"Ku pikir dia sudah lupa untuk pulang," sindir Steve sinis. Sean hanya menatap datar sepupunya itu enggan untuk meladeni. Steve Roger Maxime adalah sepupu yang hanya berbeda satu tahun dengan Sean sifatnya tak jauh beda dari Sean hanya saja dia masih suka menampilkan senyumnya walau jarang.
"Dia akan menjadi pengecut jika tidak pulang," timpal Alfan Clint Maxiem adik pertama dari Steve.
"Aku berharap dia tidak datang," balas Malvin Eart Maxiem dan kembarannya Melvin Eart Maxiem adik dari Steve dan Alfan.
"Shut up boy's," peringat Rossa ibu mereka. Membuat anak-anaknya itu mendengus malas.
"Kamu sudah makan Sean?" tanya Rossa di seberang sofa.
Sean menganggukkan palanya, "Udah tadi di pesawat." Lalu melirik Ibunya yang bersandar pada bahunya, "Mamah tidur aja di kamar nanti kalau adek bangun Abang kasih tau," ujar Sean saat melihat mata sayu Ibunya.
"Kemungkinan adek bangun besok pagi, Mamah Papah tidur aja Mommy Daddy juga. Kamar ada dua kalian pake aja biar nanti aku sama yang lain di sini," tutur Daniel dan diangguki oleh mereka. Ini satu-satunya cara agar Ibunya itu mau beristirahat.
Setelah kepergian para orang tua suasana mendadak hening dan canggung. Sean berdiri dan melangkah menuju adik kesayangannya, seluruh alat penopang yang ada di tubuh adiknya sudah dilepas dan ia sangat bersyukur, karena kali ini Tuhan mendengarkan doanya.
Sean menarik kursi di sebelah brankar, menggenggam tangan mungil adiknya dengan lembut. Matanya tak pernah lepas untuk memandang wajah kesayangannya, dia benar-benar merindukan semua tentang adiknya, tentang saat adiknya bermanja pada mereka semua saat menangis dan saat tertawa dengan lepas sungguh Sean benar-benar rindu.
Dan sekarang rindu yang sudah ia simpan kini terbayar adiknya akan segera bangun dari tidur panjangnya, cukup untuk sekali dia bersikap bodoh dan menyebabkan adiknya seperti ini. Sean berjanji bahwa ke depannya dia akan lebih menjaga dan percaya pada ucapan polos adik bungsunya itu.
Sean bangkit mengecup kening adiknya lama sambil membisikkan kata-kata agar adiknya segera bangun. Dia menengok ke belakang dan terkejut saat semua adik-adik dan sepupunya tertidur dengan ... Sean yakin saat bangun nanti badan mereka akan terasa pegal.
Karena tidak ada lagi tempat untuk tidur, Sean memilih membaringkan tubuhnya di samping adik bungsunya, dirinya bersyukur brankar ini cukup untuk dua bahkan tiga orang jadi dia yakin tidak akan menyakiti cahaya hidupnya ini.
"Abang harap besok kamu bangun sayang," bisik Sean memeluk tubuh mungil adiknya dan mulai memejamkan mata.
***
Pagi ini seluruh keluarga Maxiem hadir dengan sempurna, bahkan Opa dan Omanya yang semalam belum datang kini hadir di tengah brankar putri kesayangan mereka. Daniel bilang tingkat kesadaran adiknya sudah lebih maju dan baik mungkin beberapa menit lagi adiknya akan sadar mereka senang, tapi mereka juga takut. Bagaimana jika putri kecil mereka tidak akan sadar dalam waktu dekat, karena bagaimanapun juga ini hannyalah diagnosa dokter, segalanya hanya Tuhan yang mengatur.
Namun sepertinya Tuhan mendengarkan doa mereka. Jari-jari mungil itu perlahan bergerak, Aletta benar-benar terkejut ia mengusap kepala putrinya dengan lembut tangannya terus menggenggam seiring jari-jari itu bergerak.
Akhirnya yang ditunggu-tunggu pun tiba, mata lentik yang tak pernah bosan dipandang itu terbuka walau masih menyesuaikan cahaya masuk dalam retina matanya.
"Princess ini Mamah sayang," panggil Arletta lembut. Perlahan mata itu melirik Arletta bibirnya bergerak seolah ia mengatakan sesuatu. "Kenapa sayang? Princess nya Mamah mau apa?"
"Ma-mah," Air mata Arletta mengalir begitu saja ketika suara lembut itu kembali terdengar setelah dua tahun lamanya.
"Iya sayang ini Mamah, Cia mau apa hmm?" Patricia Charissa Maxiem adalah putri dan cucu bungsu dari keluarga Maxiem. Gadis polos, ramah dan ceria yang selalu membawa warna dalam keluarga mereka, kejadian dua tahun lalu membuat keretakan terjadi antara persaudaraan mereka. Dan mereka berharap setelah ini tidak terjadi lagi hal-hal buruk menimpa mereka.
"Hiks ... Mamah, Cia takut hiks," Mereka yang berada di sana tentu terkejut saat melihat Cia menangis.
"Jangan takut ada Mamah," ucap Arletta sambil memeluk lembut putrinya.
"Cia," Tubuh Cia seketika menegang saat mendengar suara yang benar-benar membuat dirinya takut setengah mati.
"Mamah," Arletta bingung saat Putrinya mencengkeram erat tangannya seolah Cia mengalami ketakutan besar.
"Mah aku boleh ngomong bentar sama Cia?" tanya Daniel. Arletta mengangguk namun saat akan mundur tangannya benar-benar tidak dilepas oleh Putrinya.
"Sayang, Abang Daniel mau periksa Cia dulu nanti Mamah peluk Cia lagi kok," tutur Arletta lembut.
"Hai sayang," panggil Daniel lembut, namun Cia bereaksi berbeda saat tadi bersama Arletta. Kepalanya menggeleng dengan kuat, air matanya mengalir dengan deras bahkan napasnya kini mulai tersendat.
"Hei kamu kenapa? Ini Abang sayang," Daniel benar-benar terkejut saat melihat reaksi adiknya. Cia mendudukkan tubuhnya walau harus menahan sakit dari kepalanya, bergerak mundur seakan menghindar dari bahaya yang akan menyakitinya.
"Princess," Daniel berusaha menggenggam tangan itu namun di luar dugaan Cia berteriak histeris dengan tangisan kencangnya.
"NGAAAK! TOLONG HIKS...." Tubuhnya hampir jatuh jika saja Sean tak menahannya. "AAAAAA! CIA GAK SALAH... JANGAN HUKUM CIA!" dia menghempas kasar tangan Sean di bahunya, merapatkan tubuhnya ke dinding belakang. "Tolong hiks... Cia gak salah," suaranya melemah seiring dengan tubuhnya yang jatuh dalam pelukan Sean.
"Daniel lakukan sesuatu! Papah mau bawa Mamah ke kamar dan kalian lebih baik keluar dulu, biarkan Daniel yang mengatasinya!" titah Alex dan mereka menganggukkan palanya setuju.
Satu jam mereka menunggu Daniel di dalam sana, Cia bahkan Arletta pun masih belum sadar sekan ikatan batin dalam tubuh Ibu dan anak itu benar-benar kuat. Aksa tidak henti-hentinya menahan emosi, tangannya mengepal begitu kuat ia berharap bayangan-bayangan buruk yang kini berkeliaran dalam pikirannya benar-benar tidak terjadi. Ayolah Aksa bukan anak bodoh yang tidak tahu kondisi yang kini adiknya alami. Dirinya memang bukan seorang dokter, tapi dia tahu apa penyebab adiknya teriak histeris.
Pintu terbuka menampilkan Daniel dengan wajah frustrasi nya. Air matanya mengalir begitu saja, pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan keluarganya ia abaikan bibirnya seakan kelu untuk menjawab.
"BODOH! DANIEL JAWAB ADEK KENAPA?" bentak Sean marah sambil mengguncangkan tubuh Daniel kuat. Namun yang ditanya tetap diam sampai Alex keluar dari kamar itu. Atensi mereka beralih pada Alex yang diam dengan wajah datarnya.
"Cia mengalami trauma ...." Tubuh mereka tersentak kaget saat Alex angkat bicara. "Hanya pada Sean, Daniel, Aksa dan Kenzo." Dan detik itu juga cahaya hidup Sean dan adik-adiknya hilang lenyap tak tersisa.
Ketika saat membayangkan moment ini, Pra juga ikut tersentak karena Evan yang mengagetkannya juga, "Praaa, lu kenapa?"
"Ahh, sial. Kenapa bisa pas gini kagetnya" batin Pra.