"Kau sudah mantap berpisah?" pertanyaan dari pihak pengadilan untuk kesekian kalinya.
"Mantap!" ibu jarinya terangkat tinggi, sengaja dibuat lurus dengan meja hakim di pengadilan itu.
Hening, keputusan dua orang yang terlibat dalam acara persidangan hari ini tidak bisa diganggu gugat, mereka mantap berpisah tanpa peduli banyak pertimbangan atas nama cinta.
Cinta itu omong kosong, benar, bagi mereka yang hanya jatuh cinta karena sebuah kelebihan dan tidak mau menerima kekurangan.
Dia, Reyka, orang biasa memanggilnya Rey saja.
Gadis, maaf bukan, tapi sebut saja seperti itu karena dia memang masih muda. Usianya masih 24 tahun, parasnya tidak terlalu cantik, tapi manis, rambutnya panjang bergelombang dan merah seperti rambut jagung, kulitnya putih bersih, body-nya ideal, tidak kurus dan tidak gemuk.
Reyka menikah diusia 22 tahun dengan seorang pemuda yang ia cintai dalam waktu singkat, lebih tepat lagi ketika rasa iri akan pernikahan itu membuncah hebat, ada penawaran dari seorang teman baik akan pemuda single dan terkenal baik.
Baik?
Sepertinya nanti Reyka akan meralat segera semua pernyataan itu, Gilang tidak ada baik-baiknya setelah menikah, belum lagi yang bisa dianggap sebagai kesalahan Reyka sejak awal, dia tidak mengenal dekat keluarga Gilang, mereka tidak lebih dari kata-kata sialan.
Kenapa Reyka sebut sialan? Mereka suka sekali ikut campur masalah rumah tangganya sampai ke dasar pori-pori Reyka, sedang Gilang sangat penurut, Gilang bahkan lebih sering menegur Reyka dibanding ibu dan adik perempuannya yang Reyka bilang sangat menyebalkan.
Definisi uang dibahas dalam rumah tangga ini, nafkah dipersoalkan seperti perusahaan milik negara, Reyka tidak diberi ruang.
Reyka tidak lebih hanya menjadi status penyelamat keluarga itu, menutup semua hujatan akan tudingan buruk yang sebenarnya benar disandang Gilang.
"Dia pria tidak normal!" begitu kesimpulan Reyka.
Dia sudah dua tahun menikah dan hanya hitungan jari dia berhubungan suami-istri dengan Gilang.
Apa bisa kau bayangkan, selama dua tahun dan hubungan yang seharusnya ratusan kali itu menjadi hanya hitungan jari, sepuluh, mungkin.
Segala upaya telah Reyka usahakan, bahkan ia sampai menari tanpa busana di depan Gilang, tapi pria itu tidak tergoda sama sekali dan memilih untuk tidur.
Hal lain, ini juga termasuk dalam garis besar masalah drama rumah tangga yang baru saja Reyka akhiri hari ini yaitu desakan dari keluarga Gilang agar dirinya segera memiliki anak.
Ahahahahha, Reyka ingin merobek mulut mereka detik ini juga, tapi ia lebih memilih untuk pergi meninggalkan ruang persidangan, semua sudah selesai.
Reyka bawa semua barang miliknya, termasuk bukti pemeriksaan dalam program hamil yang pernah Reyka dan Gilang lakukan tahun lalu, di sana tertulis jelas bahwa masalah terjadi pada Gilang, bukan dirinya, tapi keluarga super sempurna itu tidak mau menerima dan terus mendesaknya untuk melakukan ritual dan memakan apa saja yang bisa mendukung kehamilan.
Gila, sekali pun Reyka makan dan minum obat ribuan truk, kalau dia tidak melakukan hubungan suami-istri dengan Gilang, bagaimana bisa ada kehamilan di sana, mereka saja sudah lama tidak berhubungan.
"Rey, dengerin Bapak!" Widi tahan tangan anaknya yang terus saja mengayun acuh.
"Iya?" berbalik dengan wajah santainya. "Bapak kuat jalan nggak?" baru sadar kalau bapaknya tidak bisa mengimbangi langkahnya.
"Makanya berhenti dulu, Bapak bisa patah tulang kalau ngikutin kamu yang kayak kereta api gitu." mengomel pada Reyka, mau tidak mau Reyka duduk sebentar di depan gedung pengadilan.
Sejak berumur dua belas tahun, Reyka tinggal dengan Widi, hanya mereka berdua di kota ini. Ibu kandung Reyka-Tanti meninggal dunia setelah pengumuman penerimaan siswa baru dan Reyka menjadi siswi terbaik di sana, tabrak lari itu merenggut nyawa Tanti dalam sekejap.
"Boleh Bapak tanya sama kamu?"
"Boleh dong, Pak. Ada apa?" balas Reyka sembari mengedarkan mata, ia malas saja kalau kembali melihat wajah-wajah tim menyebalkan dan tidak punya hati itu.
"Kamu nggak punya simpenan lain kan di luar?" eh, tebakan macam apa itu. Reyka sontak bergeleng, jelas tidak ada, dia wanita yang setia, asal tidak diduakan saja.
Tidak ada wanita yang mau diduakan karena kekurangan yang ia punya, apalagi kekurangan itu tidak jelas dan tidak benar.
"Rey nggak kayak gitu, Pak. Bapakkan tahu kalau Rey itu nggak pernah mandang wajah, harta dan tahta, yang penting hati. Rey bakal bertahan kalau ujiannya itu, tapi kalau udah menyangkut harga diri dan mendua, Rey nggak mau!"
"Nak Gilang mendua? Selingkuh maksud kamu?"
"Rencana, dia mau begitu karena aku nggak bisa kasih dia anak."
Bohong dan terpaksa.
Reyka tutup lembar kebenaran itu, baginya semua itu aib rumah tangganya dan Widi tidak perlu tahu, bisa sakit dan jelas kondisinya memburuk, biarlah Reyka telan sakit itu sendiri, tuduhan buruk pun ia anggap seperti angin lewat.
Ia tidak peduli kalau keluarga Gilang bergosip di luar sana, di lingkungan mereka, yang jelas Reyka menutup mulutnya.
Terkadang orang mendengarkan cerita kita bukan untuk melempar simpati, tapi memperlengkap bahan gosip dan ajang tepuk tangan, kita tidak pernah tahu kapan simpati berubah menjadi peti mati, dilihat oleh banyak orang dengan semua kenangannya.
Bukannya kenapa-kenapa ... Halah!
Kamu yang sabar ya, kok bisa dia begitu ... Halah!
Di depan kita berlaga simpati, pulang baru lima langkah sudah membuat daftar anggota gosip.
"Setelah ini, apa kamu mau jadi janda sampai mati? Hidup sendiri itu nggak enak loh, Rey." Widi tidak ingin meninggalkan anaknya seorang diri saat nyawa itu di ujung lidah.
Saudara mereka jauh di kampung, di sini hanya ada teman dan tetangga baru yang belum tentu menetap, banyak rumah yang sudah berganti penduduk di dekat mereka.
"Ya ... Kalau ada jodoh lagi, kan kita nggak tahu, Pak."
"Bapak itu dulu sebenarnya setuju kamu sama Natan, temen lama kamu, kenapa sih kok kalian berantem terus nggak mau kenal lagi, padahal mulai lahir sampai kalian SMA itu kan barengan terus, kenapa?" ada raut kecewa di wajah Widi, Reyka paham itu, dulu ayah Natan dan Bapaknya sempat membahas perjodohan.
Tapi, Reyka tidak bisa mengungkap semua ini.
"Namanya bukan jodoh, lagian Natan kan juga udah nikah, jangan dibahas, nanti dia gelisah di sana," jawab Reyka santai.
Dia, Natan, teman lama sekaligus cinta pertama yang terpaksa Reyka tinggalkan tanpa perasaan.
Reyka tarik nafas dalam-dalam, ia hembuskan berat.
Tidak, aku ngakk boleh mikirin Natan, itu jahat namanya, Rey!
Reyka mantapkan dalam hati akan apa yang baru saja dia yakini soal Natan, dia tidak mau bertemu sekalipun harus melopat ke jurang.
"Wuah, cobaan nggak ada hentinya, moga aja nggak ada Natan lah, masa iya habis ribet jadi ribet lagi!"