Uma berarti kuda. Tanaka Ryu memanggilnya begitu karena rambutnya yang panjang selalu diikat tinggi-tinggi menyerupai ekor kuda. Ia dan Ryu tidak satu sekolah, tapi setiap pagi dalam perjalanan ke sekolah masing-masing, Ryu selalu menarik juntaian rambutnya yang panjang sambil berteriak, "Umaaa!"
Ryu adalah tetangga sebelah rumahnya saat ia berumur delapan tahun. Ia hanya sempat berteman dengan lelaki itu selama beberapa bulan sebelum Ryu akhirnya pindah rumah.
"Kumamoto," ucap Ryu yang sudah duduk di hadapannya. "Aku bukan sekedar pindah rumah. Tapi aku pindah ke Kumamoto."
Haru baru ingat kalau ia baru saja menanyakan kemana lelaki itu pindah dan kenapa ia tidak pernah mendengar kabar darinya. Lalu ia menggeleng samar. "Astaga Ryu-kun, kau banyak berubah, ya."
Ryu tersenyum dan bersedekap sambil bersandar ke punggung kursi. "Benarkah? Aku terlihat lebih tampan?"
Haru mendesis lalu mendecakkan lidah. "Sifatmu yang terlalu percaya diri itu tidak berubah sama sekali rupanya."
Tapi sepertinya ucapan Ryu ada benarnya. Lelaki itu terlihat lebih dewasa dan... yah, tampan.
Seingatnya, Ryu dulu seorang bocah lelaki kurus yang lebih pendek darinya. Rambutnya selalu dipangkas hampir botak dan selalu berlari dengan lincah kesana-kemari. Ryu adalah anak lelaki yang aktif dan menjengkelkan. Haru tidak pernah ingat menganggap Ryu sebagai seseorang yang keren. Tidak seperti sekarang.
Sosok Ryu yang duduk di hadapannya saat ini bertolak belakang dengan Ryu kecil yang ia kenal. Ryu besar begitu dewasa; pakaiannya begitu rapi, kepalanya yang pelontos kini dihiasi rambut tebal yang agak panjang. Beberapa bagian rambutnya menutupi dahinya yang lebar. Ryu kini mengenakan kacamata persegi dengan bingkai gelap yang entah mengapa begitu cocok dengan wajahnya sehingga memberikan kesan yang keren. Haru tidak tahu persis bagian mana yang terlihat keren, tapi secara keseluruhan Ryu benar-benar tampak berbeda.
"Ngomong-ngomong, bukankah kau sedang menunggu seseorang di sini?" tanya Ryu sambil menoleh ke kanan dan kiri dengan was-was.
Oh, Haru baru ingat. "Ah, ya. Tapi dia belum menghubungiku. Aku akan menghubunginya."
Ryu mencondongkan tubuh pada Haru yang kini menempelkan ponsel ke sebelah telinga, mendengarkan nada dering yang tak terjawab. Kemudian Ryu merasakan ponselnya bergetar dalam saku celananya. Ryu spontan mengeluarkan ponselnya dan menjawab panggilan yang masuk. "Halo?"
Suara itu membuat Haru mendongak, melirik Ryu sambil melotot kaget. "Kenapa kau yang menjawab?"
Kini Ryu memandang Haru dengan tatapan yang sama. "Oh, suaramu terdengar di sini... kau??? Kau yang membutuhkan pengawal pribadi untuk anak kecil?"
Haru buru-buru menutup telepon dan meletakkan ponselnya di atas meja. Lalu ia menyembunyikan wajah di balik permukaan tangannya. Tiba-tiba semuanya jadi kacau.
"Kau membutuhkan pengawal pribadi untuk anakmu? Kau sudah menikah? Wahhh, luar biasa. Aku tidak percaya ada orang yang mau menikah denganmu."
Ucapan Ryu membuat Haru mengangkat wajah lalu buru-buru membenarkan, "Aku belum menikah! Bagaimana mungkin aku bisa punya anak?!"
Ryu mengangkat bahu sambil tersenyum miring. "Perbuatan tak disengaja... mungkin?"
Haru refleks melempar gumpalan tisu ke arah Ryu yang mendarat di permukaan wajahnya. "Jangan bicara macam-macam!"
Ryu terkekeh. "Kalau begitu siapa yang membutuhkan jasa pengawal pribadi? Keponakanmu? Sepupu?"
Haru meragu. Kedua alisnya berkerut bingung, ia tidak yakin bagaimana ia harus menjelaskan situasinya tanpa perlu mengungkit kejadian itu. Kejadian terkutuk yang hampir merenggut nyawanya.
"Kau?" Ryu kini mencondongkan wajahnya sampai ke tengah meja. Tatapannya yang terkejut membuat Haru tersudut. "Kau membutuhkan pengawal pribadi?"
Haru mengerutkan dagu. "Memangnya... memangnya aku harus punya alasan untuk menyewa pengawal pribadi? Lagipula kau datang ke sini untuk wawancara kerja dan secara teknis, aku ini atasanmu! Jadi bersikaplah profesional dan simpanlah reuni kecil-kecilanmu itu untuk lain waktu."
Haru bersedekap lalu menyilangkan kaki dan berdeham dengan kikuk. "Jadi... apakah kau pernah bekerja sebagai pengawal pribadi?"
"Tentu saja tidak. Pekerjaanku seorang guru. Tapi informasi lowongan pekerjaan anda memberitahuku kalau aku hanya perlu menemani seorang anak kecil pulang ke rumahnya dari stasiun kereta. Bukan begitu?" Ryu bertanya sambil menahan senyuman jailnya. Senyuman jail itu masih terlihat sama seperti dulu. Begitu menjengkelkan.
Melihat itu Haru mengerutkan alis dengan kesal lalu menyesap kopi dinginnya. "Benar. Pekerjaanmu hanya menemani...ku berjalan ke rumah."
"Wah, bukankah itu pekerjaan yang menyenangkan? Mendapatkan bayaran untuk menemani seorang gadis pulang."
"Jangan bercanda. Aku punya alasan yang cukup serius mengapa aku membutuhkan jasa ini. Kau pikir ada wanita normal yang mau mengeluarkan uang untuk hal sepele seperti ini? Tidak. Karena itu, tutup mulutmu dan mulailah bekerja!" Haru begitu berapi-api hingga ia tidak sadar kalau ia sudah setengah berdiri dan membungkuk ke arah Ryu dengan kedua mata melebar, geram.
Merasakan tatapan beberapa orang di sekelilingnya, Haru kembali duduk lalu menyesap kopi dinginnya. Lalu ia mengenakan kembali jaket tipis yang sempat ia lepaskan dan menggantungkan tas di puncak bahunya.
"Jadi, apa ini artinya aku diterima kerja?" Ryu mengangkat wajah ke arah Haru yang bersiap-siap pergi.
"Kau tidak mendengar ucapanku tadi? Aku tidak mengerti kenapa kau bisa menjadi guru kalau pendengaranmu lebih buruk dari kakek-kakek. Aku akan memberitahumu dimana kau harus menunggu besok malam. Jangan terlambat."
***
"Jangan terlambat." Haru mengucapkan kalimat itu sambil mengaitkan resleting jaketnya lalu berjalan dengan cepat menuju pintu keluar dengan langkah yang tak bisa dihentikan.
Kedua mata Ryu melebar tak percaya. Kemudian ia buru-buru menyesap habis kopinya, mengenakan mantel kerjanya lalu berlari menyusul Haru keluar kafe.
Tidak. Ia tidak bisa membiarkan Haru pergi begitu saja setelah bertahun-tahun berpisah dari gadis itu. Setelah akhirnya ia kembali menginjakkan kaki di Tokyo dan dipertemukan kembali oleh takdir, Ryu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Ia bahkan tak mau menunggu sampai besok untuk bisa melihat Haru lagi.
Di antara kerumunan pejalan kaki yang memenuhi jalanan Kabukicho, Ryu dapat melihat jaket putih tipis yang dikenakan Haru. Ia menerobos, mendorong, melewati orang-orang yang mendempetnya. Hal pertama yang menarik perhatiannya adalah rambut panjang Haru yang menjuntai seperti ekor kuda. Tak ingin membuat gadis itu berjalan lebih jauh, Ryu buru-buru menarik juntaian rambut Haru dan membuatnya berhenti berjalan. Lalu gadis itu menoleh, melemparkan pandangan terusik yang bercampur dengan amarah. Raut wajah itu membuat Ryu tersenyum lebar. "Senang bisa menarik rambutmu lagi, Uma-chan."
"Aku sudah bilang kau bisa mulai bekerja besok," ucap Haru, sebal.
Ryu dan Haru berdiri berhadapan di tengah gerombolan pejalan kaki yang berjalan dari berbagai arah. Ryu melangkah maju ketika seseorang tak sengaja menubruk bahunya. "Wawancaranya sudah selesai. Sekarang kau dan aku hanya teman. Dan kita bicara seperti teman. Dan sebagai teman lama yang sudah lama tidak ketemu, aku ingin mengajakmu makan malam bersama."
Kedua mata Haru melebar. Sudut-sudut bibirnya bergerak seperti mau mengucapkan sesuatu, namun Haru meragu lalu menjawab, "Baiklah. Aku juga sedang lapar. Ayo, cepat."
Ryu tersenyum lagi. Kata 'YES!' hampir meluncur dari mulutnya. Namun ia menahannya lalu mulai berjalan di samping Haru. "Jadi? Kita makan apa?"
"Entahlah. Kau saja yang memutuskan."
Ryu tersenyum. "Baiklah, akan kupikirkan."
Kawasan Kabukicho malam itu begitu penuh dan sesak meskipun hari itu bukan akhir pekan. Lampu-lampu restoran, bar dan toko-toko menyala begitu terang sehingga sedikit menyakitkan bagi mata Ryu yang sensitif. Ia mencari kedai makanan yang bisa ia kunjungi bersama Haru malam ini. Ia sibuk menoleh kesana-kemari sampai pandangannya mendarat pada Haru yang berjalan santai di sebelahnya.
Kedua mata Ryu menyipit memandang Haru.
Gadis itu tidak berubah banyak. Rambutnya yang panjang masih terlihat indah, mata lebar yang dinaungi bulu mata yang panjang itu masih memancarkan sinar yang hangat. Caranya berjalan, caranya bicara, caranya memandang... semuanya masih sama seperti yang ada di ingatan Ryu. Ia tidak tahu kalau tubuhnya masih menyukai keberadaan gadis itu di sampingnya meski sudah belasan tahun berlalu.
Hanya ada satu yang harus dipastikan sebelum Ryu melangkah lebih jauh. Ryu memasukkan tangan ke dalam saku lalu berdeham, "Hei, Ogawa. Kenapa kau membutuhkan jasa pengawal pribadi? Pacarmu bisa melakukannya untukmu, kan?"
Pertanyaan itu entah mengapa mengusik Haru. Ryu dapat mendengar Haru mengerang dengan sebal. "Kalau aku punya pacar, bukankah aku tidak perlu repot-repot membayar orang sepertimu untuk mengantarku pulang? Kau ini kenapa menanyakan sesuatu yang begitu jelas?"
Haru mengomeli Ryu, mengoceh begitu panjang soal perutnya yang lapar dan tidak bisa menunggu lebih lama untuk mencari restoran yang tepat. Haru akhirnya memasuki sebuah kedai makanan terdekat, sebuah restoran Cina yang mengeluarkan bau makanan yang lezat. Langkah Ryu terhenti, ia memandang punggung Haru yang menghilang di balik pintu restoran yang lalu menutup secara otomatis.
Ia mencoba mengatur napasnya, meredakan detak jantungnya yang tak keruan. Lalu ia dapat melihat bayangan Haru yang mengibaskan sebelah tangan ke arahnya, mengisyaratkan untuk masuk. Itu dia wajah yang ia rindukan. Wajah cinta pertamanya.