Chereads / Ramalan Takdir / Chapter 14 - Semua Berlalu

Chapter 14 - Semua Berlalu

Sudah satu tahun berlalu sejak ulang tahun Mana yang keempat belas. Sekarang aku sudah lulus SMP dan kini menetap di SMA kelas 1. Umurku sekarang enam belas tahun, sedangkan umur Mana sudah lima belas tahun. Sejak hari itu, banyak perubahan dalam hidupku. Semakin lama sepertinya aku semakin menderita, bahkan terkadang aku bangun malam malam hanya karena mimpi buruk yang selalu datang menyapa. Tapi anehnya, aku tak merasa lelah ataupun mengantuk karena hal itu. Entah apa yang sebenarnya terjadi pada tubuhku sejak hari itu.

Dan pada akhirnya, semuanya tetap sama. Ayah dan ibu masih saja tak mempedulikanku. Tentu saja aku tak mengharapkan ada yang berbeda, pada dasarnya harapanku untuk mereka sudah lama sirna. Tak apa, hatiku sudah beku untuk selamanya.

Tapi yang membuat diriku sakit hati dan patah semangat adalah masalah Mana. Sejak saat itu, Mana banyak menghabiskan waktu dengan Ibu. Bukannya aku membencinya atau apa, tapi dia sepertinya menghindariku.

Menghindari bukanlah kata yang tepat untuk menggambarkan apa yang Mana lakukan padaku. Perlakuannya sama seperti perlakuan ayah padaku. Dingin, dia sama sekali tak peduli padaku. Dirinya yang biasanya cerewet karena diriku menolak sarapan, dirinya yang selalu meminta diajari olehku soal matematika dan dirinya yang biasanya marah kalau aku dekat dekat dengan Eiji, semuanya hilang tak bersisa. Apa yang kulakukan sekarang dia takkan peduli. Apa yang kumakan, kupikirkan, kulakukan, dia sama sekali tak peduli padaku. Sungguh perubahan itu membuat hatiku sangat terluka.

Pernah aku bertanya padanya, "Mana, kenapa kau selalu menghindariku? Sepertinya kau tak peduli lagi padaku?" kataku dilorong saat kami tak sengaja berpapasan. Aku mengharapkan penyangkalan darinya. Apapun alasannya, kumohon Mana... Jangan acuhkan aku seperti anggota keluarga lainnya.

Tapi jawaban yang kuharapkan tak jua datang. Bahkan jawaban yang telah kuterka, itupun salah besar.

"Kenapa aku harus mempedulikanmu?" dia hanya mengatakan kalimat pendek itu dengan ekspresi dingin, sama seperti yang ayah lakukan. Seketika darahku membeku, bagaimana bisa kau mengatakan hal itu pada saudarimu?

"Apa yang katakan, Mana? Apa kau juga akan menjadi orang yang tak peduli padaku? Setelah ayah dan ibu, apakah sekarang giliranmu?" tanyaku tak percaya. Kurasakan pisau tumpul membuat luka dalam didada. Tak pernah sekalipun dalam hidupku menyangka bahwa Mana akan berkata seperti itu.

"Lalu apakah Kakak juga peduli padaku?" apa yang kau katakan, tentu saja aku peduli padamu.

"Apakah saat aku meminta tolong pada Kakak, apakah Kakak datang menyelamatkanku?

Kalimatnya membuatku diam tak bisa berkata kata. Sungguh, kenapa aku tak sadar sebelumnya. Aku tak bisa menyelamatkan orang yang Mana pinta, karena aku tak punya kekuatan untuk melakukan hal itu.

"Saat aku menderita, jatuh kedalam jurang keputus asaan, Kakak malah menenui Eiji, meninggalkanku sendirian. Apa hubunganmu dengan Eiji, Kak? Kakak pasti berbohong tentang identitasnya. Pada akhirnya, Kakak juga tak mempedulikanku. Lalu kenapa aku harus mempedulikan Kakak lagi?"

Tidak Mana, kau salah paham. Aku menemui dirinya untuk mencari cara bagaimana caranya mengambil buku itu darimu. Tapi jika aku mengatakan hal itu maka semuanya akan hancur. Pada akhirnya yang bisa kulakukan hanyalah diam tanpa kata.

Mungkin karena merasa muak, Mana berjalan pergi tanpa menghiraukanku lagi. Dia berpikir aku tak menyayanginya? Tidak Mana, aku sangat menyanyangimu. Kau adalah satu satunya keluarga yang tersisa untukku. Dia berpikir aku meninggalkannya? Kau salah Mana, tidak ingatkah dirimu bahwa aku yang menidurkanmu dan juga menenangkanmu dari mimpi burukmu?

Kumohon Mana.. Anggap aku sebagai keluargamu kembali..

****

Selama satu tahun terakhir ini aku juga terus mencari keberadaan Eiji. Aku mencarinya untuk meminta maaf atas tindakan serta kata kata tak sopanku pada malam berhujan itu. Entahlah, mungkin itu hanya pelarian dari rasa kecewa keluarga. Pokoknya aku sedang mencarinya sekarang.

Bahkan aku sudah mencarinya dimedia sosial dan google. Tapi tetap saja nama Eiji sangat umum, aku menemukan banyak sekali orang yang mempunyai nama yang sama dengannya. Saat itu kuharap aku benar benar tahu nama aslinya.

Bahkan saat aku tiba didunia lainpun, aku masih mencarinya. Dia berkata kalau dia bisa menyebrangi sekat dunia dengan mudah. Mungkin dia berada dalam salah satu dunia itu.

Tapi tetap saja, aku bahkan kesulitan menerima kenyataan kalau ini adalah dunia sendiri, bukan dunia dalam novel. Kupikir aku masuk kedalam novel yang kubaca. Tiba tiba aku teringat kata katanya waktu itu.

"Sebenarnya apa apaan cerita ini?! Kenapa semuanya berisi cerita yang konyol dan menyedihkan?" keluhku sambil menutup buku bersampul biruku. Ialah Buku Masa Depan, buku itu menuntutku untuk terus membacanya.

"Jangan kau sepelekan. Kebanyakan isinya tokoh tokoh hebat dari Dunia Lain, kau bisa belajar dari mereka" dirinya sepertinya lelah dengan keluhan harianku. Tak biasanya dia mengatakan kalimat bijak seperti itu, yang biasanya dia lakukan adalah mengeluh betapa tidak enaknya masakanku.

"Belajar dari apa? Belajar dari kematian menyedihkan mereka?" kataku kesal. Dia menutup mulutnya begitu aku mengatakan hal menyedihkan itu. Hei, dia pasti sedang menertawakanku.

"Lagi pula, aku sama sekali tak mengerti. Kenapa kau menyebutnya Dunia lain? Aku hanya melihatnya sebagai dunia novel biasa dan aku merupakan pemeran asing yang sama sekali tak berguna"

"Memang Dunia Lain, mungkin kau lebih mudah menyebutnya Dunia Paralel"

"Maksudmu dibumi ini ada berbagai dunia, begitu?" kataku sambil menatapnya curiga.

"Anggap saja begitu, dan buku itu menceritakan masa depan tokoh tokoh yang tertulis dibuku. Jadi dirimu itu bukan eksistensi asing yang tiba tiba masuk, tapi mungkin kau juga bagian dari dunia itu" dia berkata sambil berselonjor malas disofa. Entah kenapa, setiap kali dia datang yang dia lakukan adalah duduk malas malasan dan meminta makanan serta cemilan padaku.

"Hah... Pokoknya tetap saja, hal itu selalu menyakitiku. Andaikan saja aku bisa menggunakan kekuatan sepertimu" entah hasrat dari mana, tiba tiba aku mengeluarkan kalimat itu.

"Kenapa kau tidak belajar saja?" katanya tiba tiba.

"Apa? Apa maksudmu?" aku berkata terkejut sekaligus bingung. Apa maksudnya aku bisa belajar mengendalikan energi, begitu?

"Belajar saja mengendalikan energimu, bukankah kau juga suka belajar? Itu akan menjadi hal yang mudah bagimu" kata katanya sama sekali tak menjelaskan apa yang kumaksud.

"Apa aku bisa mempelajarinya?" tanyaku bersemangat. "Tentu saja, walaupun itu juga tergantung gen getenik, tapi sepertinya kamu bisa mempelajarinya"

"Sungguh? Kalau begitu ajari aku!" mulai saat itu aku selalu berguru padanya. Tentu saja itu dilakukan saat tidak ada Mana. Aku takut Mana akan pingsan begitu melihat apa yang kami berdua lakukan. Setelah beberapa kali mencoba, aku paham kenapa dia menyebutnya kemampuan bukan sihir. Ternyata sangat sulit mengendalikan energi disekelilingku, itupun Eiji mengatakan kalau energiku kuat jadi tak sesulit orang biasa. Mana ada orang yang berusaha keras mengendalikan energi dicap sebagai penyihir yang mempelajari sihir, karena ini bahkan lebih sulit dari sihir. Mereka jelas tak mau kalau kerja keras mereka dianggap seperti keberuntungan semata.

****

Selama setahun terakhir ini aku juga mencari informasi tentang Buku Masa Depan. Entah itu informasi tentang siapa saja yang pernah memilikinya atau informasi para pemiliknya, semuanya kucari sampai lelah raga ini karenanya. Tapi bahkan hasilnya kurang dari cukup untuk memenuhi teka teki yang selalu membayang diotakku.

Informasi pertama adalah bahwa pemilik Buku Masa Depan itu selalu menderita, kecuali dia berhasil membekukan hatinya sendiri. Tentu saja aku tahu tentang ini. Kami dipaksa pergi ke dunia yang tak diketahui asal usulnya. Ketakutan, cemas dan perasaan sejenis akan menghantui kami selama disana. Lalu datanglah penyelamat yang merupakan tokoh yang akan mati, kami terselamatkan olehnya. Lama lama kami menjadi dekat dan semakin dekat hingga kami bahkan melupakan kalau orang yang menyelamatkan kami akan mati. Dan pada akhirnya, kami dipaksa melihat kematiannya dengan mata kepala sendiri. Padahal kami telah diselamatkan olehnya, tapi kami sama sekali tak bisa menyelamatkannya. Itu sungguh ironis sekali.

Dan yang kedua adalah bahwa seluruh pemilik buku itu adalah satu keturunan. Dan inilah yang membuatku bingung setengah mati. Jadi maksudnya aku dan Mana benar benar satu keturunan? Tapi aku juga mengetahui satu informasi lagi kalau ada beberapa kasus khusus dimana Sang Pemegang Buku Masa Depan sama sekali tak punya hubungan dengan yang lain. Mungkin kasus inilah yang terjadi pada Mana. Tapi disini aku mulai bertanya tanya, apakah Ayah atau Ibu juga mempunyai kekuatan itu?

Bagaimanapun kami masihlah satu keturunan. Kurasa mereka punya, nyatanya mereka langsung mengetahui bahwa buku bersampul pink adalah buku kehidupan. Tapi aku tak yakin siapa dari mereka yang punya.

Lagipula mereka sudah tak mempunyainya. Aku yakin dengan sepasti pastinya, mereka jelas sudah tak punya buku itu. Karena menurut informasi yang kuperoleh, sama sekali tak ada cara untuk lepas dari buku itu kecuali memindahkannya pada orang yang punya buku yang sama, melihat dari Ayah yang meminta bantuanku artinya dia tak mempunyainya. Ibu mungkin juga begitu, kalau dia punya maka dia tak perlu menangis sedih dan akan langsung mengambil bukunya. Sebesar itulah rasa sayang ibu pada putrinya, Mana.

"Huh, kuharap Bibi masih disini... Dia pasti bisa menjelaskan semuanya" keluhku saat pertama mengetahui informasi itu.

Bibi adalah pengasuhku sejak kecil. Karena sejak kecil aku sudah ditelantarkan ibu, Bibi merasa kasihan dan mengasuhku layaknya anaknya sendiri. Namun saat aku menginjakkan kami pertama kali di SMP, Bibi pergi entah kemana, menghilang seperti kabut pagi saat matahari semakin naik.

Aku tak tahu dimana Bibi, sudah hampir empat tahun dari waktu itu, aku juga tak bisa mencarinya karena aku tak punya foto ataupun gambaran tentangnya. Gambar tentangnya seperti hilang dan tak pernah ada. Bahkan sekarang aku tak tahu seperti apa wajahnya.

Dan karena Bibi yang menghilanglah aku menjadi dekat dengan Mana. Kupikir Mana satu satunya yang peduli padaku, tapi itu sepertinya tidak benar karena Mana sekarang juga mengacuhkanku.