Chereads / Ketika Dia Pergi Sebentar / Chapter 23 - Trauma?

Chapter 23 - Trauma?

Setelah selesai bekerja, Pra bergegas pulang ke rumah karena motor akan di pakai oleh Pak Sul untuk bekerja. Jika masuk malam seperti ini, Pra di ijinkan membawa motor sendiri.

Pra berganti baju, dan bersiap untuk tidur karena sewaktu di laboratorium Pra tidak sempat tidur sedikit pun. Waktunya banyak ia habiskan dengan memainkan game.

Tapii, sebelum tidur Pra justru teringat kembali oleh...

Aksa berjalan cepat menuju rooftop rumah sakit, langkahnya begitu lebar dengan emosi yang jelas tampak dari wajahnya.

Ia membuka pintu dengan kasar, berjalan menuju pembatas pagar tangannya mencengkeram kuat besi itu seakan meluapkan emosi dalam tubuhnya.

"AAAARRGG! BANGSAT! LO BEGO AKSA! LO BODOH!" teriak Aksa. Penjelasan dari Papahnya benar-benar menampar Aksa, dirinya hilang arah seakan hidupnya tidak punya tujuan. Pikiran buruk yang berusaha ia enyahkan malah benar-benar terjadi.

Kejadian dua tahun lalu, menyebabkan adik kalian mengalami rasa ketakutan dan kecemasan yang tinggi. Terakhir kali sebelum Cia mengalami koma, kalian yang dia lihat dan saat itu bersamaan juga dengan Cia yang berusaha membela dan melindungi dirinya sendiri dari bahaya.

Perkataan papahnya masih terus terngiang-ngiang dalam ingatannya. Tidak bisa menghilang dan itu benar-benar menyiksa Aksa.

Aksa marah pada Tuhan, apakah tidak cukup dua tahun sebagai hukuman atas perbuatan yang ia lakukan? Lalu kenapa? Kenapa setelah waktu yang ia tunggu-tunggu Tuhan seakan menambah lagi hukuman pada dirinya.

Dia memang bodoh dulu tapi kini Aksa ingin berubah. Ia tidak akan melakukan hal yang membuat dirinya tersiksa lagi. Aksa ingin membuka lembaran baru dalam hidupnya, tapi sepertinya Tuhan masih mencari waktu yang pas. Tuhan masih ingin menghukum dirinya.

"BANGSAT!" Aksa menonjok kuat lantai rooftop itu berkali-kali mengabaikan darah yang keluar semakin banyak. Mungkin jari-jarinya akan patah jika seseorang dari arah belakang tidak menghentikan aksi gila Aksa. Dia menarik kerah belakang Aksa untuk bangun berdiri.

"Lo pikir dengan lo kaya gini, adek bakal berubah? Traumanya bakal ilang?" tanya Alfan tajam.

Aksa menghempas kasar tangan Alfan dari kerahnya, menunjuk tepat wajah Abangnya. "Lo bilang kaya gitu, karena lo gak tau rasanya jadi gue. Lo gak tau rasanya menjadi orang yang paling ditakutin adek sendiri . LO GAK PERNAH TAU BANG!" murka Aksa.

"IYA GUE GAK TAU DAN GUE GAK PERNAH TAU!" Alfan menarik kembali kerah baju Aksa, "Karena gue gak pernah ngelakuin hal bodoh kaya apa yang lo lakuin ke adek dulu." Tangannya menghempas kasar baju Aksa, membuat tubuh pria itu mundur beberapa langkah kebelakang.

Perkataan Alfan berhasil membuat Aksa membeku di tempat. Benar ini salah dirinya, adiknya takut juga karena dirinya sendiri. Ia yang membuat semua ini terjadi, membuat adiknya perlahan menjauh yang benar-benar menyiksa hidupnya.

"Seharusnya lo mikir gimana caranya buat adek gak takut lagi sama lo. Bukan malah nyiksa diri lo dengan alasan lo kecewa sama diri sendiri," murka Alfan pada Aksa yang masih diam membeku.

"Kecewa boleh tapi inget nyiksa diri sendiri adalah hal paling hina dalam keluarga kita," lanjut Alfan kali ini melembutkan suaranya. Dia berjalan mendekati Aksa memeluk tubuh rapuh itu. Alfan tahu apa yang dirasakan kini pada Aksa, ditakuti oleh adik sendiri adalah hal yang paling menyakitkan dalam hidup mereka terlebih seseorang itu sumber cahaya hidup mereka.

Tangis Aksa pecah detik itu juga, jika adik bungsunya mengalami ketakutan dirinya pun sama. Hal paling Aksa takuti dalam hidupnya adalah dijauhi oleh adiknya sendiri dan kini hal itu benar-benar terjadi pada hidup Aksa Delvin Maxiem.

Alfan melepas pelukan mereka menepuk pelan pundak Aksa, "Lo harus kuat dan berusaha buat adek mau deket sama lo lagi," dia tersenyum menatap Aksa yang benar-benar jauh dari biasanya, si sangar yang kini rapuh.

Aksa menghembuskan napasnya pelan, "Maaf bang tadi Aksa emosi, jadi ngomong kasar," ucapnya sambil menunduk.

Alfan tertawa kencang, ajaran keluarganya memang harus diacungi jempol. "Santai aja, Abang juga tau tadi kamu lagi emosi, lain kali jangan lantai jadi pelampiasan kelamaan. Langsung aja durian biar cepet sadar," balasannya terkekeh. Aksa mendengus kasar, sialan memang.

***

Kenzo melirik mereka sebentar sebelum meneguk wine nya lagi, "Tinggal pergi aja lo sono ribet amat," balasnya santai. Membuat teman-temannya mendecak sebal. Gila saja meninggalkan teman yang sedang mabuk, itu temen apa setan yang datang cuma butuhnya doang.

"Lagian lo mah, kita temenan udah lama bro masih aja rahasia-rahasiaan masalah. Inget apa kata cewek 'Cowok tuh gak pernah peka,' nah lo kan tau kita cowok. Mau sampe dinosaurus dateng lagi juga, kita gak akan tau masalah lo-kalo lo nya aja nutup-nutupin" terang Nathan.

"Bener tuh kata sesepuh, nggak lo Malvin Melvin kayak bocah tau gak. Saudara kok musuhan, sekalin aja bacokan." Nathan menatap tajam Galih, teman yang satu ini tidak pernah bisa diajak serius, kalau bener bacokan gimana coba mereka juga yang repot.

"Kita ini temen lo, Zo. Susah bareng kita sama-sama, gue cape persahabatan kita jadi ancur gini. Setidaknya kalo gak mau cerita, lo jangan musuhan sama tu kembar. Kadang kita betiga bingung ngadepin sipat bocah kalian," tutur Bastian mengabaikan dua temannya yang tengah berdebat. Sudah menjadi makanan sehari-hari bagi dia.

Kenzo diam kepalanya menunduk memikirkan ucapan teman-temannya. Benar seharusnya ia tidak boleh seperti ini menutupi masalah hidupnya, padahal persahabatan mereka sudah lama. Dia bangun dari duduknya, menatap teman-temannya lama.

"Cabuttt!"

"Hah? Ke mana?" tanya Galih bingung, namun tak urung mereka pun bangun dari sofa.

Setelah satu jam mereka menempuh perjalanan, kini mereka sampai. Mata mereka langsung disuguhkan pemandangan yang benar-benar... sulit untuk dideskripsikan. Rumah pohon dengan hiasan lampu kelap-kelip di setiap sudutnya. Di depannya ada danau yang benar-benar asri, walau malam pencahayaan di sini tetap ada, sepertinya Kenzo membuat ini dengan perfect.

"Estetik bangettt"

Nathan mendecak sebal, "Estetik estetik belajar dulu sono lo, sekali-kali ngomong tuh kudu ke barat-baratan dikit Lih kaya gini nih aesthetics," ujarnya sombong.

"Halah kampret! Sama aja gitu gegayan barat loh," kesal Galih sambil berjalan menaiki rumah pohon itu dengan diikuti yang lainnya.

"Lo punya tempat kek begini kok baru bilang sih Zo," cetus Nathan dan menduduki tubuhnya di karpet berbulu yang benar-benar halus. "Sultan mah beda oy" batin Nathan.

"Gue mau cerita," Mereka terdiam saat Kenzo bersuara. Masing-masing sudah memosisikan dirinya agar nyaman saat mendengar cerita Kenzo. Namun baru Kenzo akan buka suara tiba-tiba suara lain datang, mereka menengok pada Galih yang kini menyengir dengan tanda peace di jarinya.