Reyka tarik foto kecil yang terselip di buku diary-nya, foto di mana dia berdiri bersama Natan jaman masih anak-anak.
Mereka tumbuh bersama sejak kecil dan selalu bersama sampai pada sebuah titik di mana mau tidak mau Reyka harus melepaskan Natan dari tangan dan dunianya.
Andara sudah meninggal ...
Reyka usap dadanya yang sontak bergemuruh mendengar dan mengulang kabar duka yang Heti katakan tadi.
Istri Natan yang baru saja menjalin kasih rumah tangga enam bulan itu telah tiada, lebih tragis lagi Reyka ingat betapa senangnya Natan ketika mendapatkan Andara, wajah Andara sangat mirip dengan Reyka.
Tidak bisa Reyka pungkiri bahwa ada rasa yang dulu ingin mereka perjuangkan bersama, sayangnya takdir tidak berpihak dan memutuskan untuk memilih jalan masing-masing.
Ingin Reyka hampiri Natan saat ini juga, merentangkan tangan dan membiarkan Natan bersandar di bahunya.
Reyka pejamkan mata, "Itu nggak mungkin," ucap Reyka lirih.
Reyka tatap lagi foto kecil itu, Natan tergelak di sampingnya, selalu seperti itu ketika mereka bersama dulu.
Entah seperti apa ekspresi Natan sekarang, Heti hanya mengatakan Natan tidak banyak bicara, hanya sekedar menjawab pertanyaan Heti yang lancang.
"Huh, anggap aja kita udah nggak kenal dan aku doain kamu dapet istri lagi yang jauh lebih baik, Nat."
Reyka simpan lagi foto itu, kenangan lama yang sebenarnya sulit untuk ia lupakan, bahkan ketika Reyka sendiri sampai detik ini, dia masih membayangkan candaannya bersama Natan.
Kalau saja waktu itu tidak ada temboi besar yang harus memukul mundur Reyka, pasti saat ini mereka bersama dan mengikat janji suci.
Sudah tidak jodoh, mau bagaimana lagi?
Reyka hapus air matanya yang sempat menetes, ia tahu betapa sakitnya kehilangan orang yang kita cintai, apalagi itu pasangan.
Reyka yakin Andara bukan gadis sialan yang sama dengan mantan suaminya itu, jelas kehilangannya akan membuat sakit hati yang cukup lama, pasti ada ketidak relaan di sana.
"Bapak udah makan?" Reyka gulung rambutnya tinggi.
"Udah, Bapak tadi masak cah kangkung, masih ada buat kamu, makan sana!"
"Uuh, Bapak baik banget, cinta aku!"
Widi berdecak gemas, anak gadisnya telah kembali lagi ke rumah, awalnya Reyka ingin tinggal sendiri untuk menenangkan diri, tapi ia larang mengingat rumah ini adalah tempat ternyaman untuk menenangkan diri, berada di dekat orang tua juga hal yang terbaik dari segala macam bentuk hidup di luar sana.
Senyum Reyka adalah senyumnya juga, tidak masalah bila anaknya kembali dengn status janda, selama hatinya tidak miskin dan bisa menerima semua kenyataan pahit ini dengan ikhlas.
"Rey, Bapak tadi ketemu sama-" sengaja Widi jeda sebentar, melihat ekspresi terkejut Reyka yang baru saja mengunyah gulungan kangkung.
Reyke memutar bola matanya menuju wajah Widi, satu alis terangkat seolah bertanya siapa yang Widi temui tadi.
"Ehehe, ketemu sama tukang sayur langganan Ibumu dulu, Bapak beli ini dikasih tempe jadinya."
Terpaksa,
Widi terpaksa berbohong, ia tahu dari ekspresi terkejut Reyka tadi terlintas rasa tidak suka, ia tidak mau membuat selera makan Reyka hilang.
"Bapak beli yang banyak kalau gitu besok, biar dia seneng terus kita ganti tempenya," ujar Reyka, ia kembali melahap gulungan kangkung yang sengaja dibiarkan panjang utuh.
Widi mengangguk, sebenarnya yang ia temui adalah Natan. Pemuda itu baru saja ke luar dari tempat pemakaman yang tidak jauh dari kampung ini.
Dulu di tempat itu, keluarga besar dari orang tua Natan dimakamkan, awalnya Widi mengira Natan sedang berziarah ke makam kakek buyutnya, tapi ternyata tidak, Natan duduk dengan wajah mendung di depan makam baru dengan nama 'Andara'.
Widi ingat betul nama itu yang tidak lain adalah nama istri Natan yang baru menikah enam bulan terakhir.
Widi tidak menyangka Natan akan membawa istrinya beristirahat terakhir di pemakaman dekat kampung lama masa kecilnya ini, bukan di tempat baru di mana keluarga Natan memutuskan pindah dan membeli rumah baru, mereka sudah lama meninggalkan daerah ini.
Bahkan teringat jelas di benaknya, Natan sampai harus berganti-ganti naik angkot hanya untuk menemui Reyka dan mengajak Reyka bermain.
"Bapak bohong ya sama aku?" tuduh Reyka, ia baru selesai mencuci piring kotornya.
Widi menoleh, "Bohong apa?"
"Jangan pura-pura deh, Bapak nggak mungkin ketemu tukang sayur langganannya Ibu, tukang sayur itu kan udah lama meninggal, Rey sendiri yang bilang ke Bapak dulu, lupa ya...."
Widi tercekik mendengar apa yang Reyka katakan, terlalu gugup sampai dia salah mencari sasaran.
"Tadi, Bapak bilang ke Rey kalau mau ke pemakaman Ibu kan? Bilang ke Rey, sebenernya Bapak itu ketemu siapa? Hantu?"
Widi telan ludahnya susah payah, antara mengaku dan tidak, tapi dia selama ini memang tidak pandai membohongi Reyka.
"Bapak ketemu siapa?" ulang Reyka memberi sedikit penekanan.
Jangan bilang kalau Bapak baru ketemu Natan!
Tidak siap, sebenarnya Reyka sendiri tidak siap mendengar pengakuan jujur Widi.
"Bapak ketemu Natan," jawab Widi jujur.
Apa!
Tadi Heti mengaku bertemu Natan, sekarang Widi yang mengaku, itu artinya memang Natan kembali tinggal tidak jauh dari kampung kecil ini.
Heti berkata Andara telah meninggal dunia, baru saja Widi pulang dari pemakaman, arti baru lagi di mana Andara pasti dimakamkan di dekat kampung ini.
Tidak mungkin!!
Reyka berdiri dengan kedua tangan terkepal kuat, dia merasa bahaya akan datang kalau sampai bertemu dengan Natan.
*Kenapa dia harus kembali ke sini?
Masih banyak tempat yang bisa Natan singgahi selain kampung ini, tapi kenapa harus ke kampung sini dan membawa Andara juga*?
Reyka gemetaran mengingat ancaman yang pernah terlontar untuknya, dia tidak boleh bertemu dengan Natan, kalau bertemu yang dia lakukan adalah harus pergi menjauh, Natan harus jauh dan baik-baik saja.
***
Heti mematung di depan pintu pagar rumahnya, sosok yang seharusnya tidak menjadi tamu di sini, datang tanpa berita dan mau tidak mau harus dia terima.
"Het, masih inget aku kan?"
Nat-Natan!!
Heti mengangguk kaku, ia terperangah melihat wajah Natan lagi, tidak masalah bila di jalan, tapi ini di rumah.
Gawat,
"Inget, Nat. Kita juga baru ketemu kan kemarin, masa iya amnesia sesaat, ngapain ke sini?"
Tidak sopan, tapi ini demi perdamaian ibu pertiwi.
"Kenapa? Pasti takut dikira mau ngelamar terus nggak jadi ya," balas Natan cengar-cengir.
Heh, sialan ... Itu benar lagi, jadi merasa udah perawan tua ini!
"Diem, jangan berisik dan lama-lama, bisa roboh rumah ini denger ocehannya Emak!"
"Iya-iya, aku cuman mau minta nomornya Rey, boleh kan?"
Apa! Ini lebih parah dari sambaran petir, Rey pasti nggak suka nomornya disebar luas, apalagi ke Natan, gimana dong?