Chapter 2 - Satu

"Akhirnya ada orang yang mengirim lamarannya!"

Suara Ogawa Haru yang cukup lantang membuat Inoue Ai yang berjalan di sampingnya hampir menarik diri sambil mengernyit. "Kali ini apa kau cukup puas dengan pelamarnya?"

Haru mengangguk dengan semangat lalu mengarahkan layar ponsel kepada sahabatnya. "Hmm! Kali ini pelamarnya bukan anak SMA yang membutuhkan uang jajan tambahan dan akan jatuh cinta padaku lagi. Dia seumuran denganku dan pekerjaannya adalah guru bahasa Inggris. Bukankah itu bagus?! Itu berarti dia menyukai anak-anak!"

"Laki-laki?" Ai bertanya dengan sebelah alis terangkat.

"Tentu saja! Bukankah memang laki-laki yang dibutuhkan untuk posisi ini?"

Inoue Ai memutar bola matanya sambil mendesah. "Ya, kau mencari pelamar pekerjaan seperti mencari jodoh. Aku tidak mengerti kenapa kau masih saja membutuhkan orang untuk mengantarmu pulang kerja. Maksudku, bukankah sudah bertahun-tahun berlalu sejak kejadian itu? Apa itu masih menghantuimu, Haru?"

Haru mengetik sebuah pesan balasan kepada Tanaka Ryu, lelaki yang lamarannya membuat Haru terkesan dan entah mengapa namanya mengingatkan Haru pada salah satu karakter dari animasi favoritnya waktu kecil. Ia memberitahu pria itu untuk menemuinya di kafe dekat stasiun untuk wawancara sore ini. Sekarang ia hanya perlu menunggu balasannya.

Haru berdiri di pinggir jalan raya, menunggu arus mobil berhenti dan membiarkannya menyeberang. Lampu tanda boleh menyeberang belum menyala, ia memandang ke arah mobil-mobil yang melintas, sibuknya jalanan Shinjuku tak bisa membuyarkan isi pikirannya yang cukup kacau. Kacau dan menyeramkan akibat pertanyaan Ai yang mulai merambat ke isi kepalanya.

"Begitulah," Haru mengangkat sebelah bahu dan menjawab sambil lalu. "Lagipula pekerjaan kita menuntut untuk pulang malam dan aku masih tidak berani berjalan sendiri kalau langit sudah gelap."

Ai mendadak merasa bersalah telah bertanya karena ia merasakan tubuh Haru menegang. Ia akhirnya memutuskan untuk mengalihkan pembicaraan. "Yah, yang penting jangan sampai pengalaman sebelumnya terulang. Jangan membuat anak SMA yang polos jatuh cinta lagi padamu. Sebenarnya apa yang sudah kau lakukan pada Ueda hingga membuat anak itu menyatakan perasaannya kepadamu?"

Mendengar itu, tawa Haru refleks meledak. Dan tepat saat itu lampu hijau penyeberangan menyala. Sambil berjalan, Haru menjawab, "Aku tidak melakukan apa-apa! Aku hanya mengajaknya bicara, menghiburnya, memberinya saran untuk masalah-masalahnya."

"Ya dan hal-hal sepele itulah yang membuat orang salah paham," sahut Ai sambil menggeleng-geleng.

Ueda Kenta adalah salah satu lelaki yang disewa Haru sebagai pengawal pribadi untuk menemaninya pulang kerja setiap malam selama setahun terakhir. Awalnya Haru merasa nyaman karena Kenta sudah seperti adik baginya. Dalam perjalanan pulang, Haru sering menanyakan bagaimana harinya, seperti apa teman-temannya dan mendengarkan anak itu bercerita tentang masalah keluarganya. Dan ternyata maksud baik itu tak diterima dengan benar oleh Kenta. Dan suatu hari, lelaki itu menyatakan perasaannya pada Haru. Sejak hari itu, Haru memutuskan untuk mencari orang lain. Seseorang yang tidak terlalu naif dan cukup dewasa untuk mengetahui batasan.

"Malam ini sepertinya kita akan pulang larut lagi. Katanya bayi yang dilahirkan nyonya Fujiwara beberapa hari yang lalu baru keluar dari ICU dan akan dipindahkan ke ruang bayi," jelas Ai ketika mereka menginjakkan kaki di trotoar seberang jalan.

Haru mendesah berat. "Itu berarti malam ini akan menjadi malam yang panjang."

"Sepertinya begitu. Kau sudah bawa baju ganti?"

Haru mengangguk kemudian mengikuti Ai berjalan memasuki rumah sakit bersalin yang terletak beberapa ratus meter dari penyeberangan jalan.

Ia dan Ai sudah bekerja sebagai suster perawat di bagian ruang bayi selama hampir tiga tahun. Pekerjaannya adalah merawat bayi-bayi yang baru lahir dan memastikan bayi-bayi itu sehat saat keluar dari rumah sakit. Haru begitu menyukai bayi sehingga mengganti popok, menyusui dan memandikan bayi bukanlah pekerjaan yang berat baginya. Meski ia tak begitu menyukai shift malam dan seringnya jadwal bekerja berubah tanpa pemberitahuan, melihat bayi-bayi di rumah sakit membuat Haru bahagia. Apalagi mencium aroma bayi yang baru selesai mandi dan diberikan krim. Bau itu selalu bisa membuat Haru tersenyum meski memiliki hari yang buruk.

"Ngomong-ngomong, Haru." Suara Ai baru menyadarkan Haru kalau mereka sudah berada di dalam lift rumah sakit. "Kenapa kau selalu mencantumkan informasi tentang anak-anak untuk mencari pelamar?"

Haru melirik beberapa orang yang berada di dalam lift kemudian menyuruh Ai untuk diam lewat tatapan matanya. Lalu setelah mereka tiba di lantai 5, Haru menjawab, "Jangan membicarakan soal itu di tempat umum."

"Oke. Tapi kenapa?" Ai mengulang pertanyaannya.

Haru menyapa beberapa karyawan rumah sakit dan dokter yang berjalan melewatinya. Kemudian ia menjawab, "Karena menurutku laki-laki yang menyukai anak kecil lebih bisa melindungi wanita. Setidaknya kalau mereka mau menyakiti perempuan, mereka memiliki perasaan yang lebih sensitif untuk berpikir dua kali atas tindakan mereka."

Ai mengangguk samar. "Hmm, begitu rupanya. Jangan lupa untuk selalu membuat kontrak, menyalin kartu identitasnya dan selalu memberitahuku dimana keberadaanmu. Untuk jaga-jaga."

Haru mengedipkan sebelah mata sambil tersenyum. Meski Ai sudah menggunakan kalimat yang sama untuk memperingatinya berkali-kali, Haru tetap senang mendengar ada seseorang yang mengkhawatirkannya. "Tentu saja. Akan kuingat."

Haru baru selesai mengganti pakaiannya dengan seragam suster di ruang ganti ketika ia mendengar ada pesan masuk di ponselnya. Haru mengecek isi pesan tersebut dengan sebelah tangan sementara tangannya yang lain menutup loker.

- Saya akan menunggu Anda di Kafe Green Bean di dekat stasiun Shinjuku. -

Itu pesan balasan dari Tanaka Ryu. Bagus, Haru merasa lega ia bisa cepat mencari pengganti Kenta. Ia tidak ingin tidur di kamar karyawan di rumah sakit selama berhari-hari sementara menunggu pelamar baru. Shift paginya akan berlangsung selama beberapa minggu dan Haru harus mencari cara untuk bisa pulang ke rumah. Dan ia tak bisa melakukannya sendiri. Membayangkan dirinya berjalan di gang sempit yang gelap cukup membuat permukaan tangannya berkeringat. Jadi ia harus cepat-cepat bertemu dengan Tanaka Ryu dan mempekerjakannya secepat mungkin.

Tapi... kenapa nama itu terdengar tidak asing di telinganya? Tanaka Ryu. Ryu... Tanaka?

***

Tanaka Ryu mengangkat sebelah tangan, mengecek jam di arlojinya untuk kedua-puluh kalinya. Kemudian ia mempercepat langkahnya begitu keluar dari stasiun Shinjuku yang sesak dipadati gerombolan pekerja kantor yang baru pulang kerja. Aroma berbagai jenis parfum yang memusingkan bercampur aduk dengan bau asap rokok dan alkohol. Ryu menyapu toko-toko yang mulai bersinar dengan redupnya cahaya langit lalu pandangannya tertarik pada binar lampu neon putih dengan tulisan Green Bean pada permukaannya. Itu dia kafe yang ia cari.

Ryu kini berjalan lebih santai dengan perasaan lega. Ia menggunakan waktu yang ia miliki untuk membenahi posisi kerah kemeja serta dasinya. Lalu ketika dirasanya pakaiannya sudah rapi, Ryu mendorong pintu masuk kafe, membunyikan denting bel yang tergantung di puncak pintu.

Kafe Green Bean memiliki suasana klasik. Sebuah kafe dengan lampu kuning yang teduh, aroma kopi yang menyengat serta lagu jazz klasik sebagai lagu latar belakangnya. Ada bau keju dan roti panggang yang menggelitik perutnya yang lapar. Namun Ryu harus fokus. Ia tidak datang ke sini untuk makan malam, ia datang untuk wawancara kerja.

Sebenarnya Ryu tak begitu membutuhkan pekerjaan. Bekerja di sekolah sudah cukup sibuk dan membuatnya lupa waktu. Namun, begitu melihat isi lowongan pekerjaan di internet, Ryu berpikir, kenapa tidak menggunakan waktu pulang kerjanya untuk menghasilkan uang tambahan? Menurut informasi pekerjaan yang ia baca, ia hanya perlu menemani anak kecil pulang ke rumah yang memiliki rute yang hampir sama dengannya. Kalau menurut pepatah tua, sekali mendayung bisa melewati beberapa pulau, bukan?

Ryu berdiri sejenak di depan konter kasir yang menerima pesanan. Ada papan kayu raksasa yang tergantung di atas konter, bertuliskan daftar menu, tapi Ryu tak memperhatikannya. Ia sibuk menyapu isi ruangan, mencari seseorang yang kemungkinan adalah orang yang akan mempekerjakannya. Dari pesan yang ditulis, orang itu mendeskripsikan dirinya sebagai wanita dengan seragam rumah sakit. Hmm, seharusnya mudah ditemukan.

Antrian yang menipis di depannya memaksa Ryu untuk memesan. Ia belum sempat mengecek isi menu dengan teliti sehingga ia menyebutkan nama minuman yang sudah pasti ada di semua kafe, "Satu Americano panas."

Setelah membayar pesanannya, Ryu menepi untuk menunggu minumannya disajikan. Dan tepat saat itu kedua matanya menangkap sesosok wanita yang begitu familiar.

Wanita itu mengenakan jaket putih, duduk di sebuah meja untuk dua orang di tengah ruangan. Rambutnya yang panjang dan gelap diikat tinggi-tinggi, menyerupai ekor kuda. Juntaian rambut wanita itu berayun dengan indah setiap saat ia bergerak dan pemandangan itu seketika membuat Ryu melotot kaget.

Ryu menerima pesanannya lalu membawanya ke meja wanita itu. Begitu ia mendekat, wanita itu menyadari keberadaannya lalu bangkit berdiri dan memberi salam. "Selamat malam. Apakah An-,"

"Haru-chan?"

Kini Haru yang mendelik tak percaya. "A-Anda mengenalku?"

Ryu mengerjap, "Kau tidak ingat padaku?"

Haru mengerutkan alis dan tampak berpikir keras, begitu keras sampai ia hampir mengernyit. Haru tak menunjukkan tanda-tanda kalau ia mengingat apapun, akhirnya Ryu berkata, "Uma-chan!"

Seperti kilat yang menyambar begitu cepat, ingatan Haru membuat kedua matanya melebar, tak percaya. Ia sekarang ingat satu-satunya orang yang memanggilnya dengan sebutan 'Kuda'. Orang itu berdiri menjulang di hadapannya dengan polos, tersenyum lebar mengunjukkan barisan giginya yang rapi. Itu dia, teman masa kecilnya yang hilang.