat. Kau boleh pulang."
Namun Ryu menggeleng cepat. "Tugasku adalah mengantarmu sampai ke depan apartemen. Jadi aku akan memastikanmu masuk ke dalam sebelum pergi. Ayo."
Ryu memimpin langkah, tak menunggu Haru untuk bereaksi. Akhirnya Haru mengikuti Ryu dari belakang dengan kepala tertunduk. Begitu sampai di lapangan parkir gedung apartemennya, Ryu mengulurkan tas pakaian milik Haru sambil menyeletuk, "Ogawa, apa aku terlihat menakutkan bagimu?"
Haru menerima tasnya sambil mengerjap bingung. "Apa?"
"Maksudku, setelah bertahun-tahun tidak bertemu, apakah aku sudah berubah menakutkan di matamu?" tanya Ryu.
Haru menggeleng. "Tidak. Kau tidak menakutkan."
Ryu tersenyum pahit. "Baguslah kalau begitu. Aku hanya ingin memastikan."
Haru tahu apa yang sedang dipastikan oleh Ryu dan karena itu ia menambahkan, "Bukan kau, tapi aku. Ada banyak hal yang tidak bisa kujelaskan."
"Dan sampai kau bisa melakukannya, aku akan berada di sini." Ryu tersenyum lalu melanjutkan, "Aku akan menunggu untuk mendengarkannya. Selamat malam, Ogawa."
Haru tak sempat mengucapkan selamat malam saat Ryu berjalan meninggalkannya. Ia hanya bisa berdiri di sana, memandang punggung Ryu yang menjauh dengan perasaan bersalah.
***
Keesokan harinya, ada dua bayi baru yang lahir di rumah sakit. Haru dan Ai sudah terbiasa dengan rutinitas mereka yang sibuk ketika menerima bayi baru di ruang bayi. Mereka bergantian memberi bayi susu, mengganti popok serta menidurkan bayi-bayi. Dan saat bayi-bayi tertidur, Haru dan Ai harus memperbarui laporan harian keadaan bayi di komputer. Untuk melakukan itu, Haru dan Ai menggunakan ruang tunggu kecil bagi para perawat di sebelah ruang bayi.
Ai melirik Haru yang baru saja menutup pintu ruang karyawan. Lalu ketika temannya itu duduk di sampingnya, Ai menyeletuk, "Kau tampak tidak fokus hari ini."
"Tidak bisa tidur," jawab Haru, tak bersemangat saat ia membuka buku laporan bayi.
"Ada yang terjadi semalam?" tanya Ai.
Isi pikiran Haru langsung tertarik pada kejadian semalam yang membuatnya resah. Dan tentu saja Haru tidak bisa menyembunyikannya dari Ai. Ai tahu segalanya tentang dirinya, termasuk rahasia terdalam dan mimpi-mimpi buruk yang ia pendam dalam-dalam. Dan juga kejadian yang tak ingin ia ingat itu... Ai mengetahui semua hal yang bahkan tidak diketahui ibunya sendiri. Dan karena itu, Haru tak punya alasan untuk tidak menceritakan apa yang terjadi semalam.
Haru mulai bercerita. Ceritanya tidak panjang, karena apa yang terjadi semalam begitu singkat namun cukup meresahkan. Dan ketika Haru selesai bicara, Ai langsung bertanya, "Kenapa kau merasa bersalah?"
Haru tertegun sejenak. "Entahlah. Karena... aku mendorongnya? Padahal dia berusaha membantuku."
"Kau tidak pernah merasa bersalah pada para pengawal sewaanmu. Kali ini terdengar berbeda."
Haru mengangkat sebelah bahu. "Entahlah. Mungkin karena Ryu adalah teman masa kecilku."
"Atau mungkin...," Ai berhenti sejenak lalu menelengkan kepala ke arah Haru, "...kau mulai menyadari kalau tidak semua pria itu sama."
Haru tertegun menatap layar komputer dan menerawang jauh dengan pikiran kosong. Kemudian ia merasakan sentuhan di sikunya. "Menurutku, itu sebuah kemajuan besar," ucap Ai sambil tersenyum dan menepuk ringan bahu Haru. "Aku tahu apa yang sudah kau lewati itu begitu suram dan menakutkan. Tapi, kau tentu tidak mau terpuruk berlama-lama dan diam di lubang yang sama, bukan? Kalau ada seseorang yang mengulurkan tangannya untuk membantumu, apa kau akan diam saja?"
Apakah ia akan diam saja? Haru tidak tahu. Ia tidak yakin. Ia masih berada di dalam lubang gelap dan menakutkan, menengadah menatap cahaya terang yang menusuk matanya. Rasanya ia ingin melihat apa yang ada di luar sana. Apa saja yang telah ia lewati selama ia terperosok di dalam lubang ini selama bertahun-tahun.
Haru akhirnya tersenyum. "Kau benar. Terima kasih, Ai."
"Ngomong-ngomong, apakah dia tampan?" Ai bertanya dengan nada riang.
Haru tersenyum lebar, menahan tawanya. "Hmm, lumayan. Kalau dipikir-pikir dia banyak berubah. Dia terlihat lebih dewasa sekarang."
Seulas senyum lega tersungging di wajah Ai. "Baguslah kalau begitu. Aku jadi tidak sabar ingin melihatnya." Ai terdiam sejenak kemudian mengerjap, "Tiba-tiba aku punya ide bagus."
***
Ryu memasukkan ponsel ke dalam saku celananya kemudian menoleh kesana-kemari, menyapu pemandangan di depan matanya. Satu jam yang lalu Haru memberitahunya kalau ia tidak bisa tiba di stasiun tepat waktu. Lalu Haru memberinya pilihan untuk menunggu di sana atau datang menjemputnya di tempatnya bekerja. Dan Ryu memilih pilihan terakhir. Ia tak menyangka kalau jarak sekolah tempat ia mengajar dan rumah sakit Seibo tidak begitu jauh; hanya 20 menit menggunakan kereta. Ryu sudah tiba depan pintu lobi gedung rumah sakit saat mengirim pesan pada Haru.
"Tanaka-san?"
Sebuah suara wanita membuat Ryu mengangkat wajah. Wanita itu berseragam putih, seragam itu sama seperti milik Haru. Ryu membungkukkan badan, memberi salam. "Anda mengenalku?"
"Anu... Haru memberitahuku untuk menyuruhmu masuk. Dia bilang pekerjaannya akan memakan waktu agak lama jadi... kau boleh menunggu di dalam," ujar wanita itu sambil tersenyum lembut.
Wanita itu berambut pendek, juntaian rambutnya menyentuh daun telinganya. Badannya kurus, lebih kurus dari Haru yang menurut Ryu sudah kekurangan gizi. Wanita itu kemudian menepi, mengisyaratkan bagi Ryu untuk masuk. Tanpa berpikir dua kali, Ryu mengikuti langkah wanita itu dan berjalan memasuki gedung.
***
Inoue Ai tersenyum dalam hati ketika rencananya untuk bisa melihat Ryu berjalan mulus. Dan setelah bertemu secara langsung, ia merasa Ryu adalah pria yang sopan. Selain itu, pria itu juga bicara dengan lembut dan memiliki senyum yang manis. Tubuhnya yang kelewat tinggi membuat Ai harus selalu mengangkat wajah untuk bisa memandangnya. Sejauh ini, Ai menyukai Tanaka Ryu. Menurutnya, Ryu sangat cocok dengan Haru.
Begitu lift yang mereka tumpangi berhenti di lantai 5, Ai memimpin langkah menuju ruang tunggu karyawan. "Ayo, masuk," ujar Ai pada Ryu yang berhenti berjalan.
"Eh... apa aku diperbolehkan masuk?"
Ai tertawa ringan. "Tentu saja. Ruangan ini memang untuk karyawan tapi kalau kondisinya berbeda, orang lain diperbolehkan masuk."
Ryu mengangguk lalu meragu sejenak sebelum akhirnya mengikuti Ai memasuki ruangan sempit yang terlihat seperti pantry kecil. Ruangan itu kosong, Ryu tak melihat siapapun di sana sampai ia akhirnya mendapati Haru sibuk menulis di meja yang terletak di tengah ruangan. Haru langsung menangkap kedatangannya dan menyapanya tanpa suara sambil mengangkat dagu.
"Duduk," perintah Haru tanpa melepaskan pandangannya dari buku.
"Kenapa kau memerintahnya begitu?" Ai menyuarakan isi pikiran Ryu yang masih berdiri dengan kikuk di sudut ruangan.
"Karena dia memang bekerja untukku."
Jawaban Haru membuat Ryu membelalakkan matanya, kaget. Haru merasakan reaksi itu lalu tertawa singkat, "Ryu-kun, dia sahabat dekatku. Dia tahu segala hal tentangku, termasuk pekerjaan gandamu sebagai pengawalku."
Ai menggeleng sambil mendecakkan lidah. "Tidak sopan," katanya lalu berpaling pada Ryu dengan wajah menyesal. "Maaf, ya. Temanku yang satu ini memang tidak tahu sopan santun."
Ryu hanya tersenyum. "Tidak masalah. Aku memang sudah lama tidak bertemu dengan Haru, tapi aku sudah terbiasa dengan sikap acuh tak acuhnya."
"Benarkah?" Senyuman Ai mengembang lebar. Begitu lebar sampai-sampai membuat Haru takut kalau temannya itu akan menanyakan hal yang macam-macam pada Ryu.
Melihat itu, Haru langsung menutup buku laporan tebalnya lalu bangkit berdiri setelah menepuk permukaan meja dengan kasar. "Selesai!! Ayo, cepat pulang."
Sebelum sempat berjalan menuju pintu, Ai lebih dulu mengapit lengan Haru sambil menyeletuk, "Kau tentu tidak akan pulang mengenakan seragam rumah sakit, kan? Ayo ganti baju di ruang ganti. Tanaka-san, tunggu Haru di sini, ya. Kami akan segera kembali!"
Haru lebih dulu ditarik dengan cepat oleh Ai sebelum ia mengatakan apapun pada Ryu yang menatapnya dengan bingung. Begitu memasuki ruang ganti sekaligus tempat penyimpanan loker, Haru langsung melempar pandangan sinis kepada sahabatnya, "Apa-apaan itu?!"
Ai mendorongnya ke permukaan loker dengan kedua mata melebar. "Dia bukan lumayan, Haru. Dia lebih dari tampan. Dan dia sopan dan baik dan oh Tuhan, tinggi sekali!"
Haru menggeleng. "Dia tidak bersikap seperti itu saat bersamaku. Dia begitu menjengkelkan. Sejak kecil dia senang sekali menggodaku. Melihatnya bersikap pura-pura baik di depanmu seperti melihat orang menggunakan topeng."
"Itu pertanda bagus!!"
Kedua mata Haru melebar pada Ai yang hampir berseru kepadanya. "Apa? Kenapa?"
"Karena itu berarti ia merasa cukup nyaman untuk menjadi dirinya sendiri di sekitarmu."
Kini Haru terdiam sejenak dan mengerjap.
Melihat Haru tak mengucapkan apapun, Ai melanjutkan, "Jangan melewatkan kesempatan ini, Haru!"
"Kesempatan apa?"
"Untuk mengenalnya."
Haru mengerutkan dagu dan tampak ragu selama beberapa detik yang lama sebelum Ai melanjutkan, "Setidaknya kau bisa mulai mengenalnya sebagai teman. Karena kalau firasatku benar, dia akan menjadi teman yang sangat istimewa bagimu."