Setelah berhasil membeli minyak, Prasetyo kembali tidur di kasurnya dan membayangkan sesuatu di yang ia baca di novel. Karena menurut Pra cerita ini menyenangkan.
Bagaimana kalo Pra ada di posisi itu? Beginilah ceritanya...
"Masih belum ada perkembangan Tuan," ujar seseorang di balik tubuh tegap Pria yang tengah menatap indahnya kota malam.
"Keluar," balasnya dingin. Tanpa bantahan seseorang itu keluar dengan menganggukkan pala nya sekali. Sean Brave Maxiem pria yang tengah menatap luasnya kota malam adalah pria yang memiliki watak dingin yang sialnya luar biasa tampan. Tatapan matanya yang tajam mampu membuat siapa pun yang tengah menjadi lawan bicaranya tak berani menatapnya, serta tubuh atletisnya yang sangat sempurna membuat tak jarang kaum hawa menjerit tertahan.
Pembawaan yang tenang dengan aura berbahaya sangat sulit untuk para wanita masuk dalam hatinya. Tapi tidak ada yang tahu bahwa dibalik semua itu Sean memendam luka yang dalam saat separuh jiwanya terbaling lemah dengan waktu yang lama.
"Wake up baby," lirih lelaki itu. Hatinya sangat merindukan seseorang yang telah lama menutup matanya seakan enggan untuk membukanya kembali. Sekelebat bayangan tragedi itu masuk dalam ingatannya. Ia mengepalkan tangannya kuat, menutup matanya perlahan ketika emosinya susah untuk dikendalikan dan tanpa sadar setitik air jatuh dari sudut matanya.
***
"Sean!" seru seorang wanita paruh baya berlari menuju ruang tamu ketika melihat anak sulungnya datang. Dia adalah Arletta ibu dari pria yang kini terkejut melihat ibunya dengan bebasnya berlari.
"Oh God! Kamu masih ingat pulang ternyata boy" ucap Letta memeluk tubuh tegap anaknya. Terhitung lima bulan anaknya tidak pernah pulang. Sean lelaki yang lebih senang tinggal di luar negeri daripada tinggal di bersama orang tuanya semenjak separuh jiwanya terbaring lemah di ranjang Rumah Sakit.
"Maafkan aku" balasnya sambil memeluk erat wanita yang amat ia sayangi.
Arletta melepas pelukan anaknya. "Tentu setelah kita merayakan hari ulang tahun adik kecilmu itu," serunya antusias. Sean hanya memandang sendu wanita di hadapannya ini, hatinya seperti di hantam bongkahan batu besar sangat perih dan sakit.
Empat pria yang sedari tadi melihat interaksi di depannya kini sama-sama memejamkan matanya pelan. Hati mereka terasa begitu pilu dan sesak. Ketika melihat wanita yang mereka cintai lagi dan lagi tanpa sadar lupa dengan kenyataan yang sekarang.
"Duduk sini, kamu lihat adik-adikmu yang lain sudah ada dari tadi sore dan kamu baru saja datang," ujar Letta sebal, "Ah ya apa kamu ingat terakhir kali kamu kesini itu kapan Son?" tanyanya memandang Sean dengan raut kesal di seberang sofa.
"Ingat"
"Bagus kalau kamu ingat. Baik lupakan yang tadi, sekarang kalian harus tahu Mamah sudah menyiapkan semuanya untuk merayakan ulang tahun adik kecil kalian, hanya kecil-kecilan mungkin sanak saudara yang datang itu saja. Mamah juga sudah membuat kue dan membeli hiasan-hiasan lucu, kita akan memasangnya sekarang." tutur Letta semangat.
"Ah! Mamah lupa, gaun yang Mamah jahit belum dicoba oleh adik kalian. Padahal sedari siang Mamah sudah menyuruhnya untuk turun, sekarang pun begitu. Mungkin karena kamarnya kedap suara dia tidak dengar, coba Kenzo kamu panggil adikmu turun. Gaunnya harus dicoba sekarang. Mamah takut gaunnya tidak muat," titahnya pada Kenzo, membuat laki-laki yang merasa namanya dipanggil itu memandang Papah nya dan semua Abang nya seolah meminta pertolongan.
Daniel menghela napasnya pelan, putra kedua Letta itu menatap ibunya sendu dan berkata dengan lirih, "Mah, adek sedang istirahat bagaimana jika kita merayakannya nanti? Dan gaunnya lebih baik Mamah simpan."
Arletta mengerutkan dahinya tak suka. "Maksud kamu apa? Tahun kemarin kita sudah tidak merayakannya dan sekarang begitu lagi? Kalian tidak sayang dengan adik kecil kalian?" balasnya tak terima.
"Bukan begitu Mah, sekarang adek lagi tidur gimana kalau nanti saja mencoba bajunya?" timpal Aksa anak ketiga Arletta yang sedari tadi diam.
"Nggak! Kalau sekarang tidur, lalu mengapa tadi siang bahkan pagi tidak turun? Bilang saja kalian malas Mamah suruh. Oke biar Mamah yang panggil," balas Arletta marah beranjak dari duduknya.
"Mamah kamar adek kosong," tekan Sean berharap mamahnya sadar. Arletta membalikkan badannya menatap tajam anak pertamanya itu.
"Tahu dari mana kamu? Jangan sok tahu kalau kamu saja baru pulang hari ini, kalian semua memang tidak pernah ada yang menyayangi anak terakhir Mamah." Arletta berbalik dan melanjutkan jalannya, namun teriakan anak keempatnya berhasil membuat langkahnya berhenti.
"MAMAH ADEK KOMA!" Teriakan Kenzo berhasil membuat seluruh abangnya menatap tajam dirinya.
"Bukan gitu caranya Kenzo," desis Daniel tajam.
Tubuh Arletta mendadak kaku, suara anaknya memberikan efek yang hebat.
***
Malam langit begitu gelap petir bersahutan dengan keras, seakan memberi isyarat bahwa sebentar lagi akan turun hujan lebat dan memberi waktu agar manusia segera berlindung dalam hangatnya rumah mereka. Namun itu semua sama sekali tak dipedulikan oleh laki-laki yang kini tengah duduk sendiri di sebuah taman kesukaan seseorang yang begitu laki-laki itu sayangi.
Angin kencang menerpa tubuhnya, setetes demi setetes air mulai turun dari langit dan turun menjadi deras. Bersamaan pula dengan jatuhnya air dari pelupuk mata lelaki itu. Hatinya hancur, jiwanya seakan pergi bersamaan seseorang yang ia tunggu selama dua tahun terakhir ini.
"Abang rindu dek," ujarnya begitu lirih. Aksa, laki-laki yang kini tengah duduk di bawah guyuran hujan deras. Laki-laki yang mempunyai watak sama persis seperti Abang pertamanya Sean. Dingin tatapan datar dan tajam yang mampu mengintimidasi lawan bicaranya. Rahang tegas dengan otot-otot lengan yang pas dengan usianya.
Ia melampiaskan rindunya dengan menantang langit bahwa dirinya tak takut walau hujan membasahi tubuhnya, ia tak peduli apa yang akan terjadi setelahnya. Cukup, dirinya tak bisa untuk terus berpura-pura bahwa dirinya baik-baik saja, raut datar yang selalu ia tampilkan hannyalah topeng untuk menutupi bahwa dirinya sangat rapuh. Aksa tak bisa lagi menahan air matanya untuk tidak turun. Tak bisa lagi untuk menahan rindunya yang sudah memupuk.
Ia selalu berharap waktu bisa diulang kembali dan saat itu dirinya tidak akan melakukan hal bodoh yang membuat adik yang ia sayangi harus terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan begitu lamanya. Penyesalannya yang begitu dalam tak ada lagi celah untuk mengobati hatinya. Ia butuh cahaya dalam hatinya ia butuh semangat dalam hidupnya, namun semua itu hanya adiknya lah yang bisa.
"Ayo bangun semua rindu kamu termasuk Abang. Maafin Abang dek," Pecah sudah tangis Aksa, tak bisa lagi dirinya menyembunyikan isak tangisnya. Langit menjadi saksi betapa hancurnya Aksa Geovano Maxiem lelaki dingin dan irit bicara yang kini merasa bahwa hidupnya hancur begitu saja.