Chereads / Ramalan Takdir / Chapter 13 - Permintaan Pertama dan Terakhir Ayah

Chapter 13 - Permintaan Pertama dan Terakhir Ayah

Sekarang sudah jam sebelas malam. Hampir dua jam aku berdiri di tengah derasnya hujan yang menerpa. Sunguh, aku tak ingin kembali kerumah. Sekarang aku sedang tak ingin bertemu keluargaku. Bagaimanapun, mungkin perkataan Eiji menyadarkanku.

Tapi apalah daya, tadi aku menemui Eiji setelah menidurkan Mana yang terus menangis. Satu jam kemudian dia akhirnya tidur karena kelelahan. Saat itulah aku langsung menemui Eiji. Sekarang aku khawatir kalau Mana mengalami mimpi buruk dan terbangun karenanya.

Awalnya aku berniat untuk mengendap endap masuk, berjalan tanpa suara dengan tubuh yang basah karena hujan. Tapi sepertinya itu hanya sebuah anganku saja. Karena tepat setelah aku masuk kerumah, aku melihat sosoknya.

"Riana," Ayah memanggilku lirih, sungguh aku merasa gemetar karena kejadian dua jam yang lalu.

"I-Iya ayah"

"Ada yang hendak aku bicarakan denganmu" saat mendengar kalimat itu keluar dari bibirnya, entah kenapa hatiku berdebar debar. Bukan karena senang, melainkan aku merasa ada yang tak beres.

Kami akhirnya berjalan keruang tamu dan duduk disofa. Keheningan yang berat sekarang menggantung diudara. Ayah tak berkata kata, begitu juga diriku. Aku meneguk ludah pelan. Sebenarnya aku sudah mengira apa yang akan dia katakan.

"Ini tentang Mana," dia mengawali perkataannya dengan kalimat yang sudah kuduga. Sungguh tak mungkin Ayah akan datang padaku kecuali demi putri kesayangannya, Mana.

"Tolong, bisakah kau ambil Buku Masa Depannya? Aku mohon padamu..." Ayah menundukan kepalanya dihadapanku. Dia terlihat sangat lelah dan putus asa. Sebesar itulah rasa sayangnya pada Mana, hingga ia bahkan rela menundukan kepala pada anak yang tak disuka.

Apakah aku senang? Apakah melihat Ayah tunduk dihadapanku, diriku merasa senang? Apa aku bahagia melihat hal itu? Satu satunya jawaban yang tersisa dihatiku adalah tidak.

Entah kenapa aku merasa ada yang aneh, padahal tadi aku memohon setengah mati pada Mana untuk melakukannya, tapi sekarang kurasakan hatiku mulai memudar bagaikan abu yang tertiup angin malam.

"Apa maksudmu Ayah?" kataku tak mengerti. Yang tak kumengerti disini adalah perasanku sendiri, kurasakan lara yang tak dapat terobati.

"Satu satunya cara untuk menghilangkan Buku Masa Depan hanyalah dengan memindahkannya kepada orang lain. Itulah satu satunya cara agar Mana tak lagi terluka dan menderita," katanya lirih, mungkinkah dia merasa bersalah karena mengatakan hal itu? Sepertinya tidak, Ayah bukanlah orang yang akan merasa bersalah bahkan jika dia menghancurkan hati putrinya sendiri

"Lalu bagaimana denganku, Ayah? Memindahkan buku itu padaku berarti memindahkan penderitaannya padaku, apakah ayah tak apa apa dengan diriku? Apakah ayah tak merasa kasihan saat diriku terluka?" sungguh konyol. Padahal aku sudah bertekad akan melakukannya sendiri, tapi kenapa saat berhadapan dengan Ayah hatiku malah menjadi bimbang?

"Kumohon Riana... Ini permintaan pertama sekaligus terakhirku untukmu. Kumohon, ini juga demi keluarga ini" Ayah memasang raut muka sedih. Dia benar benar memohon padaku. Hatiku sangat lara sekarang, bukan karena melihatnya yang begitu menyedihkan, tapi karena aku tahu kenapa aku merasa lara.

"Keluarga? Apa maksudmu keluarga, Ayah? Apa maksudmu dirimu yang selalu dingin padaku walau tahu aku adalah putri kandungmu? Apa maksudmu wanita yang selama ini tak menganggapku sebagai putrinya walaupun dia adalah ibuku? Apakah yang kau maksud keluarga seperti itu? Kenapa aku harus menanggung penderitaan seumur hidup hanya untuk sebuah keluarga yang membuangku?" mataku panas tapi hatiku menjadi dingin. Rasanya air mata ingin mengalir keluar, tapi itu tak bisa kulakukan. Kurasakan hatiku perlahan lahan menghilang.

Aku tahu alasannya aku menjadi sedih begini. Sungguh, sebenarnya aku sudah berniat untuk melakukannya, demi Mana aku bisa melakukannya. Tapi, Ayah mengatakannya demi keluarga, keluarga yang telah menelantarku. Dia juga nampaknya tak peduli bahkan jika aku semakin menderita, dihatinya yang merupakan putri adalah Mana semata.

Mungkin karena aku mendengarkan kata kata Eiji tadi, itu membuatku meragukan apa yang kualami selama ini. Walaupun kejam, tapi yang dikatakan Eiji benar. Tapi aku menolak menerima kebenaran darinya, karena itulah aku mengusirnya, aku tak ingin menerimanya.

"Setidaknya lakukanlah hal itu demi Mana. Bukankah kau saudaranya? Kau juga nampak akrab dengannya," ingin rasanya aku tertawa mendengar kalimatnya. Oh Ayah... Lihatlah, didepanmu juga merupakan putrimu. Apakah kau tak merasakan apapun saat mengatakan hal itu? Tidakkah kau juga menganggapku sebagai putrimu? Tidakkah kau tahu, hal yang kau katakan seperti tolong matilah menggantikan Mana. Memangnya kau tak tahu betapa menderitanya orang yang mempunyai Buku Masa Depan?

"Oke, aku akan menggantikan dirinya. Tapi aku masih punya dua pertanyaan" entah kenapa hatiku ingin sekali bertanya padanya. Pada akhirnya, kubulatkan tekad dan berkata padanya.

"Silahkan tanyakan apa yang kau mau, itu bukan berarti aku mampu menjawabnya" entah kenapa hatiku langsung berbunga ketika mendengar perkataannya.

"Ayah, apa yang kau rahasiakan? Dampak yang terjadi jika aku memiliki dua buku itu, apakah hanya seperti itu saja?" kurasakan ada yang janggal dalam pembicaraan ini. Jadi aku bertanya padanya, lagi pula Eiji tadi juga tak mengatakannya. Ia menutupinya seolah olah itu bukanlah hal yang pantas dibicarakan.

"Ayah, kenapa kau tak menjawab?" hening memenuhi udara sekitar. Bahkan Ayah nampaknya terkejut mendengar pertanyaan pertamaku. Saking terkejutnya, ia bahkan sama sekali tak bisa berkata kata. Aku tersenyum melihatnya, apakah hal yang kau sembunyikan itu sangat tabu untukku hingga kau bahkan tak menjawabnya?

"A-aku tak bisa menjawabnya" hanya kata kata itu yang keluar dari bibirnya, bergerak cepat menusuk hati yang tersisa. Aku hanya bisa diam tanpa kata.

"Kenapa kau tak bisa menjawabnya?" tanyaku putus asa. Tapi tak ada jawaban yang datang kembali padanya.

Mungkin itu bukan urusanmu, kau tak perlu tahu, dan kata kata sebagainya yang terpikir oleh otakku yang berhenti karena tak mendapat responnya. Dia berkata aku boleh menanyakan sesuka hatiku, tapi itu akan percuma jika kau tak punya jawaban untuk pertanyaan itu. Lantas untuk apa kesempatanku?

"Oh, begitu yah. Lupakan saja Ayah... Sekarang pertanyaan kedua" kutarik napas kembali. Pertanyaan kedua ini yang akan membuktikan diriku, membuktikan kehidupanku, aku tak boleh gegabah saat menanyakannya, juga aku tak boleh terluka karena jawabannya. "Ayah, apakah aku juga putri ayah?" akhirnya perkataan itu akhirnya keluar juga.

Lihatlah, ayahku bahkan lebih terkejut lagi mendengar perkataan itu. Ini hanya pertanyaan sederhana yang bisa dijawab dengan nada asal saja. Tapi berbeda dengan diriku, berbeda pula dengan ayah. Mungkin masalah keluarga ini sangat sangat memberatkan pundak kami berdua.

"Jangan sakiti dirimu sendiri" akhirnya jawaban yang kucari keluar. Ayah mengatakan hal itu dengan nada dan raut muka dinginnya seolah mengarakan padaku untuk jangan bertanya pertanyaan itu lagi.

Mendengar jawaban darinya, aku ingin tertawa. Sungguh, aku ingin tertawa dan menari riang ditengah taman saat malam hujan tiba. Aku ingin menari sepuas puasnya. Menari hingga semuanya tak tersisa. Menari dan tak mempedulikan apa apa. Tapi sayang, hanya air mata yang dapat kutampilkan. Rasanya hangat, kurasakan tubuhku yang masih kedinginan mulai menjadi hangat dan mencair layaknya es batu yang dipanaskan.

Seseorang pernah mengatakan padaku, kalau aku harus belajar mengartikan pesan tersirat dalam sebuah kalimat. Tak semua orang bisa memberikan jawaban yang kejam, maka dari itu mereka menutupinya dengan pesan tersirat. Sama seperti seorang dokter yang mengatakan pada keluarga pasien yang telah ditinggal, kami telah berupaya sebaik mungkin. Dan sekarang yang kudengar dari ayah bukanlah kalimat khawatir untuk jangan menyakiti diri sendiri, yang tertangkap diotakku adalah kami bukanlah keluargamu, jadi jangan anggap kami bagian dari fantasimu itu, karena yang akan kau dapatkan pada akhirnya adalah luka yang teramat dalam.

"Oh, begitu yah...." lagi lagi hanya kalimat itu yang keluar dari mulutku, tanda kepasrahan dan ketidak pedulian. Aku hanya bisa menahan luka yang teramat dalam. Betul kata Eiji, bahkan ayah serta ibuku sama sekali tak menganggapku putrinya.

"Kalau begitu aku permisi" kataku sambil bangkit berdiri dan mulai berjalan pergi.

"Cukup letakkan bukunya dibawah bukumu, dia akan menyatu dengan sendirinya" bahkan sampai akhir, Ayah sama sekali tak mempedulikan aku, yang dia pedulikan hanyalah tentang Mana.

Aku berjalan tenang kekamar Mana. Berjalan tanpa menimbulkan satu suarapun agar tak membangunkan dirinya. Bahkan saat membuka pintu dan berjalan mengendap endap, Mana masihlah tertidur juga. Mataku memperhatikan sekitar, mencari dimana gerangan buku pembawa sial.

Buku bersampul pink itu ternyata masih tergeletak dilantai, terabaikan begitu saja. Entah kenapa melihat buku itu mengingatkanku pada diriku sendiri. Pada diri yang terabaikan dan tak diinginkan. Sungguh aku merasa simpati padanya, tapi itu tak bertahan lama.

Secepat kilat kuambil bukunya dan bergegas keluar dari kamarnya. Semakin lama aku berdiam disini maka akan semakin lara jadinya. Jadi aku memilih pergi, pergi jauh meninggalkan semuannya. Tapi tepat sebelum aku menutup pintu kamarnya yang remang, kudengar suara ratapnya lirih.

"Kak, jangan tinggalkan Riska " wajahnya nampak pucat dan ketakutan. Dia sepertinya sedang bermimpi buruk dan mengigau karenanya. Niatku segera berubah. Aku kembali masuk kekamarnya dan duduk disampingnya. Kurasa menunggu sejam lagi tak apa. Karena hanya Riska satu satunya keluargaku yang tersisa.

Sekarang sudah tengah malam. Sungguh cepat waktu berjalan, bahkan sampai aku tak menyadarinya. Aku sudah kembali kedalam kamarku yang penuh buku. Aku juga sudah menyatukan kedua Buku Masa Depan. Walau kutahu Eiji melarangku dan ayah juga menyembunyikan sesuatu dariku, aku tetap saja melakukannya. Karena aku tak tahan jika harus melihat Mana menderita.

Hujan masih saja turun, begitu lebatnya hingga tak sadar diri ini melamun. Aku berdiri dibalkon sambil memandang pepohonan yang nampak gelap karena tak ada satupun cahaya yang menyinarinya.

Kurasakan dada ini berdenyut begitu lara. Rasa ini menumpuk tanpa berkata. Sungguh sakit terasa, melihat hujan turun membuatku kehilangan kata. Tak lagi ada senyum menyambutnya, yang ada malah kilat kebencian dan rasa putus asa.

"Hujan, aku sangat membencimu. Bagaimana bisa kau turun saat duka datang menerpa? Kau hanya turun untuk membuka luka lama dalam dada. Kau hanya turun sebagai pertanda derita. Kenapa kau datang saat aku merasakan luka?" gumamku pada hujan yang turun tanpa akhir.

Menurutku, kedatangan hujan hanya pertanda derita, mimpi buruk, dan segala hal menyakitkan. Bahkan tanpa kau turun aku juga sudah tahu, kalau penderitaanku yang sebenarnya baru saja dimulai sekarang.