Celine meletakkan ponsel pipih berwarna hitam milik putranya ke tempat semula yaitu di atas meja. Bertepatan dengan itu, Jayco yang tadi berada di kamar mandi pun keluar mendapati sang ibu sempat memegang ponselnya. Setelah menutup pintu kamar mandi dia pun mensejajarkan diri di samping ibunya.
"Siapa, ma?" tanyanya.
"Itu, ada orang nelpon kamu tapi nanyain Jo. Kamu habis ketemu sama dia?"
"Jo? Enggak kok" balas Jayco sembari menggeleng.
Namun Celine tak percaya, "Kamu kan dari rumah sakit, Jo juga dari sana kan. Kalian pasti ketemu, dia ikut papa pulang kan? Jangan bohong sama mama, jawab yang jujur Jacob!" ujar wanita itu memburu.
"Sumpah, ma! Aku gak ketemu sama kakak, dia gak di Indonesia"
"Terus tadi apa? Yang telpon kamu bilang kalau dompet Jo jatuh di tempatnya. Kamu bohong Jacob! Kamu bohong!" kata Celine sudah setengah membentak.
"Ma, enggak. Jo enggak di sini, ma, aku gak bohong" ucapnya memelas memohon mamanya tak salah paham.
"Bohong! Bohong! Bohong! Kalian bohongin mama! Kalian bohong!" teriak Celina mulai menarik kuat rambutnya sendiri.
Melihat itu tentu saja Jayco tak tinggal diam, dia berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan cengkraman kuat mamanya namun tak kunjung berhasil. Sedangkan, Lionel dan Greysia yang tadinya asik mengobrol sambil menunggu minuman yang akan di bawakan Celine akhirnya berhamburan menuju suara gaduh dari dalam rumah.
Mereka terkejut melihat wanita dengan rambut sebahu itu sudah mengacak-acak rambutnya sendiri dan seorang remaja laki-laki yang tampak kewalahan menghadapi mamanya. Saat melihat sang ayah datang terlihat jelas dari pancaran matanya jika ia sangat membutuhkan bantuan dari sang ayah.
Lionel segera memeluk istrinya dalam dekapan hangat sedangkan Jayco melangkah mudur lalu kakinya lemas di samping tembok dan hampir terjatuh namun dengan cepat Greysia memapah laki-laki itu agar tak jatuh. Badannya jadi dingin dan bergetar bahkan Greysia dapat mendengar hembusan napas yang kasar dengan jelas.
Pria tadi terus menenangkan istrinya yang masih menjerit menyumpahi nama Jayco yang berbohong padanya. Berbeda dengan Jayco sendiri dia terus menggeleng serta air mata yang terjun bebas sembari berkata ia tak berbohong berulang kali. Greysia sendiri bingung tak tahu harus berbuat apa selain menopang badan Jayco.
Sesaat kemudian, Lionel berucap kepada putranya, "Jayco, stay away from mama!" perintahnya.
Dalam hati Greysia bertanya, "Jayco??"
Jayco menggeleng, "Tapi, pa..."
"Right now!!" ucapnya lagi dengan lebih tegas.
Buru-buru Greysia menarik temannya itu pergi lebih tepatnya meninggalkan tempat tersebut dan menuju teras belakang sembari menenangkan diri. Jayco menunduk lemas di sofa, dia menyangga kepalanya. Gadis itu mengambil tempat tepat di sebelah laki-laki itu, tangannya terangkat mengelus punggung Jayco menyalurkan ketenangan.
"Tenangin dulu ya" ucapnya pelan ikut gelisah.
Mendengar hal itu, Jayco menyandarkan kepalanya di pundak Greysia. Tangannya pun melingkar di punggung gadis itu kemudian Greysia juga balas memeluk laki-laki itu dengan hangat namun tetap menepuk pundaknya membiarkan Jayco menyelesaikan tangisnya yang belum usai.
"Maaf harusnya gak berakhir seperti ini" ujar laki-laki itu dengan sedikit serak lalu mulai menegakkan badannya dan berakhir bersandar pada punggung sofa.
"Gapapa, lo maupun kita gak ada yang pengen ini terjadi di waktu yang seharusnya bakal menyenangkan" kata Greysia memandang lurus kearah Jayco.
Jayco memainkan kedua ibu jarinya, bibirnya ia paksa untuk diam nampak sebuah kegelisahan terpancar. Dia seakan ingin memberi tahu akan suatu hal namun tak dapat ia lakukan. Greysia membaca gerak-gerik temannya tersebut, dia juga penasaran namun enggan bertanya, dia tak ingin membeban i pikiran Jayco atas rasa penasarannya.
"Gak usah jelasin apa-apa kalau lo gak bisa, gue gak akan kemana-mana jadi lo bisa cerita di lain waktu. Sekarang lo fokus aja buat nenangin diri, jangan terlalu strees gak baik juga buat kesehatan"
Setelah diam beberapa saat yang tak bisa di bilang sebentar, pelan namun ragu Jayco mulai angkat bicara. Dia masih tetap gugup bahkan sesekali dia berhenti kemudian mengigiti bibirnya sendiri. Lain hal dengan Greysia, gadis itu memutar duduknya menghadap kearah Jayco. Fokus matanya tak lepas sama sekali memandangi laki-laki tersebut.
"Mungkin...kamu bakal gak suka...sama...cerita aku" ucap Jayco.
Dia memandang Greysia singkat lalu pandangannya jatuh kembali ke lantai, "Mamaku mengidap Prolonged grief disorder sebuah gangguan kesedihan berkepanjangan mengacu pada sindrom yang terdiri dari serangkaian gejala yang berbeda setelah kematian orang yang dicintai"
"Ini udah terjadi selama tiga tahun...setelah kita...kehilangan sosok..." ucapannya berhenti.
Selang 5 detik kemudian, "Jacob...adik kembarku" lanjutnya.
Jayco menatap kembali Greysia ingin melihat reaksi gadis itu yang terlihat kaget dan tak percaya.
"Aku bukan Jacob, Grey. Aku bohong sama kamu. Aku Jayco, maaf"
"Bohong..." ujar Greysia agak memberi jarak dengan laki-laki di hadapannya, "Lo bohong, ini gak lucu, Jacob!"
Jayco memohon dia menggenggam tangan Greysia, "Maaf Grey maafin aku, aku salah maafin aku" pintanya.
"Aku terpaksa...." lanjutnya.
Mendengar itu lantas Greysia sedikit marah, "Terpaksa lo bilang?! Lo bohongin gue selama setahun lebih! Gue udah percaya banget sama lo tapi apa? Lo pura-pura jadi orang lain biar deket sama gue? What?!!! Lo pikir ini lucu? Enggak!"
"Aku juga gak mau pura-pura jadi orang lain. Aku juga mau dengan bebas tanpa beban dikenal dengan namaku sendiri. Tapi aku terpaksa melakukan ini demi mama, demi kesehatan mama. Demi mama aku rela gantiin adik aku yang udah gak ada, aku rela jadi dia yang karakternya aja beda jauh dari aku"
"Jacob minta aku buat cari kamu, buat nemenin kamu. Selama tiga bulan aku dibantu kenalan aku buat cari keberadaan kamu. Pertama kali ketemu terus kamu bersimbah darah kayak waktu itu, aku gak tau harus gimana lagi, Grey. Gak mungkin aku bilang nama asliku terus kamu bisa curahin semua masalah kamu. Aku juga mikir ke sana, aku bukan siapa-siapa diantara kalian, diantara kamu dan Jacob"
"Aku cuma pengen kamu, Grey. Aku salah, maaf...maaf banget...maaf" tangisnya kembali meledak.
Jayco mengacak-acak rambutnya frustasi, "Jacob meninggal tiga tahun lalu, dia sakit kanker otak. Mama sayang banget sama dia dibandingkan ke aku. Di hari kematiannya, mama terus pingsan, setiap hari nangis cari dia manggil dia, aku yang menyaksikan itu harus apa lagi? Aku cuma bisa bantu mama dengan cara ini, aku gak ada pilihan lain"
Greysia tak egois, gadis itu mengusap air matanya lalu mendekat dan memeluk Jayco.
"Ini berat buat aku, tiga tahun bukan waktu yang singkat. Mama makin benci sama aku. Papa dan aku terus berhati-hati agar tidak menyebutkan nama Jayco. Aku juga anaknya, aku juga mau mama tahu kalau aku masih hidup, jaga dia, ada di samping dia" racau Jayco.
"Aku takut...tolong tetap disamping aku...aku mohon..."
Greysia ikut sesegukan, dia mengusap rambut Jayco sembari meletakkan dagunya keatas kepala laki-laki itu. Dia tak tahu jika Jayco memikul perasaan yang berat selama bertahun-tahun, selama ini hanya dia yang mencurahkan segala keluh kesahnya kepada laki-laki itu namun tidak sebaliknya. Jika ia tahu apa yang terjadi kepada Jayco, mungkin dia sudah lebih lama menggandeng tangan laki-laki itu menyalurkan segala kekuatan yang ia miliki.
"Gimana lo bisa tahan selama ini? Maaf gue gak tahu lebih awal, lo pasti capek... Lo udah melakukan hal terbaik buat nyokap" serunya.
"Lo bisa bergantung ke gue... Gue selalu ada buat lo, gue gak akan ninggalin lo, jadi tenang aja ya"
Tiba-tiba darah mengalir keluar dari hidung Jayco hingga tak sengaja mengenai kaos yang di kenakan gadis itu hingga menciptakan beberapa titik besar berwarna merah pekat. Jayco melepaskan pelukan Greysia, dia mendongakkan kepalanya keatas sembari menyuruh Greysia untuk segera mengambilkan tisu.
Beberapa helai tisu Greysia cabut dari box lalu diberikan kepada Jayco. Cukup banyak darah yang keluar membuat gadis itu semakin khawatir soalnya baru kali ini ia melihat orang mimisan dengan sangat banyak hingga menghabiskan banyak pula tisu untuk menyumbat.
"Lo gapapa?" tanyanya namun ia berucap kembali, "udah pasti kenapa-kenapa pake nanya sih bego" cercanya pada dirinya sendiri.
"It's okay it's okay...ini bukan apa-apa" jawab Jayco.
"Apanya yang oke sih, itu darah loh, Jac..
ah Jayco"
"Hm seneng dengernya" kata Jayco masih sempat-sempatnya bercanda.
"Ih lagi khawatir juga! Itu kenapa? masih keluar? tisu lagi ini atau kita ke dokter buat cek siapa tau ada apa-apanya"
"Gak usah, ini gapapa kok, bukan hal besar"
"Menurut lo gitu, kita gak tahu menurut tes lab gimana. Kalau beneran gak kenapa-kenapa pasti nanti di kasih saran dan obat kalau cuma kecapekan"
"Gapapa Greysia... Batu banget sih heran"
"Elo yang batu anjir!!"
"Itu baju kamu.."
"Cuma gini doang nanti bisa di cuci, itu lonya beneran gapapa?"
"Iya... Ini udah gak keluar lagi, tenang ya. Makasih juga"
"Serius ya? Gue takut kenapa-kenapa"
"Enggak kok, aku baik-baik aja" kata Jayco sembari menguyel-uyel puncak kepala gadis itu sembari tertawa saking lucunya.
"Ihhh rusak!" sembur Greysia kesal.