"Happy birthday to you."
"Happy birthday to you."
Nyanyian lagu selamat ulang tahun menggema memenuhi setiap sudut ruangan di sebuah rumah yang begitu besar. Seorang anak perempuan yang berdiri di belakang meja yang berisikan kue ulang tahun terlihat begitu bahagia. Menepuk tangan sembari bernyayi ria.
Tibalah saatnya pemotongan kue. Seperti yang akan terjadi selanjutnya, anak perempuan itu memotong kue pertamanya dibantu sang ibu. Kemudian ia berjalan menghampiri seorang anak laki-laki yang berdiri di sebelah anak perempuan yang tampak anggun.
"Ayo!" Ajak anak laki-laki itu pada anak perempuan di sebelahnya, lalu membawanya keluar dari rumah besar yang dimana menjadi tempat acara perayaannya.
"Pestanya belum selesai." Kata anak perempuan itu.
"Pesawat kita tidak akan menunggu." Katanya yang kemudian sudah masuk ke dalam mobil. Diikuti oleh sang anak perempuan itu juga.
Sementara itu, seorang anak perempuan yang sedang membawa potongan kue ulang tahunnya sedang mencari keberadaan seseorang disana. Ia menelusuri setiap anak laki-laki yang ada di hadapannya, tapi ia tidak menemukannya.
"Apa harus kukatakan?" Batin seorang anak laki-laki yang tahu apa yang baru saja terjadi.
"Dimana dia?" Bisiknya pada anak laki-laki itu.
"Dia pergi." Akhirnya ia memutuskan untuk memberitahukannya.
"Pergi kemana?"
"Kembali ke negara kelahirannya." Katanya membuat anak perempuan itu menjatuhkan piring yang berisikan potongan kue yang ada di tangannya.
Kejadian itu mendapat perhatian seluruh pasang mata yang hadir.
"Ada apa?" Tanya sang ibu yang akan menghampiri anaknya, tetapi anaknya sudah lebih dulu berlari keluar rumah dan dikejar oleh anak laki-laki itu.
"Itu mobilnya!" Pekik anak perempuan itu.
"Kita tidak bisa mencegahnya."
"Tolong bantu aku. Aku belum sempat memberitahunya." Kata anak perempuan itu dengan nada sedih.
"Naiklah." Kata anak laki-laki yang sudah duduk di atas sepedanya.
"Lebih cepat lagi!"
"Ini sudah cepat."
"Tolong jangan pergi!" Teriak anak perempuan yang berulang tahun pada hari ini di tengah kesunyian malam.
"Kenapa dia pergi tanpa memberitahuku? Aku bahkan belum mengatakan perasaanku padanya." Lirih anak perempuan itu yang sudah menangis di boncengan sepeda bagian depan.
"Aku yakin dia memiliki perasaan yang sama." Lirih anak Laki-laki itu pula.
"Aku juga yakin." Katanya dengan yakin.
Perkataan anak perempuan itu membuat sang pengayuh sepeda merasakan sakit hati yang sangat mendalam. Ia mencintai perempuan yang sedang ia bonceng saat ini. Walaupun usia mereka masih terbilang 10 tahun, tapi tetap saja rasanya ia tidak ingin kehilangan sosok yang membuatnya nyaman, sama seperti kenyamanan pelukan seorang ibu.
"Mobilnya semakin jauh!" Teriak anak itu dengan keras.
Namun, tanpa disangka-sangka, anak laki-laki itu menghentikan sepedanya di perempatan jalan.
"Kenapa berhenti? Dia akan pergi!"
"Kita tidak bisa mengejarnya."
"Kita bisa! Di depan sana ada lampu merah dan aku yakin kita bisa menghentikannya!" Katanya dengan nada memburu.
"Boleh aku egois untuk kali ini?"
Anak perempuan itu mengernyit heran.
"Kali ini aja."
"Ada apa denganmu? Kita harus mengejarnya! Ayo jalan!"
"Bisakah kamu mendengarkan aku dulu?"
"Tidak ada waktu untuk mendengar. Dia akan pergi!"
"Biarkan saja."
"Apa maksudmu?!" Pekik anak itu marah.
"Maaf, tapi aku tidak bisa membantumu." Katanya sambil menundukkan kepalanya dalam.
Anak perempuan itu turun dari boncengannya, kemudian berdiri tepat di samping sepeda.
"Kamu sahabat baikku."
"Aku pikir kita ini spesial."
"Tidak. Tolong jangan katakan hal
itu." Cegah anak perempuan itu karena ia tahu apa yang selanjutnya akan terjadi.
"Aku suka kamu." Katanya tanpa keraguan sedikit pun.
Saat perempuan itu hendak menjawabnya, tiba-tiba sebuah mobil datang dari sisi kanan mereka. Mobil itu melaju dengan sangat kencang menghampiri keduanya.
Brakh!
Selesai sudah.
Keduanya sama-sama terkapar di atas aspal yang terasa begitu dingin. Darah segar keluar dari segala arah, terlihat seperti mereka sedang bermandikan darah mereka sendiri.
Dengan kesadaran yang tersisa, anak perempuan itu menggenggam tangan anak laki-laki yang terkapar di sebelahnya.
"Ja...jangan..per...pergi."
***
"TIDAK!" Teriak seseorang pria yang baru tersadar dari tidurnya.
"Ada apa?!" Tanya seorang wanita tua yang sedari tadi menunggu pria itu bangun.
Pria yang baru saja berteriak itu kini memegangi kepalanya dengan teramat kuat. Kepalanya terasa sangat sakit.
"Sakit." Ringisnya kesakitan.
"Kepala kamu sakit? Di bagian mana yang sakit? Beritahu oma Anta."
Ya, pria itu adalah Antariksa dan wanita tua itu adalah oma Rika.
"Oma sakit banget." Katanya mengadu.
Antariksa tidak bisa dipungkiri karena kepalanya memang sangat sakit saat ini. Ia juga tidak tahu mengapa, padahal ia hanya terbentur mading sekolah.
"Tunggu sebentar, biar oma panggilkan dokter." Kata oma Rita yang sudah keluar dari kamar pribadi Antariksa.
Setelah mengetahui keadaan Antariksa, oma Rita segera menyuruh kedua cucunya untuk membawa Antariksa pulang ke rumah dan langsung memanggil dokter keluarga untuk memeriksanya lebih mendalam.
"Oma bang Anta baik-baik ajakan?" Tanya Cakrawala yang menunggu di depan kamar Antariksa.
"Baik kok. Kamu enggak perlu sepanik ini." Kata oma Rita sembari mengelus bahu Cakrawala penuh kasih sayang.
"Cakra khawatir oma."
Oma Rita terkekeh kecil. "Antariksa baik-baik aja. Cuman luka kecil kata dokter." Katanya untuk menenangkan Cakrawala.
"Galaksi ke kamar dulu." Pamit Galaksi yang sedari tadi menunggu Antariksa di depan kamar adiknya itu.
"Kamu enggak mau nanya sesuatu?" Tanya oma Rita yang menghentikan langkah cucunya sulungnya.
"Oma tahu kamu pasti penasaran."
"Apa pun itu. Galaksi enggak peduli." Katanya tanpa perlu repot-repot membalikkan badannya, kemudian ia melangkah pergi memasuki kamarnya.
Cakrawala menatap kepergian Galaksi dengan tatapan datarnya. Ia menghembuskan napasnya kasar.
"Padahal dia peduli." Celetuk Cakrawala membuat oma Rita tersenyum mendengarnya.
Oma Rita sangat mengenal cucu-cucunya dengan sangat baik. Karena sejak kecil mereka sering mengunjunginya ke Indonesia dan pernah mengasuh ketiganya saat mereka berada di bangku taman kanak-kanak. Dan lagi, setelah beranjak ke jenjang SMA mereka memutuskan untuk bersekolah di Indonesia. Hal itulah yang membuat oma Rita mengenal mereka dengan sangat baik.
"Oma istirahat aja. Bang Anta 'kan udah sadar. Oma pasti capek."
"Yasudah, kalau ada apa-apa panggil oma ya?" Pintanya yang mendapat anggukan kepala dari Cakrawala.
Cakrawala membuka pintu kamar Antariksa. Menemukan abang keduanya itu terduduk dari tidurnya. Sang dokter juga terlihat sudah selesai memeriksa.
"Tidak ada cidera serius. Saya pamit." Pamit sang dokter yang langsung keluar dari kamar Antariksa.
"Gimana udah enakan?" Tanya Cakrawala berbasa-basi.
Antariksa hanya diam tanpa menjawab. Pandangannya terlihat begitu kosong menatap ke luar balkon kamarnya.
"Yaelah bang. Kepala lo cuman lecet dikit, tapi lo udah kayak mau
sekarat." Celetuk Cakrawala yang tanpa disuruh duduk di sofa kecil yang berada di dekat meja belajar Antariksa.
"Bisu lagi."
"Bisa diem enggak?" Sinis Antariksa tak suka.
"Nyesel gue khawatir sama lo. Lo tahu enggak, lo itu udah buat heboh satu rumah. Waktu oma tahu lo kepentok mading, oma langsung manggil dokter dan maksa supaya lo dibawa pulang." Cerita Cakrawala untuk membuat Antariksa mengetahui seberapa merepotkan dirinya hanya karena terpentok mading sekolahan.
"Gue enggak minta itu."
"Lo kayak enggak tahu oma."
Antariksa menghelakan napas dengan pelan, lalu mengusap wajahnya gusar.
"Gue mimpi." Katanya yang langsung mendapat respon cepat dari Cakrawala.
Bahkan adiknya Antariksa itu sudah berdiri dari tempatnya dan berjalan menghampiri Antariksa yang masih terduduk di atas kasurnya yang empuk.
"Serem banget, sampai gue ngira itu nyata." Lanjutnya.
"Lo mimpi apa?" Tanya Cakrawala penasaran.
Antariksa menggelengkan kepalanya lemah. "Enggak terlalu jelas. Yang gue ingat--"
"Apaan anjir buat penasaran aja dah!" Gerutu Cakrawala karena Antariksa menggantungkan ceritanya menjadi lebih lama.
"Sepasang anak kecil." Lanjut Antariksa.
"Ngapain lo mimpi anak kecil segala?"
"Itu yang buat gue bingung. Gue enggak tahu anak kecil itu siapa."
"Lo lihat mukanya?"
"Ya lihat. Cuman samar-samar gitu."
"Terus-terus?"
Antariksa terdiam sejenak. Terlihat sedang berpikir untuk mengingat sesuatu. Sesaat setelah ia mengingatnya, keringat dingin mulai membanjiri wajahnya.
"Darah." Bisiknya pelan.
"Hah? Kenapa bisa ada darah?"
Antariksa menggelengkan kepalanya dengan cepat. Ia ingin membuang jauh-jauh semua mimpi buruk itu.
"Mereka ditabrak."
Cakrawala sedikit terkejut mendapati Antariksa yang tengah dibanjiri keringat. Padahal kamarnya di fasilitasi AC yang tidak mungkin akan merasa kepanasan apalagi berkeringat seperti Antariksa saat ini.
"Lo kenapa jadi keringetan, dingin gini juga. Udah enggak usah lo lanjutin mimpi lo itu." Kata Cakrawala sembari meraih remote AC, kemudian menekan tombol mode cool agar ruangan kamar Antariksa menjadi lebih dingin.
"Itu cuman mimpi Anta." Kata Cakrawala memberitahu melihat Antariksa terlihat pucat memikirkan mimpi buruk itu.
"Lo benar cuman mimpi." Katanya meyakinkan.
Karena di dalam mimpi itu, Antariksa merasa kejadian yang ia mimpikan seperti nyata. Jadi tidak heran jika dirinya terlihat begitu ketakutan saat ini. Siapa pun jika mendapat mimpi buruk pasti akan mengalami hal yang dialami oleh Antariksa saat ini. Sekuat apa pun mereka.
"Lo besok enggak perlu bangun."
"Lo doain gue mati?!"
"Maunya sih gitu."
"Sialan lo!"
Cakrawala terkekeh kecil.
"Udah ah gue mau bobok dulu. Emangnya gue pengasuh lo." Katanya yang sudah beranjak dari tempatnya.
"Maksud gue lo besok enggak perlu bangun karena elo besok libur sendiri." Jelas Cakrawala sebelum benar-benar meninggalkan kamar Antariksa.
Antariksa hanya manggut-manggut di tempat tidurnya.
"Mimpi buruk yang mengerikan." Gumamnya bergidik ngeri ketika mengingat mimpi buruk itu lagi.
Antariksa pun memutuskan untuk kembali tidur, mencoba melupakan mimpinya dengan cara tertidur untuk mendapatkan bunga tidur yang lebih indah.
***