Chapter 8 - Tujuh

Haru memandang punggung Ryu yang berjalan beberapa langkah di depannya. Ia dan Ryu sedang menaiki tangga penghubung pintu keluar dengan gerbang stasiun Takadanobaba. Lalu langkah kakinya terhenti ketika ia tiba-tiba teringat ucapan Ai. "Kalau firasatku benar, dia akan menjadi teman yang sangat istimewa bagimu." Haru tertegun selama beberapa detik yang lama sebelum akhirnya mengangguk mantap. Tidak ada salahnya berteman dengan Ryu. Lagipula, Ryu adalah teman masa kecilnya. Tidak ada hal buruk yang akan terjadi dari berteman dengan teman lama, bukan?

Haru berdeham ketika ia dan Ryu tiba di puncak anak tangga. "Aku lapar," cetus Haru. Ryu menoleh pada Haru lalu mengeluarkan ponselnya. Sebelum sempat Ryu menyentuh layar ponselnya, Haru lebih dulu merampasnya sambil berkata, "Kau boleh bicara denganku."

Ryu mengerjap lalu mengambil beberapa langkah menjauh dari Haru. "Benarkah? Kau tidak akan memukulku atau menuntutku karena melanggar isi kontrak?"

Haru menggeleng, "Aku akan merubah isi peraturannya."

"Jadi kau akan menghapus peraturan nomor dua?"

Peraturan nomor dua? Oh, peraturan tentang larangan komunikasi verbal. Ketika mengingatnya, Haru mengangguk. "Ya. Jangan banyak bertanya sebelum aku berubah pikiran."

Ryu tersenyum penuh kemenangan. Ia tak tahu kalau hal yang begitu sepele bisa membuatnya begitu bahagia.

Haru kemudian memimpin langkah, berjalan memasuki sebuah kedai ramen kecil yang terletak berseberangan dengan gerbang pintu keluar stasiun, di sebelah klinik dokter gigi. Tempat itu begitu sempit - lorong tempat berjalan hanya bisa dilewati satu orang. Deretan meja untuk dua orang terletak di pinggir tembok dan Ryu bisa melihat pekerja-pekerja kantoran yang datang sendiri, duduk di bangku tinggi meja yang berhadapan dengan dapur terbuka. Haru dan Ryu menempati salah satu bangku kosong di sana, duduk bersebelahan.

"Kau sering makan di sini?" tanya Ryu ketika dua mangkuk ramen panas diletakkan di atas meja.

Haru menggeleng sambil memberikan sumpit serta sendok plastik kepada Ryu. "Kadang-kadang, kalau ada yang menemani."

Kalimat itu mengundang rasa ingin tahu Ryu. "Apa itu berarti kau kadang-kadang mengajak salah satu pengawal sewaanmu?"

"Tidak, tentu saja tidak. Hubunganku dan para pengawal sewaan itu benar-benar profesional. Kami tidak bicara satu sama lain, bagaimana mungkin aku mengajak mereka makan?" Haru menjawab sambil mengaduk isi ramennya.

Ryu bernapas lega sambil tersenyum senang. Bukankah itu berarti ia orang pertama yang dibawa Haru ke kedai ini?

"Oh! Kecuali Kenta." Haru membetulkan. "Aku kasihan pada anak itu. Kadang-kadang sepertinya ia kelihatan seperti anak kucing kelaparan. Jadi aku sesekali mengajaknya makan bersama."

Perasaan lega yang memenuhi dada Ryu mendadak lenyap begitu mendengar nama Kenta.

Haru memesan shoyu ramen, menu yang selalu dipilihnya ketika mampir ke kedai ramen. Menu itu makanan kesukaannya sejak kecil, tapi begitu melihat gyoza yang dihidangkan di atas ramen pesanan Ryu, untuk pertama kalinya Haru merasakan secercah penyesalan. Kemudian tanpa berpikir dua kali, Haru menusuk salah satu gyoza dengan sumpitnya lalu menjejalkannya ke dalam mulut. "Hmm! Enak!"

Ryu mengerutkan alis, sebal. "Apakah salah satu kelebihanmu adalah mencuri makanan orang lain? Aku hanya diberi tiga gyoza goreng dan sekarang tinggal dua!"

"Kau boleh mencicipi milikku kalau kau mau," Haru menjawab sambil mengunyah dan mengendikkan bahu.

Ryu mendesah kesal lalu menggeser mangkuk ramennya jauh-jauh dari Haru. "Lupakan saja."

"Ngomong-ngomong, Ryu-kun. Bagaimana kabar anak itu?"

Ryu tahu siapa yang dimaksud oleh Haru namun ia tak langsung menjawab. Setelah melahap ramennya, Ryu berdeham, "Aku sudah bertemu dengannya tapi belum mengajar kelasnya lagi. Mungkin minggu depan. Memangnya kenapa?"

Haru menggeleng samar. "Tidak apa-apa."

"Kenapa kelihatannya kau begitu peduli pada anak itu?"

Pertanyaan Ryu membuat Haru hampir berhenti mengunyah. Ia mengangkat wajah menatap Ryu yang mengerutkan kening, penasaran. Lalu ia menghela napas dan berkata, "Karena sepertinya aku merasa bersalah sudah mematahkan hati anak laki-laki yang tak bersalah. Aku sudah menganggapnya seperti adikku sendiri dan kau tahu, dia anak yang baik."

Ryu memang tak begitu menyukai bahan pembicaraan mereka sekarang tapi ia setuju dengan Haru. Ueda Kenta memang anak yang baik, dan juga semangat belajar. Sepertinya di kelas 3-2, Kenta adalah satu-satunya murid yang tak pernah membuat onar dan selalu membantu guru-guru serta teman-temannya. Karena itu Ryu mengangguk, "Ya, kau benar."

"Jadi? Beritahu aku, kenapa kau memutuskan untuk menjadi guru?" Haru tiba-tiba bertanya setelah meneguk segelas air, membuat Ryu menoleh kepadanya.

Ryu terdiam sejenak sebelum menjawab, "Hmm, aku tidak tahu sebelumnya kalau aku ingin menjadi guru. Tapi kau tahu, ada perasaan yang memuaskan ketika aku berhasil membuat seseorang mengerti akan suatu hal. Seperti perasaan lega yang bercampur dengan kebahagiaan. Sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata."

Haru tersenyum sambil mengangguk-angguk. Lalu selama satu menit yang cukup lama, mereka menyantap ramen masing-masing tanpa suara, menikmati suara riuh para pengunjung yang bercampur dengan bunyi denting alat makan. Kemudian Haru tersenyum tenang dan bergumam, "Begitu rupanya. Kalau begitu apakah kau bisa membuatku mengerti akan sesuatu?"

"Apa itu?"

"Tentang rasa takut," jawab Haru tanpa memandang Ryu yang terus menatapnya.

"Kau mau aku menjelaskan tentang rasa takut?"

Haru tersenyum dan menggeleng. "Bagaimana kalau kau menjelaskan padaku bagaimana caranya melawan rasa takut?"

Ryu mengusap dagu sambil mendesis. "Itu pertanyaan yang cukup sulit," ucapnya. "Menurutku rasa takut adalah bagian dari emosi. Reaksi emosional terhadap sesuatu yang terlihat berbahaya. Tapi apakah kau tahu?"

Kini Haru beralih untuk menatap Ryu yang menopang dagu ke arahnya. Melihat Haru tak menjawab, Ryu melanjutkan, "Aku pernah membaca buku dari seorang psikolog klinis yang berkata kalau 85 persen hal yang dikhawatirkan orang tidak pernah benar-benar terjadi. Dan menurutku, rasa takut hanya bisa dikalahkan kalau kau menghadapinya."

Haru terdiam menatap meja sambil terus mendengarkan.

"Seseorang tidak benar-benar takut kegelapan, mereka takut apa yang ada di dalamnya. Seseorang tidak benar-benar takut akan ketinggian, mereka sebenarnya takut jatuh. Dan kalau ada seseorang yang takut jatuh cinta, mereka sebenarnya takut pada...," Ryu menerawang jauh sambil menatap wajah Haru lalu melanjutkan, "...penolakan."

Ryu buru-buru mengalihkan tatapannya ketika Haru memandangnya. "Hmm, begitu rupanya," jawab Haru.

"Itu dia. Itu dia reaksi yang paling tidak kusukai dari seseorang kalau aku sedang mengajar," ucap Ryu sambil menarik diri, bersandar pada punggung bangku tingginya.

"Reaksi seperti apa?" Haru tertawa.

"Berpura-pura mengerti padahal tidak sama sekali."

"Tapi aku benar-benar mengerti apa maksudmu. Dan penjelasanmu terdengar masuk akal. Karena itu aku sedang berpikir sendiri."

"Memikirkan apa?" tanya Ryu sambil menopang dagu lagi menghadap Haru yang kini memandangnya ragu-ragu.

Haru menggigit bagian bawah bibirnya, terlihat seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. Kemudian ia menggeleng pelan, "Tentang sesuatu. Kau tidak perlu tahu."

Wajah itu adalah wajah seseorang yang ingin menanyakan sesuatu tapi takut dihakimi, ekspresi wajah murid-murid yang sering dilihat Ryu saat mengajar di sekolah. Ryu yakin ada yang ingin dikatakan oleh Haru namun gadis itu menarik diri. Dan tentu saja ia tidak punya pilihan selain menunggu sampai Haru siap bercerita.

"Baiklah, ayo. Akan kuantar kau pulang," kata Ryu lalu bangkit berdiri sambil mengenakan mantel tebalnya.

Haru menyelesaikan makanannya, mengelap mulut dengan tisu lalu bersiap-siap pergi. Dan ketika ia telah mengenakan jaket dan hendak membayar, pemilik kedai memberitahu Haru kalau makan malam mereka sudah dibayar oleh lelaki jangkung berkacamata yang kini berdiri di depan stasiun sambil menatap langit. Haru menghela napas kemudian pergi menyusul Ryu.

"Kenapa kau yang membayar?" tanya Haru ketika ia telah berdiri di samping Ryu.

Ryu hanya tersenyum lalu menelengkan wajah pada Haru. "Aku tidak keberatan melakukannya asal aku diperbolehkan bicara selama mengantarmu pulang."

"Cih," Haru mengerutkan dagu. "Lain kali aku yang bayar."

Ucapan itu membuat Ryu hampir tersenyum. Apakah Haru baru saja memberitahunya kalau ia memiliki kesempatan lain untuk makan malam bersama seperti ini? Well, bukankah itu kabar baik?

"Ayo, sudah malam. Kau tentu mau cepat pulang dan menikmati akhir pekanmu, bukan?" tanya Haru lalu mulai memimpin langkah, berjalan menuju gedung apartemennya.

Ryu mengangguk, meski dalam hati ia tak begitu menyetujui gagasan itu. "Apa rencanamu untuk akhir pekan?"

"Tidak ada. Aku selalu di rumah atau kadang pergi karaoke bersama teman-teman. Tapi hampir semua teman-temanku sudah menikah atau beberapa sibuk dengan pasangan mereka. Jadi, aku hampir selalu menghabiskan akhir pekanku sendirian. Lagipula, aku harus bekerja setengah hari akhir pekan ini."

Ryu mengangkat alis, kaget. "Benarkah? Apa itu berarti aku harus datang untuk bekerja?"

Haru menggeleng cepat sambil setengah tertawa, "Tidak, tidak perlu. Aku hanya membutuhkanmu saat langit sudah gelap. Lagipula jadwal kerjaku berubah-ubah, kadang aku pulang larut dan kadang aku mendapatkan jadwal kerja subuh dan pulang ke rumah di pagi hari."

"Bekerja di rumah sakit begitu melelahkan, ya?"

Haru mengangguk. "Begitulah."

Suara kereta api yang melintas membuat Ryu mengangkat wajah. Kemudian ia melirik Haru yang memandang jalanan dengan tatapan kosong. Langit sudah gelap dan hanya ada lampu jalanan yang menerangi gang sempit yang mengarah ke apartemen Haru. Ryu jadi ingin tahu, kenapa Haru membutuhkan seseorang untuk menemaninya saat langit sudah gelap? Apakah Haru takut kegelapan?

Ketika mereka akhirnya tiba di depan gedung apartemen Haru, Ryu berdiri tegap dan melambaikan sebelah tangan. "Selamat malam, Ogawa."

Haru balas tersenyum. "Selamat malam, Ryu-kun."

Ryu menunggu sampai Haru memasuki gedung apartemennya. Kemudian ketika dilihatnya lampu di jendela yang terletak di lantai tiga menyala, Ryu akhirnya beranjak pergi. Namun tepat ketika ia berbalik, pandangan matanya bertemu dengan sosok anak laki-laki berambut tebal yang berdiri di bawah lampu jalanan. Anak lelaki yang begitu familiar. Ryu berhenti melangkah ketika melihat Kenta berjalan menghampirinya. "Selamat malam, sensei."