"Abang, Cia gak mau di luar hujan Abang. Cia takut hiks Cia gak mau," Dia meronta mencoba untuk melepaskan tangannya yang dicengkeram kuat oleh abang pertamanya itu. Namun seolah menulikan penolakan Cia, Sean terus menarik kuat tangan mungil itu berjalan menerobos hujan yang turun dengan deras. Di belakang keduanya, Daniel Aksa dan Kenzo mengikuti dengan payung di tangan masing-masing mereka.
"Kamu diam berdiri di sini dan renungi apa kesalahan yang telah kamu perbuat, jangan masuk sebelum Abang suruh kamu masuk!" titah Sean tajam.
"CIA GAK MAU ABANG!" tolak Cia keras. Tubuhnya mengigil kedinginan, bahkan napas gadis itu sudah tersendat-sendat.
"KAMU BISA PERGI KALAU BEGITU!" Entah apa yang ada di pikiran Sean, tanpa sadar berucap dengan begitu bebasnya. Para penjaga yang melihat dan mendengarnya benar-benar terkejut. Mereka menatap semua Tuan mudanya, namun yang ditatap seolah tak peduli, Daniel dan adik-adiknya lebih menyetujui ucapan Abang pertama mereka.
Pecah sudah tangis Cia, hatinya merasa hancur segera ia berlari keluar dari rumah itu. Ia ingin pergi menemui orang tuanya, walau Cia tidak tahu di mana mereka sekarang.
Tangisan Cia begitu tergugu ia berlari menuju luar gerbang, namun para penjaga lebih dulu mencegatnya. Mereka hanya tak ingin anak majikannya ini kenapa-kenapa. Tapi sialnya Cia menggigit tangan mereka satu-satu dan berhasil lepas dari kukungan mereka. Segera Cia membuka pintu gerbang itu dengan susah payah dan berlari keluar tanpa memperhatikan jalan.
"Tuan ini salah kami, karena tidak menjaga Nona Cia tadi. Kami mohon tolong tahan Nona, Tuan. Di luar sangat berbahaya," ucap kepala penjaga itu keras, karena derasnya hujan yang turun.
"Biarkan dia harus mendapat hukumannya, lagi pula saya yakin dalam waktu lima menit dia akan kembali," yakin Sean. Karena ia tahu adiknya tidak akan berani berlari di jalan raya.
Kepala penjaga di sana menatap tak percaya apa yang Sean katakan. Tanpa memedulikan Sean kepala penjaga itu berlari mengejar Cia. Namun belum sempat matanya melihat dari arah berlawanan ada mobil melaju kencang menuju tubuh Cia dia berteriak.
Detik itu juga tubuh gadis kecil itu terlempar jauh dengan darah yang mengalir dari tubuhnya. Sean, Daniel, Aksa dan Kenzo yang mendengar suara dentuman keras seketika tubuh mereka membeku, teriakan penjaganya menjadi jawaban bahwa yang tertabrak adalah adik mereka. Segera mereka berlari ke arah luar, napas mereka tercekat oksigen seperti hilang dalam saluran pernapasan mereka. Bumi seakan berhenti berputar, suara sunyi seketika.
Sean mencoba berlari menghampiri adik kecilnya. Di hadapannya tergolek tubuh gadis yang baru saja ia bentak dan usir tadi, entah sejak kapan air jatuh dari matanya yang jelas detik itu dunianya seakan gelap dan hilang. Sean menahan diri untuk tidak mengangkat Cia ke dalam pelukannya, tidak ingin adiknya menambah rasa sakit. Sean mengelus pelan rambut adiknya yang kini bercampur dengan darah. Ia menahan isak nya ketika melihat mata itu terbuka perlahan.
"Aa--bang," lirih Cia menahan sakit di seluruh tubuhnya. Tangannya mencoba meraih wajah abang pertamanya, mengelusnya pelan. Dan itu benar-benar membuat tangis Sean pecah, bahkan Daniel dan yang lainnya sudah terduduk di dekat Sean dan Cia. Tangisan mereka pecah begitu saja, penyesalan meruak dalam hati mereka, hati seluruh lelaki itu diselimuti oleh ketakutan.
Sean menggenggam tangan mungil itu erat yang berada di pipinya sesekali ia mengecupnya seolah memberi kekuatan untuk adiknya. Cia tersenyum perih melihatnya, tubuhnya seperti mati rasa karena saking sakitnya.
Perlahan Cia membuka suaranya, "Adek ... sa ... yang ... Ab ... ang ... ja ... ja... jangan ... marah ...." Ia mengelus pelan pipi Abang pertamanya tersenyum begitu lirih, "Ma ... ma ... af ... ka ... kalau ... Cia ... na... kal ...."
Sean menggeleng keras, "Gak kamu enggak salah! Abang yang salah, maafin abang sayang. Cia adik yang paling abang sayang. Kamu kuat yah Abang mohon sayang,"
"Gak! Kamu harus kuat sayang, adek abang harus kuat, ambulans lagi kesini kita ke rumah sakit yah. Tunggu jangan tutup mata kamu, kamu harus kuat." Sean tidak tahu lagi harus bagaimana ia marah pada dirinya yang bodoh ini. Ia benar-benar menyesal telah begitu jahat pada adiknya.
Cia menggeleng pelan napasnya tersengal-sengal. "Ci ... Cia ... gaakk ... ku ... at... Ab... ang," Setelah mengucapkan kata itu kesadaran Cia hilang matanya tertutup rapat.
Derap langkah kaki mengalihkan atensi Sean dan adik-adiknya. Dilihat seluruh keluarganya berlari dengan raut penuh kekhawatiran. Sean, Daniel, Arka dan Kenzo berdiri dengan kepala tertunduk.
Arletta berjalan menghampiri putra sulungnya, mencengkeram lengan kemeja Sean erat. "Kenapa bisa begini bang? Cia ... Cia ... kenapa? Hiks ... Apa yang terjadi hiks," tanyanya diiringi isak tangis.
"Ini salah Sean, maaf Mah," ungkap Sean pilu. Ketiga adiknya menatap abang mereka sendu, ini semua salah mereka bukan hanya abangnya.
"Ini salah kita semua bukan cuma bang Sean," sahut semua adiknya bersamaan. Alex mengernyitkan dahinya bingung lantas ia berjalan mendekati seluruh putranya.
"Jelaskan," pintanya tegas. Sean mendongak dan ia mulai menceritakan semuanya. Di mana mereka yang baru pulang disuguhkan Cia yang mendorong Lola, lalu memarahi adiknya dan menghukum diderasnya hujan dengan berakhir Cia yang tertabrak karena dirinya usir.
Satu pukulan Sean dapat dari adik sepupunya. Steve tidak peduli jika yang ia pukul Abangnya dan dia juga tak peduli harus melanggar tata krama dalam keluarganya. Yang jelas Steve marah pada Sean yang mudah percaya pada gadis licik bernama Lola. Steve dan adik-adiknya memang tidak pernah menyukai Lola di awal mereka bertemu, entah mengapa insting mereka menyatakan bahwa Lola adalah gadis yang penuh kelicikan. Namun mereka harus menelan ke tidak sukaannya demi melihat Patricia bahagia.
"Ini yang Steve takutin dari awal, kalian bakal ke makan tipu muslihat gadis licik itu," desis Steve.
"Tapi Lola gak licik Bang," bantah Kenzo. Alfan yang mendengarnya naik pitam dia berjalan menuju Kenzo mencengkeram leher adiknya sampai tubuh lelaki itu menghantam dinding rumah sakit.
Mereka yang melihatnya membulatkan mata terkejut, berusaha untuk melepaskan cengkeraman Alfan dari leher Kenzo. Namun, bukan dilepaskan Alfan semakin kuat mencekiknya. Daniel mendorong tubuh Alfan, saat melihat Kenzo benar-benar sulit untuk bernapas.
"APA? ABANG GAK SUKA ALFAN CEKIK BOCAH SIALAN INI!" murka Alfan. Alex dan Robert tidak berusaha untuk menengahi anak-anak mereka. Karena setelahnya anak-anaknya ini akan mendapatkan hukuman yang jelas sudah melanggar peraturan keluarga mereka. Lain dengan Arletta dan Rossa yang terus menangis dengan pikiran kacau.
Alfan mendecih sinis, "Terus abang gak mikir? CIA BISA MATI BANG! DAN ITU KARENA KALIAN!" marah Alfan di akhir ucapannya.