"Apa yang sedang kalian bicarakan?" tanya Ai kepada Haru yang lagi-lagi mengecek layar ponselnya.
"Kenta," jawab Haru, singkat.
"Si anak SMA yang menyukaimu itu? Maksudmu Ueda?"
Haru mengangguk lalu membalas pesan yang lagi-lagi masuk dari Ryu.
Ai menyesap teh hangatnya lalu duduk di hadapan Haru di meja ruang tunggu karyawan sementara temannya sibuk menatap layar ponselnya sambil sesekali tersenyum dan terkekeh geli. Pemandangan itu membuat Ai yang baru saja bertengkar dengan Haruya tadi pagi mendapatkan suasana hati yang buruk.
"Sepertinya percakapan kalian benar-benar menyenangkan," sindir Ai dengan nada sebal.
"Tidak juga. Ryu memberitahuku tentang percakapannya dengan Kenta kemarin malam," jelas Haru sambil meletakkan ponsel di atas meja. "Lalu aku tidak tahu kenapa dia tiba-tiba membahas soal kartun pagi hari yang sering kami tonton sewaktu kecil."
"Bukannya aku tidak ikut senang dengan kemajuan yang kau buat. Kau harus tahu kalau di dalam lubuk hatiku yang paling dalam, aku benar-benar senang melihatmu tersenyum melihat pesan dari seorang pria. Seorang pria! Jenis manusia yang biasanya membuatmu merasa terancam," kata Ai sambil bersedekap. "Tapi aku tidak bisa tersenyum bahagia sekarang karena-,"
"Pertengkeranmu dengan Haruya," lanjut Haru, setengah menyela. "Kau sudah memberitahuku dua kali."
"Karena itu, maksudku adalah...," Ai tiba-tiba bangkit berdiri dari bangkunya kemudian berjalan menghampiri Haru dan melanjutkan, "...bantulah temanmu ini untuk bersenang-senang sedikit."
Haru mengerutkan keningnya, curiga. "Kata-katamu terdengar menakutkan."
"Haruya bilang dia membutuhkan privasi dan kepercayaan dariku. Kita lihat saja apakah dia bisa melakukannya kalau aku melakukan hal yang sama." Ai bergumam sendiri lalu ia meletakkan selembar kertas di atas meja, sebuah selembaran dengan penuh warna dan desain yang mencolok.
Kedua mata Haru menyipit saat membaca tulisan raksasa yang tertera di sana, "Pertemuan kencan buta... apa? Kencan buta?!"
Ai mengangguk dengan mantap lalu melingkarkan lengannya di sekitar leher Haru. Lalu sambil menyeringai, Ai menjawab, "Kita akan menghadiri pertemuan kencan buta siang ini."
"Tapi, kau sudah bertunangan, Ai! Apa yang akan dipikirkan Haruya kalau sampai dia tahu?!" Haru setengah berbisik, memelankan suaranya meskipun ia ingin berteriak pada ide bodoh Ai yang ingin membalas dendam pada tunangannya sendiri.
Ai menggeleng-geleng. "Haruya tidak akan tahu. Tidak akan ada yang tahu selama kau menutup mulut. Dan lagipula, kalau pun dia tahu, aku akan memberitahunya kalau aku hanya menemani temanku yang sedang mencari jodoh."
Haru mengerjap, tidak mengerti. Ia hampir bertanya siapa teman itu ketika menyadari ialah yang dimaksud oleh Ai. Haru lalu mengerang dan menampis lengan Ai dari lehernya. "Tidak mau. Hidupku sudah cukup memusingkan untuk ikut campur dalam hubungan kalian yang rumit."
"Oh, pikirkan baik-baik, Haru. Kau tidak mau terpuruk lama-lama di dalam trauma yang gelap, bukan? Salah satu langkah awal untuk melawan trauma itu adalah dengan membuka diri. Membuka diri untuk kesempatan-kesempatan baru," jelas Ai sambil berjalan mondar-mandir di sekeliling ruang tunggu yang kosong. "Ada banyak pria baik di luar sana, pria-pria yang tidak akan pernah menyakitimu. Kau hanya belum menemukannya. Tidak, kau tidak mau menemuinya."
Penjelasan Ai yang bercampur dengan ocehan itu mendadak terasa seperti pukulan bagi Haru. Kemudian ia teringat akan ucapan Ryu malam itu, "Satu-satunya cara untuk mengalahkan rasa takut adalah dengan melawan rasa takut itu sendiri."
Haru menghela napas panjang dan menghembuskannya dengan berat. Kemudian dengan enggan, ia mengangkat wajah pada Ai dan berkata, "Di mana pertemuannya diadakan?"
***
Haru belum membalas pesannya lagi. Sudah hampir satu jam berlalu sejak ia mengirim pesan terakhir pada gadis itu yang menanyakan apa ia sudah makan siang. Ryu bermaksud untuk mengajak Haru makan siang bersama, tapi menunggu balasan yang tak kunjung datang membuat perutnya keroncongan.
"Apa yang kau lakukan?"
Ryu bangkit dari sofa ketika mendengar suara teman satu rumahnya, Kudo Akira, keluar dari kamar. Ia berjalan menuju lemari pendingin, mengeluarkan sekaleng soda lalu meminumnya. Setelah itu ia menjawab, "Aku lapar."
"Aku juga. Tiba-tiba aku ingin makan barbecue Korea di Shin Okubo," gumam Akira dari dalam kamar mandi.
Ryu dan Akira telah berbagi apartemen luas yang mereka temui di Shinjuku sejak mereka lulus dari universitas. Dan hidup bersama lelaki itu selama hampir lima tahun membuat Ryu mengenal Akira cukup baik untuk tahu kalau temannya itu tak hanya bermaksud menikmati daging panggang di Shin Okubo, tetapi juga minum-minum sampai mabuk.
Ryu meragu sejenak, melirik ponselnya yang masih tergeletak tak bersuara di atas meja. Setelah menunggu selama beberapa detik yang lama, ia akhirnya mendesah dan berkata, "Ayo kita ke Shin Okubo."
***
Acara perkumpulan kencan buta itu diadakan di sebuah kafe bergaya modern yang terletak di lantai dua sebuah gedung perbelanjaan. Kafe itu cukup besar, banyak meja-meja dengan bangku sofa yang diletakkan di seantero ruangan yang seharusnya terlihat luas kalau tidak dipenuhi para peserta kencan buta yang ternyata lebih banyak dari dugaan Haru. Sepertinya kafe itu hari ini disewa khusus untuk acara yang ia hadiri karena Haru bisa melihat semua pengunjung saling menyapa dengan aneh.
Haru dan Ai diantar menuju sebuah kumpulan meja-meja yang disatukan menjadi meja panjang yang dikelilingi oleh belasan orang. Tempat duduk peserta dibagi menjadi dua; para wanita di sisi kanan dan lelaki di sisi lainnya, duduk berhadapan sambil melirik satu sama lain dengan kikuk. Acara itu dipimpin oleh seorang MC pria yang memperkenalkan dirinya sebagai Jio. Dan begitu Haru dan Ai duduk, Jio langsung menyambut, "Baiklah, para singles. Aku tidak akan memperkenalkan kalian satu per satu karena berkenalan adalah tugas kalian dalam acara ini. So!! Sebagai pembuka acara, kita akan memulainya dengan memperkenalkan diri. Kita tentu harus mengetahui nama satu sama lain kalau mau berkencan, bukan?"
Haru hampir mengernyit melihat Jio yang mengedipkan mata kepadanya sambil tersenyum menggoda.
Setelah beberapa wanita memperkenalkan diri mereka, kini giliran Haru yang bangkit berdiri dan menyebutkan namanya. "Konnichiwa. Senang bertemu dengan kalian semua. Aku Ogawa Haru, perawat di rumah sakit bersalin. Mohon bantuannya."
Ketika ia membungkuk memberi salam, Haru dapat mendengar beberapa lelaki dari barisan pria berbisik satu sama lain dengan nada bersemangat. Haru menghela napas, tiba-tiba saja ia merasa datang ke sini bukan ide yang bagus. Saat Ai memperkenalkan diri, seorang pelayan kafe datang menyuguhkan gelas-gelas es teh di atas meja.
"Permisi," ucap salah seorang pelayan pria yang berusaha meletakkan gelas di hadapan Haru. Haru menepi untuk memberi cela, namun bahunya bersentuhan dengan gelas yang digenggam pelayan itu hingga membuatnya menengadah. Lelaki itu menggumamkan kata maaf dan tepat saat itu Haru menangkap wajah pelayan tersebut dengan jelas, begitu jelas hingga kedua mata Haru mendelik kaget saat mengenali wajah itu.
Pelayan lelaki yang ditatap merasa dirinya diamati, lalu ia melirik Haru dan melakukan hal yang sama. Lelaki itu menarik diri sambil melotot tak percaya. "Haru-san?!"
Ai yang tengah berbicara menoleh pada pelayan pria yang kini berdiri di antaranya dan Haru. Lalu ia ikut melebarkan matanya. "Haru... bukankah dia..."
"Ke-kenta? Kau... bekerja di sini?" Haru mengutuki dirinya karena tak bisa memikirkan reaksi yang lebih pantas untuk diucapkan.
Kenta mengangguk pelan kemudian mengerutkan keningnya. "Haru-san, apa yang kau lakukan di perkumpulan ini? Apa kau datang bersama sensei? Tapi... ini perkumpulan untuk orang-orang..."
Haru dan Ai saling melirik dengan sinar mata yang memancarkan sinyal yang sama: gawat.
***
"Angkat...angkat teleponnya...," Haru menggigit kuku ibu jarinya sambil berjalan bolak-balik di dalam kamar mandi perempuan. Lalu saat ia mendengar suara Ryu di speaker ponselnya, perasaan lega yang hebat mengaliri sekujur tubuhnya dan membuat Haru tersenyum lebar. "Ryu-kun! Astaga, kau tidak tahu betapa senangnya aku bisa mendengar suaramu."
"Hmm? Ada apa? Apa aku dibutuhkan?" tanya Ryu di seberang sana.
Haru mengangguk mantap, seolah Ryu bisa melihatnya. "Aku terjebak dalam situasi yang gila. Kau pasti tidak percaya kalau kuceritakan."
"Ada apa?"
"Aku bertemu Kenta," ucap Haru. "Maksudku, dari sekian banyak kafe di Tokyo, bagaimana mungkin anak itu bekerja di sini?"
"Oh, tidak. Lalu apa kau bicara dengannya?"
"Tidak. Masalahnya adalah aku sedang menghadiri sebuah acara. Tidak, sebenarnya Ai yang mengajakku ke sini."
Haru dapat mendengar Ryu bergumam, "Aku tidak mengerti di bagian mana aku dibutuhkan."
"Kami sedang berada di pertemuan kencan buta, Ryu. Kencan buta!"
***
Sumpit yang mengapit daging panggang yang mengarah ke mulut Ryu berhenti di udara. Ucapan Haru di telepon membuat Ryu menutup mulut dan meletakkan alat makannya di atas meja. Lalu ia mengerutkan alis dan bertanya, "Kencan buta? Kenapa kau ada di sana?"
"Ceritanya panjang. Ai bertengkar dengan tunangannya lalu ia memiliki ide gila untuk bersenang-senang sebagai caranya membalas dendam. Dan di sinilah aku," erang Haru.
Ryu terdiam sejenak sebelum melanjutkan, "Apa kau bersenang-senang?"
"Apa? Acaranya bahkan baru saja dimulai. Bagaimana aku bisa bersenang-senang?"
"Tapi kau berencana untuk bersenang-senang?"
"Entahlah. Mungkin?"
Jawaban itu membuat Ryu tanpa sadar mengeraskan rahang. "Kirim aku alamatnya. Aku akan segera ke sana."
Begitu Haru menutup telepon, Ryu bangkit berdiri lalu mengenakan jaketnya. "Aku harus pergi."
"Ke mana?" tanya Akira yang duduk di hadapannya sambil mengangkat wajah. "Kita bahkan belum menghabiskan satu botol soju."
"Ke acara kencan buta. Kau mau ikut? Siapa tahu kau menemukan seseorang yang menarik."
Ucapan Ryu itu langsung membuat Akira yang sudah setengah mabuk tersenyum menyeringai.