"Perut gue emang gitu tau aja kalo ada yang mau cerita," Galih terkekeh masam, sialan memang perutnya ini tidak bisa diajak serius.
"Lo masak mie instan aja dulu, di sini ada kompor portabel kok." Kenzo menunjuk sudut yang mirip seperti dapur, namun mungil.
"Nih rumah dari kayu kalo kebakaran gimana?" tanya Galih waswas. Nathan mencak-mencak sendiri, bodoh memang teman satunya ini.
"Ya lo masak apinya kecil aja bego! Lo pantengin aja tuh mie jangan kemana-mana. Ah elah goblok banget punya temen," ucap Nathan kesal.
Lima menit waktu yang dibutuhkan Galih untuk memasak makanannya. Kini remaja itu kembali duduk di tempatnya dengan semangkuk mie instan yang masih mengepul panas.
"Lanjut aja ceritanya Zo," ucap Galih menatap Kenzo yang kini balik menatapnya.
"Pala lo lanjut mulai aja belom," kesal Bastian yang sedari tadi diam.
"Iya maap, ya udah mulai gih." Galih, Nathan dan Bastian menatap Kenzo yang kini terdiam. Tatapan matanya seperti membayangkan hal lalu yang mengerikan, lalu berubah menjadi pandangan kosong dan berubah lagi menjadi sendu.
Kenzo menghela napasnya pelan. "Sebenernya gue males buat cerita, karena sama aja gue kayak kembali ke masa itu. Tapi gue tau sejauh apa gue ngilangin ingatan buruk itu tetep aja selama masalahnya belom kelar, tetep gak bakal ilang dari otak."
"Kalo lo gak bisa cerita ya udah gak usah. Takut beban juga ke lo nya," ujar Bastian yang melihat Kenzo seperti berat untuk bercerita.
Kenzo menggelengkan kepalanya lantas berkata, "Gue bakal tetep cerita dan gue berharap setelah ini kalian gak musuhin gue kaya Malvin, Melvin." Mereka terkekeh saat mendengar ucapan Kenzo, apa pria itu masih tidak percaya pada teman-temannya?
"Kita ini temen bahkan sahabat, bukan setan yang kaya bangsat," cetus Bastian di tengah makannya.
"Bener lo tenang aja kita gak akan ninggalin lo kok. Buktinya kita selalu ada buat lo Malvin, Melvin. Ya walau kadang susah buat nge bagi waktu sipat kalian kayak bocah lagian," jelas Nathan diangguki yang lainnya.
Kenzo mengangguk paham, matanya menatap danau malam. Menerawang seakan dirinya akan masuk ke masa waktu mengerikan itu lagi.
2 tahun yang lalu..
"ADEK!!" bentak Sean marah ketika melihat apa yang telah dilakukan adik kecilnya itu.
Gadis kecil itu menggeleng dengan berderai air mata. Ia merasa takut ketika melihat tatapan semua abangnya yang begitu tajam.
"Apa yang adek lakuin sama Lola?" tanya Daniel tajam sembari mencengkram bahu adiknya kuat, ringisan keluar dari bibir gadis kecil itu.
"Adek nggak lakuin apa-apa Abang hiks ... Lola yang salah hiks ... Lola mau jahatin Cia hiks ...." bela gadis berwajah manis itu membalas perkataan abangnya dengan isak pilu.
"Bukan Cia yang salah iya? Terus ini apa hah? Gunting? Kamu udah dorong Lola sampe dia pingsan dan sekarang mau bunuh dia gitu? JAWAB ABANG CIA!" bentak Kenzo ia mengambil gunting yang berada di tangan adik kecilnya dengan kasar, sampai ujung gunting mengenai tangan gadis mungil itu. Baret merah terpampang jelas di sana, namun Abangnya hanya menatap dengan dingin seakan tak ada rasa kasihan dalam diri mereka.
"Hiks ... Cia cuma mau selametin diri Cia, Abang hiks ... Lola mau tusuk Cia hiks ... makannya Cia ambil guntingnya hiks bukan salah Cia abang," siapa pun yang mendengar suaranya pasti merasa sedih dan kasihan, tapi sayang di sana hanya ada para abangnya, Cia dan gadis bernama Lola yang tengah berbaring di sofa ruang tamu. Dan teg Abangnya sama sekali tak peduli dengan lirihan adik kecil mereka.
"Jangan bohong, dari kemarin Abang liat kamu emang gak pernah suka sama Lola! Dia lebih tua dari kamu seharusnya kamu lebih sopan dan jangan nakal. Abang gak pernah ajarin kamu kaya gini!" desis Sean sinis.
Memang dari kemarin Sean merasa aneh dengan adik kecilnya. Lola adalah gadis yang terpaut satu tahun dari Cia, gadis yang Cia temukan di pinggir jalan. Saat itu Cia memohon pada keluarganya agar Lola menjadi saudara mereka, ia merasa kasihan dengan Lola yang hanya tinggal di pinggir jalan dengan pakaian kumuhnya dan dengan tulus dirinya mengajak Lola ke rumah kedua orang tuanya. Saat itu seluruh abang dan kedua orang tua mereka tak setuju dengan apa yang Cia pinta bahkan para abang sepupu pun menolak.
Namun, apa daya mereka tak bisa melihat Cia nya memohon dengan sedih. Jadi mereka semua mengabulkan permintaan Cia. Lambat laun semuanya terasa biasa saja, gadis kecil kesayangan mereka begitu terlihat bahagia karena memiliki teman baru. Mereka berdua terlihat seperti kembar apa yang Cia punya pasti Lola juga ada. Baju, sepatu bahkan model rambut pun selalu sama setiap harinya.
Tapi apa daya air susu dibalas air tuba. Kebaikan Cia sama sekali tidak dipandang oleh Lola. Gadis licik itu mulai berani mengancam Cia dengan jahat. Cia gadis polos yang mempunyai ketakutan tinggi, tak berani bilang pada keluarganya ia hanya perlahan-lahan menjauhi Lora dan marah ketika Lora ikut main bersama abangnya. Tidak ada yang tahu apa penyebabnya, namun para abang Cia tak suka ketika adik kecilnya menjadi jahat. Mereka hanya diam jika Cia belum melewati batas nya.
Dan malam ini mereka para abang Cia terkejut ketika melihat Lola jatuh tersungkur oleh dorongan kuat Cia dan menyebabkan Lola pingsan. Mereka tidak tau saja bahwa itu adalah cara Cia menyelamatkan dirinya dari Lola.
"Enggak Abang hiks ... Cia gak bohong hiks Abang harus percaya sama Cia hiks," bantah Cia dengan isak menyakitkan. Dadanya mulai sakit akibat menangis terlalu lama, namun ia mengabaikannya. Dirinya terlalu takut jika abangnya tidak mau percaya pada kebenarannya.
"Lola teman yang kamu ajak ke rumah ini, kamu bilang dia anak baik dan memang itu terbukti tapi kenapa sekarang kamu bilang dia jahat? Abang enggak suka punya adek yang suka berbohong. Kamu cemburu sama Lola? Itu salah kamu sendiri, Abang lebih suka Lola yang jadi adek abang daripada kamu." Ucapan Sean begitu menusuk hati Cia. Gadis itu menggelengkan kepalanya tak percaya. Rasanya menyakitkan ketika Abangnya lebih percaya pada orang lain daripada adiknya sendiri.
Mata Cia beralih menatap abang ketiganya, Aksa. Hanya dia yang Cia butuh kan dan Cia berharap abang ketiganya percaya pada dirinya. Namun ternyata tidak, Aksa menggelengkan kepala tatapannya begitu dingin menyayat hati Cia.
"Sini kamu harus dapet hukuman," Sean menarik kasar adiknya keluar rumah, berjalan menuju gerbang rumah mereka.