Ryu bersedekap sambil bersandar di balik pintu apartemen Haru yang kini tertutup rapat. Ia mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi dan memandang Haru dengan tatapan curiga. "Aku masih menunggu penjelasan yang masuk akal darimu."
Haru yang duduk di atas tatami ruang tamu kecilnya hanya melirik Ryu sambil menggigit sudut bibirnya.
Beberapa menit yang lalu, percakapan canggung antara Ryu, Kenta dan dirinya harus diakhiri dengan begitu cepat. Haru buru-buru mengangguk kepada Kenta yang menuntut penjelasan tentang Ryu, dan ia yakin anggukan itu diterima sebagai klarifikasi yang dibutuhkan. Setelah itu Haru buru-buru menarik Ryu masuk ke dalam apartemennya, meninggalkan Kenta berdiri mematung kebingungan di depan gerbang lapangan parkir gedung apartemennya.
Kini ia berhutang penjelasan kepada dua belah pihak -yang secara kebetulan yang gila- mengenal satu sama lain.
"Aku tahu Kenta cukup baik. Dia benar-benar anak yang keras kepala dan kalau dugaanku benar, anak itu masih akan berdiri di sana saat aku keluar dari sini nanti. Jadi sebaiknya kau menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi agar jawaban kita selaras. Kalau itu yang kau mau," lanjut Ryu ketika Haru tak menjawab selama beberapa detik yang lama.
Ryu melepas sepatunya kemudian mengenakan alas kaki kain yang empuk sebelum memasuki ruang duduk apartemen Haru yang kecil. Kediaman Haru hanya sebuah apartemen sempit dengan satu ruang kamar tidur dan dapur kecil yang menyatu dengan ruang duduk. Ryu tak melihat kamar mandi di sekitarnya, membuatnya menarik kesimpulan kalau kamar mandinya menjadi satu dengan kamar tidur. Ruang duduknya sendiri hanya diisi dengan kotatsu, atau meja penghangat yang dilapisi futon dan tatami berwarna cerah. Televisi diletakkan di ujung ruang tamu, berseberangan dengan kotatsu.
Ryu duduk di hadapan Haru dan bersedekap, menagih jawaban. Tepat saat itu Haru menghela napas panjang dan buka suara, "Dia salah satu pengawal sewaan yang pernah bekerja untukku."
Kedua mata Ryu terbuka lebar seraya ia melongo, kaget. "Dia?! Kau mempekerjakan anak di bawah umur?!"
"Dia bukan anak di bawah umur yang tidak tahu apa-apa! Aku mulai bekerja di mini market sejak 15 tahun dan membiayai hampir semua kelas tambahanku di luar sekolah. Anak SMA itu hanya orang dewasa berbadan kecil yang belum berpengalaman. Tapi bukan berarti mereka tidak tahu apa-apa. Lagipula, dia sebetulnya anak yang baik."
Ryu membutuhkan beberapa waktu yang lama untuk mencerna apa yang baru saja ia dengar. Kemudian ia mendecakkan lidah dan menyeletuk, "Lalu kenapa ia berdiri di sana menunggumu dalam hujan seperti anak anjing kelaparan?"
"Itu..." Haru menggigit sudut bibirnya dan menatap Ryu, ragu-ragu. "Ceritanya panjang."
"Well, bukankah aku harus mengetahui semuanya sebagai orang yang akan menikah denganmu?"
Nada bicara Ryu terdengar serius meski sepertinya ia sedang bergurau. Haru pun merasa bersalah karena telah menarik pria itu ke dalam skenarionya yang rumit. Akhirnya Haru mendesah berat sebelum mulai bercerita. Ia memberitahu Ryu segalanya yang pernah terjadi dalam hubungannya dengan Kenta sampai mengapa ia harus mencari orang lain sebagai pengawal sewaan untuk mengantarnya pulang.
"Dia menyatakan perasaannya kepadamu??" Ryu bertanya dengan begitu tidak percaya sampai-sampai suaranya meninggi begitu cepat.
Haru mengangguk, "Aku tidak merasa nyaman berada di sekitarnya sejak hari itu jadi... kubilang saja aku sudah tidak membutuhkan pengawal sewaan karena...," Haru meragu sejenak dan memelankan suaranya saat melanjutkan, "...aku berbaikan dengan tunanganku."
Rahang Ryu masih terbuka saat Haru berhenti bicara. Ia masih tidak bisa menemukan kalimat yang tepat untuk menggambarkan perasaannya.
"Ngomong-ngomong, bagaimana kau mengenal Kenta?"
Pertanyaan Haru membuat Ryu hampir tertawa. "Bukankah sudah sangat jelas? Aku mengajar di sekolahnya. Aku sudah mengajarnya selama hampir tiga tahun dan aku benar-benar mengenalnya dengan baik."
"Menurutmu, dia anak yang baik?"
"Kenapa kau ingin tahu?"
Haru menunduk menatap tatami. Karena sepertinya Haru baru menyadari kalau ia merasa bersalah karena telah mematahkan hati anak laki-laki lugu yang tak bersalah.
Kemudian Haru dapat mendengar desahan Ryu yang bercampur dengan erangan. "Apakah aku harus mengajar di tempat lain?"
"Apa? Kenapa?"
Ryu melotot memandang Haru. "Karena segalanya menjadi rumit sekarang! Aku harus mengajar seorang anak laki-laki yang pernah bekerja sebagai pengawal sewaan tunanganku. Dan dia tidak tahu kalau aku sudah tahu. Dan menurutmu, apakah dia akan menyukaiku seperti dulu? Kurasa tidak, karena di matanya aku adalah pria yang telah merebut wanita idamannya. Kau tidak tahu seperti apa anak-anak remaja jaman sekarang. Tapi aku tahu! Aku berurusan dengan mereka setiap hari dan kadang-kadang aku hampir gila. Dan sekarang, aku akan menjadi dua kali lipat lebih gila karena ulahmu."
Haru mengerutkan dagu dan menyuarakan permintaan maafnya dengan lirih. "Aku tidak bermaksud membuat hidupmu sulit. Lagipula, aku juga bukannya ingin melakukannya dengan sengaja."
Benar juga. Ucapan Haru benar. Ia bertemu dengan Haru secara kebetulan dan secara kebetulan pula ia mendaftar sebagai pengawal sewaan Haru. Lalu di hari pertamanya bekerja, ia bertemu dengan Kenta yang juga secara kebetulan adalah salah satu pengawal sewaan yang pernah dipekerjakan Haru. Hal-hal seperti ini terjadi di luar kendali seseorang. Sebuah takdir. Ia tidak bisa menyalahkan siapapun atas keadaan yang telah berubah menjadi benang kusut.
"Mungkin aku harus menjelaskan semuanya pada Kenta dan mencari orang lain saja. Aku tidak ingin membuat hidupmu lebih sulit apalagi setelah sudah lama tidak bertemu."
Ryu melihat Haru beranjak dari tempat duduknya, bergerak hendak bangkit berdiri.
Ryu memang tidak suka dengan apa yang baru saja terjadi dengannya. Ia juga tidak senang membayangkan bagaimana suasana mengajar di kelasnya nanti. Tapi selain itu, Ryu lebih tidak menyukai gagasan Haru yang berpikir untuk mencari orang lain. Untuk menggantikannya.
"Aku lapar," ujar Ryu, mengalihkan pembicaraan.
"Tapi aku hanya punya mie instan," jawab Haru yang kini sudah setengah jalan ke dapur.
"Bagus. Aku suka mie instan."
Ryu mengutuki dirinya sendiri. Bagaimana mungkin ia mengucapkan sesuatu seperti itu dalam keadaan seperti ini? Tapi ia tidak menyesalinya. Setidaknya ucapannya barusan berhasil menarik perhatian Haru.
***
"Apa dia masih di sana?" tanya Haru dari dalam kotatsunya sambil menyimak berita di televisi.
Ryu menggeleng dari balik tirai jendela ruang duduk. "Sepertinya dia sudah pergi. Lagipula sudah larut. Anak kecil seperti dia tidak boleh pulang malam-malam."
"Cih. Baik orang dewasa maupun anak kecil sebaiknya tidak berkeliaran malam-malam. Banyak hal buruk yang bisa terjadi di malam hari. Orang-orang menjadi lebih liar di malam hari. Kau tidak tahu betapa menakutkannya dunia di malam hari."
"Hal buruk seperti apa?" tanya Ryu ketika kembali duduk di balik kotatsu.
Haru tertegun. Pandangannya sejenak tertarik dari televisi.
Ryu memandang Haru dari tempat duduknya. Ada sesuatu di dalam pandangan itu yang membuat Ryu merasa bersalah karena telah bertanya. Lalu entah mengapa suasana di dalam ruangan mengharuskan Ryu untuk merubah topik, "Ngomong-ngomong, di mana kontrak yang harus kutandatangani?"
Mendengar pertanyaan Ryu, Haru terhentak kaget kemudian buru-buru bangkit berdiri dan berlari ke kamarnya. Satu menit kemudian, Haru kembali dengan selembar kertas yang telah dipenuhi beberapa baris tulisan panjang dan dibumbui materai. Haru duduk di sebelah Ryu dan meletakkan kertas itu di atas meja.
"Ini," ujarnya sambil menyodorkan kertas pada Ryu. "Baca pelan-pelan lalu kembalikan padaku kalau kau sudah menandatanganinya."
Ryu mengangkat kertas itu lebih dekat. Beberapa poin di sana sudah ia dengar langsung oleh Haru seperti tidak boleh ada kontak fisik, tidak boleh ada komunikasi verbal, tak diperbolehkan berada lebih dekat dari satu meter dan bla bla bla. Lalu, tunggu dulu. Kedua alis Ryu mengkerut bingung ketika membaca poin terakhir dari kontrak kerjanya. "Apa maksud poin terakhir?"
Haru hanya membalas, "Seperti yang tertulis di sana. Pihak kedua (kau) bersedia untuk menerima panggilan kerja di luar jam kerja saat dibutuhkan dalam keadaan darurat. Seperti tadi misalnya. Kalau-kalau Kenta tiba-tiba datang ke apartemenku dan aku merasa tidak nyaman, kau harus datang. Dan tentu saja, aku akan membayarmu. Bayaranmu akan kuberikan setiap akhir bulan."
Ryu mengangguk samar tapi sebenarnya bukan itu yang ingin ia ketahui. Akhirnya ia bertanya lagi, "Bagaimana dengan poin nomor lima?"
Haru mengerutkan alis lalu melirik isi kontrak. Kemudian ia mengangkat wajah memandang Ryu. "Aku tidak mau kejadian seperti Kenta terulang lagi jadi, aku menambahkan poin terakhir."
Ryu mengangkat alis, menunggu Haru untuk melanjutkan. Melihat itu, Haru menarik napas lalu berkata, "Kau tidak diperbolehkan untuk jatuh cinta padaku."