Chereads / Ramalan Takdir / Chapter 15 - Dokter Licik

Chapter 15 - Dokter Licik

Hari ini cerah seperti biasanya. Terdengar suara bising keributan diluar, kurasa pasarnya sudah mulai dibuka.

"Riana, bisakah kau pergi kepasar? Ada bahan bahan yang harus kau belikan" seorang ibu rumah tangga berbicara padaku yang sedang duduk sambil membaca kisah dalam buku. Akhirnya aku punya alasan untuk pergi dan meninggalkan buku ini, cepat cepat aku menyetujui permintaannya dan mulai melangkahkan kaki untuk memenuhi keinginannya.

Pasar yang dimaksudnya ternyata tak jauh dari rumahnya. Tapi tetap saja, aku baru beberapa hari disini, aku tak terlalu mengenal daerah ini. Seperti biasanya, sekarang aku berada dalam dunia novel. Bukan, lebih tepatnya dunia paralel. Kalau dipikir pikir lebih masuk akal dunia paralel dibandingkan novel. Bahkan sekarang banyak orang diduniaku yang percaya akan kehadirannya. Percaya bahwa itu bukan hanya fantasi belaka.

Kakiku melangkah riang, akhirnya aku sampai di pasar yang dituju. Dengan cepat aku mencari barang barang yang dipesan, lalu hendak kembali kerumah. Sekarang matahari agak terik, sangat tak nyaman untuk berjalan jalan diluar dalam waktu lama. Karena itulah aku memutuskan kembali, lagipula dia pasti menunggu datangnya barang barang yang kupesan hari ini.

Tapi ditengah riangnya hati ini, pasti ada saja hal buruk yang terjadi. Wanita itu tadi menyuruhku membelikan dirinya beberapa sayuran dan buah dalam jumlah yang sangat besar. Bahkan karena terlalu banyak sampai sampai pandangan mataku tertutupi dan membuatku tak melihat jalan. Karena itulah sekarang terjadi fenomena itu..

"Aduh..." kataku sakit sambil menjatuhkan buah serta sayur karena kaget. Seseorang berlari dengan kecepatan tinggi dan menabrakku.

Tapi bukannya meminta maaf dan membantu memunguti sayur dan buah yang berjatuhan, dia malah hendak terus berlari dan tak peduli apa yang baru saja terjadi, dia ingin kabur dari masalah.

Tapi bukan orang modern yang akan diam saja melihat dirinya kabur tanpa mengucapkan sepatah kata. Dengan cepat, bukannya memunguti sayur dan buah, aku malah mengengkram jubah yang menutupi seluruh tubuhnya dan menariknya. Seketika tudung yang menutupi wajahnya lepas dan memperlihatkan sosok wanita muda dengan rambut panjang berwarna pirang dan bola mata biru.

Saat aku pertama kali melihatnya, aku merasa ada yang aneh. Serasa tubuhku tersedot kedalam matanya. Melebur dan tak bersisa dihadapan mata yang cantik itu.

"Hei, apa yang baru saja kau lakukan?! Sangat berbahaya berlari seperti itu ditengah pasar yang sedang ramai ini!" kataku setelah tersadar dari pesona mata yang memikat itu. Wajahnya nampak terkejut begitu mendengar peringatan dariku.

"Ah, maafkan aku, Nona. Aku tak melihatmu dan malah menabrakmu. Tapi sekarang aku harus bergegas, bisakah Nona lepaskan bajuku" ucapnya cepat tanpa sedikitpun merasa bersalah. Ditambah dirinya juga meminta hal lain, itu membuat moodku yang sudah terjatuh kembali terjatuh.

"Kalau kau merasa bersalah, setidaknya kau harus meminta maaf dengan benar! Selain itu, berilah kompensasi yang sesuai dengan barang yang kau rusak!" aku marah padanya, dia pasti merusak beberapa sayur dan buah yang sudah kubeli.

Aku tak mau membelinya dan mengangkat barang barang berat itu lagi.

"Meminta maaf dengan benar? Bukankah aku sudah meminta maaf?" dengan segala kesombongan yang entah kenapa keluar dari tubuhnya, dia berkata dengan lantang. Tapi bahkan aku belum sempat marah pada dirinya karena kata kata yang ia keluarkan selanjutnya. "Dan kompensasi? Kenapa aku harus membayar hal itu?"

"Kau?!!!" sudahlah, amarahku sedang berada dipuncak tertingginya. Percuma saya mengelak, kali ini aku akan benar benar memarahimu.

"Begini saja, akan kuberi tahu satu fakta mengejutkan tentang dirimu, sepertinya kau belum mengetahuinya" bisiknya ditelingaku.

Aku menelan ludah mendengar intonasi suaranya yang langsung berubah menjadi dingin nan serius.

"Nona, sepertinya kau dikutuk yah.."

Tanganku yang hendak memukul dirinya kini berhenti diudara. Napas yang kuambil terasa berat. Udara panas yang tadi kurasakan entah kenapa mendingin seperti freezer dan membekukanku. Apa yang tadi dia bicarakan? Dikutuk? Maksudnya aku dikutuk?

Melihat ada kesempatan karena tanganku yang mengendor, dirinya langsung mundur beberapa langkah kebelakang untuk menjaga jarak aman. Tapi sepertinya ia berubah pikiran karena yang ia lakukan selanjutnya adalah kabur.

"Sudahlah Nona, sepertinya kau tak bisa dajak bicara lagi. Aku sedang sibuk jadi aku tak punya waktu untuk membantumu, kuharap kau dapat memaklumi keadaanku. Jika ada waktu berjumpa lagi, kita pasti bisa menjadi teman dekat. Tapi kuharap waktu itu tak ada lagi" sambil mengatakan hal itu, dia melambaikan tangannya dan berlari menjauh. "Hei, tunggu!!" aku mencoba menghentikannya dan mengulurkan tangaku untuk menggapainya. Tapi sepertinya percuma, karena gadis berambut pirang yang terlihat sepantaran denganku itu sudah berlari jauh dan tertelan diantara orang orang yang lewat silih berganti.

Aku hanya bisa berdiri bengong disana, sebelum akhirnya tersadar akan sayuran dan buah buahan yang masih berserakan ditanah.

"Dikutuk? Apa maksudnya yah? Lupakan, paling dia hanya pembuat onar yang ini aku ketakutan sendiri" sambil memunguti barang barangku yang jatuh, aku melakukan penyangkalan pada diriku sendiri. Tapi tetap saja, semua hal tak berjalan dengan apa yang kuyakini.

****

"Dikutuk? Apa yang sedang kau bicarakan? Mana ada hal hal seperti itu didunia ini" wanita didepanku tertawa keras setelah mendengar cerita yang terjadi dipasang. Dia memaafkanku karena membuat beberapa sayur serta buahnya menjadi kotor dan lecet disana sini. Tapi sebagai gantinya, aku harus menceritakan apa yang sebenarnya terjadi dipasar.

Sebenarnya dia mungkin mengkhawatirkanku karena aku pulang dengan baju penuh debu dan sayuran kotor oleh tanah. Aku hanya bisa menggangguk demi mendapatkan maaf darinya. Saat aku mengatakan kalau aku terjatuh karena ditabrak seseorang, dirinya langsung marah dan bertanya padaku siapa orang itu, dia akan memukulnya menggantikanku. Tapi apalah daya, dia hanya orang asing yang kutemui dipasar, kemungkinan kami saling bertemu itu jarang. Aku bahkan tak tahu namanya, mustahil bertemu lagi dengannya.

"Aku tahu sebelumnya kalau kau orang yang kreatif, tapi aku tak tahu kalau daya imajinasimu sangat liar seperti ini" bukannya percaya dan memberi tahu identitasnya, wanita dihadapanku hanya bisa merendahkanku karena berpikir itu hanyalah cerita yang kukarang karang semata.

"Jadi, pada akhirnya apa yang kau tahu tentang wanita itu? Apa kau tahu identitasnya?" kataku kesal. Dia hanya bisa tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Sudah kuduga, percuma saja cerita padanya.

"Memang benar kalau gadis berambut pirang dan bermata biru itu jarang dikota ini, jadi karena itulah mungkin saja dia pengunjung yang sedang singgah sebentar. Jika kau beruntung maka kau akan menemukannya, tapi bisa saja dia sudah pergi kekota lainnya" sambil menyeruput teh panas, dia mengatakan apa yang menjadi pikirannya. "Jadi apa gunanya aku bercerita padamu? Kau sama sekali tak memberikan solusi"

Dia hanya tersenyum senang mendengar perkataanku. "Kenapa kau tak mencarinya saja?"

"Karena itu aku bertanya padamu karena aku sedang mencarinya. Tidak bisakah kau mengerti hal sesederhana itu?" sungguh membuatku kesal.

"Tanyakan saja pada orang orang dipasar. Kurasa karena rambut dan matanya yng mencolok maka dia akan diperhatikan banyak orang" setelah memberi solusi itu, dia berdiri dan berjalan keambang pintu seolah olah memberi tahukan padaku untuk memulai infestogasi asing ini. Aku hanya bisa menghela napas lelah melihat kelakuaannya.

****

"Apa kau pernah melihat gadis berambut pirang dan bermata biru yang menabrakku beberapa jam yang lalu?" tanyaku pada seorang pedagang yang berlokasi tepat disamping kejadian. Dia seharusnya bisa melihat apa yang terjadi.

"Tidak, Nona. Aku tak terlalu memperhatikan sekitar" pedagang itu menjawab dengan muka bersalah, seolah ini adalah kesalahannya karena tak memperhatikan sekitar jadi aku tak bisa menemukan pelakunya. Entah kenapa aku juga merasa bersalah.

"Hei, apa kau melihat pelaku yang menabrak gadis itu?" disisi lain, wanita itu bertanya pada yang lainnya.

"Tidak. Aku tak melihat ada tabrakan malah" pedangang yang dihadapinya malah menjawab asal. Aku segera menarik tubuhnya karena sepertinya ia ingin sekali memarahinya. Ini bukan waktunya bertengkar. Tapi sepertinya reaksi itu lebih baik dibandingkan apa yang sekarang sedang kami berdua hadapi. 

"Pak, apakah kau tahu perempuan yang menabrakku..." kataku pada pedagang yang sedang duduk berleha leha karena tak ada pekerjaan.

"Mana aku tahu, pergi sana! Aku sedang sibuk!" katanya sambil mennganti posisi tidurnya. Dia menjawabnya tanpa serius sama sekali. Melihat hal itu, wanita yang berdiri disampingku menggenggam tangannya kuat kuat karena marah.

Cuaca hari ini sangat terik, kami juga sedang dalam mood yang tak baik karena kelelahan. Wajar saja kalau wanita itu langsung marah saat mendengar perkataannya.

"Tunggu sebentar, jangan membuat masalah yang tak perlu dan merepotkan. Sebaiknya kita langsing pergi dari sini" aku menggenggam tangannya yang terkepal. Dia hanya mendecakkan lidahnya kesal dan segera pergi sebelum amarahnya meledak disini.

Akhirnya kami memutuskan untuk beristirahat sebentar. Duduk dibawah pohon rindang didepan sebuah rumah itu memang benar menyenangkan. Ditambah angin semirir yang berhembus membuatku seolah kehilangan seluruh lelah.

"Hah... Tak kusangka mencari seseorang yang mencolok sesulit ini" dia mengeluh sambil menyenderkan kepalanya kebahuku. Aku mulai menganggap sikapnya yang seperti anak kecil ini sebagai tanda betapa kesepian dirinya. Sebelum aku datang, dia tinggal sendiri, dia pasti sangat kesepian diumurnya yang seharusnya susah punya suami ataupun anak.

"Ini rumah siapa? Seprrtinya sangat ramai hari ini" kataku sambil memandang rumah yang berdiri tak jauh dari tempatku beristirahat. Kulihat banyak orang keluar masuk dengan langkah tergesa gesa.

"Rumah sakit. Sepertinya hari ini sangat ramai, dia pasti sedang sangat sibuk" keluhnya kesepian. Setela sekali mendengar keluhannya, aku tahu pasti kalau orang yang dimaksud dia pasti sangat dekat dengan wanita ini.

"Dia?"

"Dokter rumah sakit ini, satu satunya dokter didaerah sini" "Oh" aku hanya mengohriakan jawabannya.

Dokter yang sangat sibuk yah...

Perempuan itu juga nampaknya sangat sibuk. Dia mungkin baik, tapi karena kesibukannya jadi ia tak bisa mengambilkan barang barang yang dijatuhkan olehnya.

Aku memperhatikan sekeliling, rumah itu benar benar mewah nan sangat sibuk, aku penasaran seperti apa orang yang tadi dipanggil dia. Tapi setelah itu, aku tak sengaja melihat jubah yang berkibaran diterpa angin sejuk. Sosok yang memakai jubah itu sedang berjalan cepat kearah pintu rumah sakit. Rambutnya yang pirang terbang tetbang tertiup angin. Begitu juga mata birunya, mata birunya dengan cepat meninjau sekeliling dan memperhatikan keadaan.

Tunggu, mata biru dan rambut pirang? Bukankah dia yang sedang kami cari? Dengan cepat aku berdiri dan berlari kearahnya. Wanita yang tadi menyenderkan kepalanya kepundakku tetkejut karena tindakan tiba tiba dariku. "Hei, kau mau kemana?"

Tak butuh waktu lama, aku sudah kembali mencengkram jubahnya. Dia yang tadinya sedang berjalan terburu buru hampir saja jatuh karena aku menariknya.

"Hei, jangan tarik jubahku tiba tiba! Aku bisa terjatuh nanti!! Tidak lihatkan diriku yang sedang sibuk?!" katanya sambil membalikkan wajahnya untuk melihat siapa yang berani beraninya menarik paksa jubahnya. Wajahnya langsung diam membeku begitu dia tahu kalau aku yang menariknya.

"Kau! Akhirnya kutemukan dirimu!!" kataku dengan nada marah. Mengingat apa yang terjadi pada siang hari ini, wajar bagi diriku untuk marah.

"Riana, tunggu aku!! Kenapa larimu bisa begitu cepat? Aku sampai kesusahan mencarimu" wanita itu menekuk lututnya lelah. Dia sepertinya kesusahan lari mengejarku. Napasnya juga langsung memburu. "Oh, Dokter. Lama tak bertemu," sapanya kemudian saat melihat gadis dihadapanku.

Hah? Jadi dia dokter? Jadi dialah orang yang dipanggil dia oleh wanita yang sedang jongkok disampingku?

"Hei, aku bertanya padamu, apa warna rambutnya?" tanyaku pada wanita yang sedang jongkok untuk memastikan. "Pirang" jawabnya bingung.

"Lalu apa warna matanya?" "Biru" aku menelan ludah kesal saat mendengar jawabannya.

"Bukankah berarti dia orang yang sedang kita cari?" aku menekankan satiap suku kata pada ucapanku, pertanda betapa marahnya aku. Tanganku pegal, terlebih lagi kakiku, itu semua karena kami tak menemukan wanita berambut pirang dan berwarna mata biru. Tapi bukan reaksi yang kuharapkan muncul diwajahnya.

"Ha.. Ha.. Ha.. Apa yang kau bicarakan. Dokter kami bukanlah penganut hal hal mistis seperti kutukan" dia berbicara sambil tertawa terpingkal pingkal. Sepertinya dia sama sekali menganggap ceritaku hanya fiksi belaka. "Apa yang kukatakan, paling itu khayalanmu saja"

"Apa maksudmu, itu benar benar nyata. Tadi aku bertemu dengannya dipasar, dia mengatakan kalau aku dikutuk" aku marah mendengar kalimatnya. Apakah sebegitu susahnya memercayai cerita gadis muda ini?

"Dikutuk? Kapan aku pernah berbicara seperti itu denganmu? Apakah kami sebelumnya bertemu dipasar? Tapi sepertinya aku tak ingat pernah bertemu denganmu. Lalu siapa anda, mengapa anda berbicara sangat tidak sopan tentangku?" tiba tiba gadis muda itu menyela perkataan kami. Dia mengatakan hal itu dengan raut muka bingung, tak mengerti apa yang sedang terjadi. Bahkan saat melihat wajah polosnya, semua orang akan percaya kalau dia bukan pelakunya.

"Tunggu, tidakkah kau ingat apa yang tadi siang kau lakukan?!.. " kataku marah karena serasa terpojokkan. Gadis ini licik, itulah kesan pertama yang kudapatkan tentangnya.

"Sudahlah, itu hanya pemikiranmu semata. Kurasa cuaca panas membuatmu berhalusinasi," dia bahkan lebih mempercayai perempuan berambut pirang dibandingkan diriku.

"Maafkan kami karena mengganggu hari sibuk anda, Dokter. Tolong maklumi dia, dia gadis remaja yang suka berkhayal. Aku akan menenangkannya sekejap. Kalau begitu kami pamit dulu" sebesar itulah kepercayaannya pada gadis licik yang suka berbohong. Dia tersenyum ramah pada kata kata itu, tapi menurut pengelihatanku dia hanya tersenyum menertawakanku.