Chereads / Ramalan Takdir / Chapter 12 - Aku Mohon Padamu

Chapter 12 - Aku Mohon Padamu

Hujan lagi lagi turun mengguyur kota. Mencoba menghentikanku dari yang namanya mencoba. Hujan, aku tahu sifatmu, kau pasti sekarang sedang menertawanku bukan? Kau pasti merasa betapa menyedihkannya diriku? Ingin rasanya aku tertawa, tertawa karena semua kesedihan yang telah menimpa. Tertawa saja....

Lagi lagi tintikan air mengenai pipiku, tapi memangnya aku peduli? Kupercepatkan langkahku, secepatnya aku harus membereskan masalah ini. Secepatnya, sebelum semuanya terlambat, sebelum semuanya menghilang karena kelalaianku.

Eiji pasti sudah lama menunggu. Sudah hampir sejam dari waktu yang dijanjikan, aku tak tahu apakah dia menunggu atau pergi meninggalkanku. Tapi aku harus memastikannya, karena hanya dia harapanku yang tersisa.

Entah keberapa kalinya batu menyandungku, hampir saja diriku terjatuh karenanya, tapi aku tak peduli. Bahkan sekarang bajuku basah, raut mukaku menjadi pucat karena lelah, atau bibirku yang membiru karena kedinginan, aku sama sekali tak peduli. Sungguh, aku sama sekali tak peduli. Secepatnya, aku harus menemuinya secepatnya.

Akhirnya aku sampai ditempat yang dijanjikan. Tapi hanya hening begitu aku tiba. Sekarang sudah jam sembilan malam, wajar jika tak ada orang yang berjalan jalan.

Kemana? Kemana aku harus mencarinya? Aku membutuhkan bantuannya saat ini. Kuitari sekeliling, menunggu beberapa saat dan mencarinya kesetiap sudut. Tapi batang hidungnya sama sekali tak tampak. Dia mungkin sudah meninggalkanku. Aku tahu itu salahku, tapi tolong jangan tinggalkan aku... Sekarang aku sangat perlu bantuanmu..

Percuma, dia sudah tak ada. Dia pergi karena tak tahan menunggu kedatanganku. Percuma saja.

"Oh, lihatlah siapa yang kebingungan sendiri setelah membuat seorang tamannya menunggu" terdengar suara, tapi sosoknya tak tampak. Apa dia menggunakan tehnik transparant? Bukan, suaranya terdengar dari atas, dia berada di dahan pohon tepat diatas kepalaku.

Begitu aku mendongakkan kepalaku keatas, terlihatlah sosok lelaki muda yang sedang kucari cari. Sungguh, ada rasa aneh yang sulit sekali dirinci.

Dia melompat turun dengan begitu mudahnya. Begitu dirinya mendarat ditanah, aku langsung memeluknya erat erat. Ketemu!! Harapan satu satunya membuat Mana kembali bahagia!! Aku menemukannya!

"Hei, apa yang kau lakukan. Aku tahu kau merindukanku, tapi tak begini juga caranya," dia nampaknya sangat kaget mendapat pelukan erat dariku, entah dari mana kepercayaan dirinya berasal. Tapi sekarang aku tak peduli, yang harus kulakukan adalah meminta pertolongan.

"Tolong Mana," kataku lirih sambil melepaskan diri darinya. Aku meraih tangannya, menggenggamnya erat erat takut dia pergi lagi.

"Mana? Ada apa dengannya?" dari nada bicaranya tampak kesal. Dia menatapku risik yang penuh air mata dan basah kuyup oleh hujan.

"Kumohon, selamatkan dirinya... Dia pasti sangat menderita sekarang. Bukankah kau selaku mengatakan kalau kau orang yang hebat? Sekarang tunjukan padaku kehebatanmu! Selamatkan dia... Kumohon" aku mengatakan semua dengan keputus asaan yang menindih dada. Sungguh sakit rasanya, seperti dipermainkan takdir kejam. Sungguh tak apa jika kau memberiku buku itu, tapi jangan Mana, dia takkan kuat menahan derita.

"Tunggu, tenangkan dirimu dulu! Jelaskan apa yang terjadi! Kenapa kau sampai kacau begini?" Eiji berusaha menenangkanku, dia menekan lenganku dengan kedua tangannya. Raut mukanya tampak tak mengerti. Yah, dia pasti tak mengerti masalah apa yang sedang kualami.

"Mana. Buku Masa Depan" kataku terbata bata. "Mana? Ada apa dengannya? Lalu Buku Masa Depan? Kenapa kau membicarannya sekarang?"

"Mana mendapatkan buku itu!! Kenapa dia juga mendapatkannya? Kalau begitu bukankah dia juga akan menderita?" begitu aku mengatakan hal itu, dirinya langsung membeku. Diam tak berkata kata seolah tak bisa mengeluarkan suara. Matanya seperti berhenti berkedip, aku tahu kalau berita yang kubawa sangat sangat besar sampai dia tak punya waktu untuk berkedip.

"Apa?" "Kumohon Eiji, selamatkan dirinya. Bukankah kau orang hebat? Selamatkan dia... Kumohon..." aku meratap putus asa. Eiji pasti bisa melakukannya, jika itu Eiji, dia pasti bisa melakukannya.

"Aku tak bisa," tapi kemudian jawaban yang keluar dari mulutnya menghancurkan semua harapanku. Harapanku hancur seolah tak ada lagi yang tersisa. Berkeping keping, sungguh sakit rasanya.

"Apa maksudmu?" tanyaku tak sadar. Aku meneguk ludah tak percaya. Tanganku mulai gemetar ketakutan, sungguh aku merasa ada pisau yang mengiris hatiku dan menyisakan luka dalam.

"Aku tak bisa..." "Pasti ada cara!! Temukan caranya dan dengan begitu kita bisa memisahkan buku itu dari Mana" seketika aku mengamuk, mencoba meyakinkannya untuk mencari cara mengembalikan Mana menjadi ceria seperti sebelumnya.

"Sudah kubilang tak ada..." "Jangan berbohong, pasti ada caranya! Cepat beritahu aku!" dirinya hanya diam begitu mendengar kata kataku. Dengan diamnya aku yakin akan sesuatu, dia pasti punya cara mengembalikan semuanya seperti semula.

"Memang ada caranya," Harapan kembali muncul saat diriku mendengar perkataannya. Akhirnya ada cara mengembalikan semuanya seperti semula.

Seketika raut mukaku menjadi cerah, tapi itu berbeda dengan Eiji yang berdiri dihadapanku. "Tak ada tehnik yang bisa menghilangkan Buku Masa Depan. Tapi ada cara untuk memindahkannya ke orang lain.

Seolah ada petir disiang bolong, bahkan aku sampai tak percaya apa yang dia katakan. Memindahkannya keorang lain? Apakah tak ada cara lain. Bukankah itu berarti kita hanya memindahkan penderitaan kita ke orang lain? Bahkan jika kita menderita, kita tidak boleh melakukan hal tak bertanggung jawab itu kepada orang lain.

"Apa tak ada cara lain?" "Tak ada, hanya itu satu satunya cara" diriku terdiam, dia juga diam, hening menggantung diantara kita berdua.

Bahkan jika dia sudah mengatakannya, aku tak ingin memercayainya. Pada akhirnya kenyataannya tetaplah sama, Mana akan terus menderita. Dan kali ini aku juga hanya akan berdiri tanpa berkata kata.

"Kalau begitu pindahkan saja bukunya padaku," mulut ini berbicara tiba tiba. Entah karena keadaannya mendesak ataupun apa, aku tak menyadarinya. Mataku bersinar terang saat mengatakan itu.

"Tidak mau" jawab Eiji singkat dan cepat. Dia sama sekali tak ragu ragu saat mengatakannya. "Kenapa? Tidak bisakah kau melihat Mana yang sekarang sangat menderita?"

"Tapi bagaimana denganmu" Eiji menatapku tajam, seolah ia tak mengizinkan untukku mengucapkan dusta.

"Bukankah kau juga akan menderita? Jika kau menerima dua Buku Masa Depan, maka penderitaanmu juga akan bertambah dua kali lipat. Selain itu juga... Lupakanlah" sepertinya Eiji ingin berbicara lebih lanjut, tapi ia mengurungkan niatnya kembali. Aku menatapnya tak percaya. Bagaimana bisa dia berpikir seperti itu sekarang?

"Kenapa kau memikirkanku sekarang?! Tak apa jika diriku menderita, tapi tidak dengan Mana, dia takkan bisa menahan deritanya," aku berkata sambil mengambil kerah lehernya. Dia nampaknya terkejut dengan jawaban dariku, seketika raut mukanya menjadi gelap saat mendengar perkataanku.

"Kenapa? Memangnya sepenting apa dia bagimu hingga kau berani mengambil keputusan itu?" aku tak menyadari ada yang salah dengan kata katanya, dia menunduk saat mengatakan hal itu.

"Tentu saja karena dia masih keluargaku!" kukatakan jawaban yang menurutku paling masuk akal, tapi itu malah menjadi bumerang yang menyerang diriku sendiri.

"Keluarga? Maksudmu saudari tiri yang merebut segalanya darimu? Apakah kau benar benar menganggapnya sebagai keluargamu? Ataukah Ayahmu yang sangat membenci kehadiran dirimu? Pantaskah kau memanggilnya seorang ayah? Atau malah Ibu yang bahkan tak mengakuimu, bersikap seolah olah kau tak ada, tak pernah punya putri bernama Riana?" barulah aku menyadarinya, seorang laki laki yang berdiri dihadapanku itu sudah tak punya lagi hati nurani. Dia membiarkan Mana menderita sendiri, padahal dia bisa membantu kami. Harusnya aku lebih cepat menyadarinya, hingga aku tak terjebak harapan palsu seperti ini.

"Apa, kenapa kau malah diam saja. Tak ada dari perkataanku yang salah? Memang itulah kebenarannya," bahkan saat mengatakan itu, dia sama sekali tak punya rasa bersalah. Bagaimana bisa dia begitu tega mengatakan hal itu dihadapanku.

"Diamlah Eiji," kataku dingin, sungguh aku telah kehilangan kepercayaanku padanya. Kupikir kita berteman, tapi sepertinya itu hanya ilusiku saja.

"Aku hanya.. " belum sempat dia berbicara aku langsung memotongnya.

"Bukankah sudah kubilang untuk diam!!? Bagaimana bisa kau mengatakan hal yang begitu kejam?! Memangnya kau tak punya yang namanya hati nurani?!" wajahku merah karena marah. Kurasakan seluruh tubuhku bergetar hebat. Sungguh, panas menguasai tubuhku, membuatku mempunyai ilusi bahwa aku bisa saja meledak jika bertambah marah lagi.

"Kenapa kau malah marah, aku sama sekali tak bersalah," elaknya dengan raut muka panik. Dia pasti panik karena ini pertama kalinya melihat orang sepertiku marah.

"Pergi! aku tak ingin mendengar kata katamu lagi! Jangan muncul dalam hidupku lagi!" sebesar itulah kemarahanku padanya hingga aku berani mengusirnya. Dia nampak sangat kaget dengan perkataanku, namun itu hanya sekejap. Setelah menghela napas sejenak, tubuhnya menghilang, entah itu sihir atau kemampuan, dirinya hilang ditelan rintik hujan yang masih mengguyur bumi.

Hujan masihlah turun, dinginnya menyelimuti tubuh ini. Sungguh, mataku bengkak ingin menangis. Hari ini ulang tahun Riska yang keempat belas, bagaimana bisa menjadi sekacau ini?

Hujan turun lebat, membuat seluruh tubuhku basah. Sekarang aku tahu, kalau hujan sedang menertawaiku.