Aksa membanting Kenzo begitu saja di ruang keluarga yang sudah terdapat kedua Abangnya. Dengan santai ia duduk di sofa dengan memijit pelipisnya, dirinya benar-benar lelah dengan tingkah bar-bar adiknya.
Kenzo yang masih setengah sadar itu bangun dan berdiri dengan perlahan, matanya menatap seluruh Abangnya yang kini menatap tajam dirinya. Ia terkekeh sinis tak peduli, kakinya berjalan menuju tangga untuk ke kamar. Namun belumelum sempat melangkah tiba-tiba seseorang membalikkan tubuhnya kasar dan ...
"Abang udah pernah bilang jangan melampiaskan diri kamu ke tempat itu lagi, tapi kayaknya kamu emang ngeyel yah. Kamu bener-bener nguji kesabaran Abang, Kenzo." Sean menatap tajam adiknya dengan tangan yang mencengkeram kerah baju Kenzo.
Melampiaskan? Kenzo terkekeh kecil, benar dia melampiaskan penyesalannya dengan cara seperti ini. Kenzo benar-benar berbeda dari semua Abang nya saat Sean dan Aksa yang cuek dengan sekitar dengan tatapan datar mereka dan Daniel dengan sikap ramah pada setiap orang maka lain lagi dengan Kenzo Louis Maxiem, ia melampiaskan amarah pada dirinya sendiri dengan cara minum dan berakhir mendapat pukulan dari semua Abangnya.
"Terus kenapa? Salah? Kenzo yakin Abang semua juga mau jangan muna deh," Perkataannya itu berhasil menyulut emosi semua lelaki yang berada di sana.
bugh
Satu pukulan Kenzo dapatkan lagi kali ini bukan dari Abang pertamanya melainkan dari Daniel abang keduanya.
"Jaga ucapan kamu Kenzo, kamu pikir dengan cara kamu seperti ini. Dia bakal bangun? Kalau pun dia bangun Abang yakin dia marah dan gak suka dengan cara Abangnya melampiaskan amarah," desis Daniel tajam menatap Kenzo yang kini tersungkur di dinginnya lantai.
Kenzo terkekeh mengelap darah di sudut bibirnya, ia mendongak menatap sendu semua keluarganya. "Bilang sama Kenzo, Bang. Gimana? Gimana caranya Kenzo harus lampiasin emosi hah? Harus kaya Bang Sean dan Bang Aksa yang gak peduli sekitar atau kaya Bang Daniel yang pura-pura ramah? Kenzo gak bisa Bang gak bisa, Kenzo bukan kaya Abang semua yang bisa mendem dengan baik. Kenzo gak bisa buat nahan amarah karena kesalahan Kenzo sendiri. Kenzo gak sekuat Abang," Kenzo mengusap kasar air mata yang keluar dari sudut matanya.
"Bang Daniel bener dia bakal marah kalau tau Kenzo kaya gini. Tapi itu yang Kenzo tunggu-tunggu Bang, Kenzo tunggu dia marah dan ngomel-ngomel ke Kenzo. Bagi Kenzo denger dia ngomel gak berenti itu lebih baik daripada sekarang dia yang terus tidur yang harus berjuang demi hidupnya Kenzo gak bisa Bang. Ini cara Kenzo buat lampiasin kangen Kenzo bang," Kenzo bangkit dari duduknya. Menatap semua Abangnya dengan pandangan emosi.
"Abang kangen kan? Abang semua kangen dia kan? Hah? KANGEN KAN BANG? KENZO KANGEN BANG! KENZO KANGEN sampe Kenzo gak tau harus gimana lagi." Detik itu juga tangisan Kenzo pecah, sifat bar-bar di sekolahnya hilang begitu saja. Hari ini detik ini juga Kenzo tidak bisa untuk terus menahan air matanya lagi, rasa rindu pada adik bungsunya adalah kelemahan Kenzo di balik sifat pemberontaknya.
Sean mengepalkan tangannya kuat begitu pun yang lain. Ia berjalan menuju adik laki-lakinya yang terakhir, memeluk erat tubuh itu seolah memberi tahu bahwa dirinya juga sama-sama merindukan cahaya mereka.
"Abang mohon dek kamu bangun, jangan hukum kita semua dengan cara ini. Udah terlalu lama buat kita semua terima," batin Aksa lirih.
Sean duduk terdiam di ruang kerjanya, pemandangan dari luar jendela menunjukkan hari sudah malam. Ia menghempaskan tubuh pada kursi kebesarannya memejamkan mata dengan sesekali memijat keningnya yang sedikit pening.
Satu minggu setelah kejadian adiknya mabuk dia tidak pernah bisa fokus pada pekerjaannya, sehari-harinya selalu terbayang penyesalan penyesalan dan penyesalan. Seandainya waktu bisa diulang kembali maka dirinya tidak akan membiarkan kejadian dua tahun lalu terjadi, sungguh saat itu dia adalah orang terbodoh di dunia ini.
Matanya terbuka saat handphone nya berbunyi. Sean mendengus saat tahu siapa yang menghubunginya.
"Kenapa kamu balik lagi ke New york?"
"Aku bekerja kalau Papah lupa," balas Sean malas.
"Kamu pikir aku bodoh? Perusahaanmu di mana-mana, lalu untuk apa balik ke New york? Cepat pulang ke Indonesia sebelum ibumu tahu,"
"Kamu pikir aku bodoh? Perusahaanmu di mana-mana, lalu untuk apa balik ke New york? Cepat pulang ke Indonesia sebelum ibumu tahu,"
Sean mengembuskan napasnya pelan, selalu begitu. Papahnya selalu menyangkut pautkan ibunya jika dirinya tidak ingin pulang, "Aku akan pulang saat aku mau."
Di seberang sana Alex mendecih anaknya memang bebal. "Aku yakin setelah aku mengatakan yang sebenarnya kamu akan bangkit detik itu juga pada kursi bodohmu itu,"
"Aku selalu tahu apa yang terjadi setiap harinya di sana Pah,"
"Lalu kamu pikir aku tidak tahu? Jangan lupakan aku ini siapa Sean. Aku bisa saja membunuh tangan kananmu jika aku mau,"
"Tidak usah bertele-tele katakan ada apa sebenarnya," Sean benar-benar melupakan siapa Papahnya. Pantas sedari tadi tidak ada kabar dari tangan kanannya, dirinya yakin jika Papahnya telah menyuruh tangan kanannya itu untuk menutup mulut. Salahkan Sean yang memiliki bawahan yang bekerja juga dengan Papahnya.
"Dengan kesepakatan kamu berjanji tidak akan balik ke Negara itu lagi,"
"Oh God! Apa yang Papah bicarakan, aku lahir di sini wajar jika aku akan terus tinggal di Amerika," Sean benar-benar tak habis pikir dengan Papahnya ini, dirinya sudah besar tahu apa yang harus dilakukan dan tidak.
"Adikmu sudah melewati masa komanya, Daniel bilang beberapa jam kemudian dia akan sadar." Seperti sihir ucapan Alex tadi karena detik itu juga Sean memutuskan panggilan dan pergi menuju jet pribadinya.
Alex terkekeh di seberang sana, see? Benar ucapannya bukan jika Sean akan bangkit detik itu juga jika tahu yang sebenarnya.
Langkah Sean terdengar menggema di sepanjang lorong rumah sakit. Suasana malam ini begitu hening lampu-lampu sudah meredup bahkan hanya satu dan dua perawat lewat. Sean melirik jam di pergelangan tangannya, pukul dua belas malam pantas suasananya begitu sepi sudah larut ternyata dan Sean benar-benar tidak menyadarinya.
Sean membuka pintu kamar rawat adiknya dia terkejut saat tahu seluruh keluarganya ada di sini bahkan semua sepupunya hadir, Sean menghembuskan napas pelan saat melihat tatapan musuh dari para sepupunya. Sejak kejadian dua tahun lalu Sean dan semua adik laki-lakinya benar-benar dimusuhi oleh sepupu mereka, dirinya sadar wajar jika sepupunya menganggap mereka musuh karena bagaimanapun kesalahan yang dibuat dirinya dan adik-adiknya sangat tidak bisa dimaafkan.
Sean mendudukkan tubuh di dekat Ibunya dirinya yakin semua keluarganya akan menginap di sini, selain kamar rawat yang luas dalamnya tersedia juga dua kamar untuk beristirahat.