Pra tersadar dari lamunannya karena melihat jam sudah menunjukkan pukul 6, Pra sadar karena ada suara adzan berkumandang.
"Sudah jam segini tapi si Devi belum ngabarin juga?" batin Pra.
Eh baru saja Pra ngomongin Devi, tiba-tiba ponsel Pra bergetar menandakan ada sebuah pesan.
Devi : Maaf yaa, kayaknya aku nggak bisa ke sana, ini tiba-tiba ada saudara jauh datang ke rumah.
Pra : Iya gpp, masih ada hari lain.
Setelah membalas, Pra menghembuskan napasnya dalam. Seperti kehilangan semangat, tapi mau bagaimana lagi? Akhirnya Pra memilih untuk melanjutkan lamunannya tadi..
"Dokter Daniel!" Pria yang kini tengah duduk diam di kursi taman mendongakkan palanya saat merasa namanya dipanggil.
"Maaf mengganggu, pasien kamar nomor tiga menanyakan Anda dia tidak ingin makan sebelum bertemu dokter kesayangannya" Daniel terkekeh mendengar ucapan perawat di hadapannya ini, namun tak urung dia pun bangkit dan berjalan diikuti perawat di sampingnya.
Daniel melirik gadis di sampingnya ini. "Seharusnya kamu juga buat dia pandang kamu sebagai perawat kesayangannya. Karena jika nanti saya sedang bertugas di luar kamu tidak akan pusing dengan rengekan pasien itu." Laura perawat cantik yang tengah berjalan dengan dokter pujaan rumah sakit ini pun mendongak. Ia mengulum senyumnya dan mengangguk kecil.
Tepat di kamar rawat itu Daniel bisa mendengar tangisan gadis kecil yang terus menolak makan, ia membuka pintu itu dan matanya langsung melihat wanita dan pria paruh baya yang sedang berusaha untuk membujuk agar anaknya mau makan.
"DOKTEL DANIEL!" seru gadis kecil yang tengah duduk di brankar rumah sakit saat mendengar suara dokter kesayangannya.
"Ara kenapa gak mau makan?" tanya Daniel lembut mengelus lembut surai gadis kecil di hadapannya ini.
"Ala gak suka doktel, makanannya gak enak. Ala mau pulang aja, bolehkan Ala pulang sekalang?" Daniel tersenyum lembut gadis kecil ini benar-benar bisa membuat dirinya tambah merindukan seseorang yang selalu ia tunggu untuk segera sadar.
"Ara mau gak dengerin kata dokter? tanya Daniel lembut. Membuat gadis di depannya ini mengangguk lucu.
"Kalau Ara mau pulang kamu harus banyak makan, istirahat dan gak lupa untuk minum obatnya. Ara gak kasihan sama Mamah dan Papah Ara yang udah rawat Ara? Pasti mereka cape dan pengen istirahat, tapi mereka gak bisa. Ara tau kenapa?" Gadis itu menggeleng lemah.
"Karena Mamah dan Papah Ara gak bisa dan gak akan tenang saat melihat putri kesayangannya masih belum pulih. Mereka gak bisa istirahat saat mereka saja tau kalau putrinya belum makan. Lihat deh wajah mereka pasti cape tapi gak mau nunjukin di depan putri kesayangannya ini," tutur Daniel. Ia tersenyum saat melihat kedua mata gadis itu berkaca-kaca. "Jangan nangis nanti mukanya gak cantik lagi loh," kekeh Daniel.
"Hiks ... Mamah Papah hiks ... maaf Ara minta maaf," ucap gadis itu di tengah isaknya. Perlahan senyum Daniel luntur, gadis kecil ini benar-benar mengingatkan kejadian beberapa tahun lalu. Tangisan dan kata maaf yang diucapkan gadis itu sama persis seperti seseorang yang ia rindukan.
Setelah insiden kamar rawat tadi Daniel melangkahkan kakinya memasuki kamar seseorang yang Daniel tunggu perkembangannya. Perlahan ia mengelus lembut rambut gadis yang masih betah memejamkan matanya. Sebelah tangannya menggenggam jemari gadis itu yang terbebas infus sesekali mengecupnya. Setetes air mata jatuh dari sudut matanya, saat melihat tubuh adik kesayangannya masih terbaling lemah dengan alat medis penunjang kehidupannya.
Daniel Alfino Maxiem adalah bandingan terbalik dari Sean dan Aksa jika mereka menutupi luka dengan raut datar mereka, maka Daniel ini berbeda. Senyuman dan sikap ramahnya adalah topeng dibalik bahwa dirinya adalah lelaki yang memendam luka yang sampai kini ia pun tak yakin luka di hatinya bisa menghilang.
Kesalahan yang ia perbuat beberapa tahun lalu adalah kesalahan yang sampai kapan pun tak bisa ia maafkan sendiri.
"Maafin Abang sayang. Cepat bangun Abang rindu kamu, semua rindu kamu. Kenapa betah banget hmm tidurnya?" tanya Daniel yang dirinya yakin tak 'kan ada jawaban dari pertanyaan nya ini.
"Jangan balas Abang seperti ini, Abang gak kuat sayang bener-bener gak kuat." Tangis Daniel pecah detik itu juga. Mungkin jika seseorang melihatnya tidak akan percaya, karena yang mereka tahu adalah Daniel yang selalu tersenyum dan bertingkah dengan ramah. Tak pernah menunjukkan bahwa dirinya adalah lelaki lemah.
"Kamu harus lihat sekarang sayang, Abang udah jadi dokter. Sesuai yang kamu mau kan? Dokter tampan dan muda," Daniel terkekeh di tengah isaknya. Ia ingat betul saat pertama kali dirinya menjadi mahasiswa kedokteran saat itu adik kesayangannya ini sangat antusias agar dirinya segera menjadi dokter sungguhan. Sepintas ucapan adiknya itu terngiang.
"Kamu mimpinya indah banget yah? Sampe gak mau bangun gitu. Cepet bangun yah sayang, Abang tunggu kamu. Abang pergi dulu yah nanti Abang kesini lagi, bye baby." Ia mengecup pelan kening adiknya dan berbalik pergi meninggalkan kamar rawat itu.
Sebuah mobil sport terparkir rapi di depan club paling eksklusif di Jakarta. Lelaki dengan setelan rapih itu melangkah masuk dengan tatapan tajam dan dingin, auranya benar-benar menjadi pusat perhatian setiap orang. Matanya menelusuri sekeliling club dengan lampu kelap-kelip dan minim cahaya, tapi tetap matanya tidak bisa diragukan lagi. Di sudut ruangan ia melihat seseorang yang dicarinya sedari tadi, kakinya bergerak cepat ke sana.
"Pulang!" ucapnya dingin menatap seorang remaja pria yang tak lain adiknya. Merasa ada suara, lawan bicaranya itu mendongak menatap lelaki di depannya dan terkekeh.
"Gak!" balasnya santai dengan meminum wine yang berada di tangannya.
"Abang gak mau buat kasar Kenzo, pulang dengan cara baik atau kamu Abang seret," Suaranya menggeram tanda ia menahan amarah yang siap kapan pun meledak.
"Bang Aksa Bang Aksa mending Abang duduk pusing lama-lama Kenzo liat Abang marah-marah mulu," lagi dan lagi Kenzo berucap santai tangannya bergerak meminum minuman haram itu lagi. Namun belum sempat bibir itu menyentuh, satu bogeman ia dapatkan dari Abangnya.
Suara pukulan keras dari Aksa menjadi pusat perhatian semua orang di club ini. Aksa yang tak tahan menarik tangan Kenzo kasar membawa adiknya itu pulang. Aksa yakin pukulan tadi hannyalah awalan karena setelah ini Kenzo akan mendapatkannya lagi dari orang berbeda.
Di dalam mobil Aksa pusing sendiri adiknya ini sudah mabuk dan sekarang meracau tidak jelas, Aksa itu paling malas jika bersama orang mabuk karena sangat merepotkan. Melihat kondisi adik laki-lakinya ini dirinya yakin besok wajah Kenzo akan banyak lebam di setiap sudutnya.
Tiga puluh menit waktu yang dibutuhkan Aksa untuk sampai ke mansion keluarganya. Ia mendengus kesal saat harus menggotong adiknya ke dalam, memang di sekelilingnya banyak bodyguard milik papahnya tapi sial karena lalai menjaga Kenzo untuk tidak mabuk lagi dirinya harus berusaha sendiri membawa Kenzo pulang tanpa bantuan.