Kakiku berlari sekuat tenaga. Langkah panjang kuambil, napas panjang kuambil. Dengan langkah secepat kilat, aku bergegas kekamar Mana yang ternyata hanya berjarak beberapa bilik saja.
"Mana, apa kau tak apa apa? Apa kau baik baik saja?" dengan napas terengah engah aku menanyainya. Tapi seharusnya aku sudah tahu jawabannya.
"Kakak!" begitu aku masuk kekamarnya, Riska langsung berlari kepelukanku. Memelukku dengan begitu erat hingga bahkan aku kesulitan mengambil napas.
Tangannya gemetar tak terkendali. Wajahnya penuh dengan air mata, seolah ada sungai yang bocor disana, air matanya keluar tanpa ada batasnya.
"Mana, kau kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?" tanyaku bingung begitu melihat kelakuannya. Tapi hanya hening yang bersedia menjawab tanyaku, Mana sama sekali tak berkata kata.
"Sayang, kamu kenapa nak?" akhirnya yang ditunggu datang jua. Ialah Ayah serta Ibu. Mereka pasti segera datang kemari begitu mendengar teriakan Mana yang ketakutan.
Tapi mereka berdua segera membeku melihat keadaan. Mungkinkah mereka berdua terkejut melihatku memeluk putri kesayangan mereka? Apakah mereka terkejut tentang betapa akrabnya kami berdua?
Sepertinya tidak, karena begitu mereka melihat sekeliling, Ibu langsung mundur beberapa langkah kebelakang, wajahnya mengatakan kalau ia melihat sesuatu yang sangat mengerikan.
"Mana, ayah dan ibu disini, kau tenanglah sedikit" kataku pada Mana yang masih membenamkan wajahnya didadaku. Dia menggeleng keras, mencoba menyangkal sesuatu. Tapi bahkan aku tak tahu apa yang dimaksud.
"Selamatkan dia, Kak. Kumohon, selamatkan dia. Dia sama sekali tak bersalah. Kumohon, siapapun... Selamatkan dia" Mana mengatakan sesuatu yang tak kupahami. Tapi yang pasti, dia sedang benar benar putus asa sekarang.
"Dia? Dia siapa? Tenanglah dan katakan lebih jelas, Mana" ucapku sambil berusaha melepaskan pelukannya. Jika ada seseorang yang harus diselamatkan berarti kita harus bertindak cepat.
"Tidak Kak. Kumohon... Jangan biarkan dia mati.. Dia sama sekali tak bersalah..." lagi lagi dia hanya mengucapkan kata kata itu. Sungguh, jika kau seperti ini bagaimana bisa aku mengerti.
"Kumohon!!! Siapapun tolong selamatkan dia!" akhirnya Riska berteriak frustasi, ia tak tahan dengan apa yang ia alami. Tapi bahkan aku tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
"Ayah, Aku tak tahu apa yang Riska alami..." belum sempat aku mengatakan apa yang bersarang dalam hati, ayah sama sekali tak ingin mendengarkanku. Buktinya dia nenatapku dengan raut muka dingin yang biasa dia tujukan padaku.
Seketika tubuhku membeku, kupikir semakin aku dekat dengan Riska, semakin aku menjadi temannya maka ayah juga lama lama memperhatikanku. Tapi apa apaan tatapanmu itu? Aku adalah putrimu sendiri, tidak bisakah kau mengendurkan sedikit saja pandangan mematikanmu itu.
"Riana" kata dinginnya terbentuk tanpa sedikitpun kasih sayang. Kupikir aku akan senang begitu ayah memanggil namaku, tapi nyatanya sekarang tidak. Yang kurasakan adalah kehampaan, rasa sedih dan rasa takut yang entah datang dari mana.
"Iya ayah"
"Apakah buku ini milikmu?" dia melangkahkan kakinya sedikit kedepan dan mengambil buku bersampul pink yang tergeletak dilantai. Dari tadi aku tak menyadarinya, bagaimana bisa aku tak menyadari buku itu?
Ibu yang melihat hal itu tak kuasa menahan air mata. Dia memilih pergi, meninggalkan kami semua.
"Kenapa? Bagaimana bisa?" ucapku tak percaya. Bahkan dalam sekali lihat aku dapat mengetahuinya bahwa buku itu bukanlah buku biasa. Sungguh, bagaimana bisa buku itu sampai ke tangan Riska.
Buku itu adalah Buku Masa Depan. Buku yang kugunakan untuk melihat masa depan orang lain. Itu adalah buku yang kugunakan untuk melintasi sekat Dunia Lain. Dengan kata lain, buku itu adalah sumber dari segala penderitaan yang sampai saat ini masih kualami. Tapi bahkan jika aku mengetahui bahwa itulah sumber penderitaanku, tetap saja aku tak bisa menbuangnya, itu karena buku itu terikat kontrak dengan pemiliknya.
"Bu-bukan, itu bukan punyaku!" jawabku lantang. Ya, itu memang bukan punyaku. Aku tahu pasti ciri ciri bukuku, dari warna sampulnya saja berbeda, bagaimana bisa aku mengakuinya.
"Jangan borbohong!! Hanya kau satu satunya orang yang memiliki buku seperti ini!" tapi penyangkalanku belum cukup. Ayah menyalahkanku, dia yakin pelaku yang membuat buku itu berada dalam kamar Mana adalah diriku. Tapi aku tidak mungkin melakukan hal sekejam itu. Sungguh, bahkan aku takkan berani melakukan hal sekejam itu.
Tunggu, jangan jangan tadi Mana membacanya dan setelah membacanya dia berteleportasi ke Dunia Lain. Lalu mengalami kejadian yang biasa kualami. Melihat kematian sang tokoh tanpa bisa berbuat apa apa. Karena itulah dia meminta tolong tadi. Karena itulah dia sangat merasa bersalah. Tanpa sadar aku mengelus pelan kepalanya dengan sebelah tanganku. Pasti berat baginya, aku tahu itu berat baginya.
"Riana, berani beraninya kau melemparkan buku itu pada adikmu sendiri!!" ayah terlihat sangat marah. Saat ini dia terlihat sangat menakutkan. Mendengar perkataan itu, aku hanya bisa menelan ludah tanpa suara. Bagaimana bisa ayah menuduhku bertindak sekejam itu?
"Bukan Ayah, itu bukan bukuku!!"
"Kau, berani beraninya kau menyangkal!" semakin banyak aku menyangkal, semakin ayah yakin akulah pelakunya. Mungkin buku itu adalah simbol penderitaan dan kesedihan, sekarang ayah menuduhku membuang penderitaanku pada adikku sendiri.
"Ayah, itu benar benar bukan bukuku!! Mana mungkin aku memberikan buku itu pada Mana!" teriakku lagi. Lagi lagi mataku menjadi panas. Air mata, untuk saat ini aku minta kau berhentilah mengalir. Banyak yang harus kulakukan, jangan menangis sekarang!
"Aku tahu betul bagaimana bukuku. Dia bersampul biru tua, bukannya pink. Lalu banyak bekas lecet dan terlihat tua. Tentu saja begitu, itu adalah satu satunya barang yang paling sering kubanting dan kubuang. Tapi memangnya ayah tau apa?" oh lihatlah, air mata mengalir deras tanpa biasa tertampung lagi. Mulut yang biasanya tak bersuara kini terbuka. Entah karena tangisan Mana yang menyayat hati atau mungkin karena hati ini yang tak dapat lagi menanti, sekarang aku benar benar menangis tiada henti.
Saat dia mendengar keluhanku, dia hanya terdiam. Sungguh, dia terdiam tanpa suara. Tapi pastinya dia tak merasa bersalah atau apapun perasaan lainnya. Raut mukanya sudah menunjukan segalanya. Dia membalikan tubuhnya, hendak meninggalkan kami berdua. Tapi sebelum itu aku berteriak berusaha menghentikan.
"Ayah" dia diam ditempat mendengar teriakanku.
"Ayah, kenapa kau tahu soal buku itu?" tanyaku perih. Rahasia yang selama ini kusembunyikan justru telah diketahui orang lain terlebih dahulu. "Apa maksudmu aku adalah satu satunya orang yang berhak atas buku itu? Bagaimana ayah bisa tahu semua itu?"
Entah kenapa ada yang tak beres dengan ayah. Pasti ada yang coba dia sembunyikan dari diriku.
"Apa artinya ayah? Apakah hanya aku yang pantas menerima penderitaan itu?" bukan berarti aku menginginkan Mana juga menanggungnya, yang aku ingin tahu adalah bagaimana bisa ayah mengetahui semuanya? Bagaimana bisa dia mengetahui bahwa pemegang buku itu pasti akan menderita? Bagaimana bisa dia berkata kalau aku satu satunya? Bagaimana bisa dia tak mengatakan apa apa? Bagaimana bisa dia diam saja saat aku terpuruk karena buku itu?
Ibu juga sepertinya sama saja. Dia mungkin tahu yang sebenarnya. Tapi aku sama sekali tak ingin bertanya padanya, karena bahkan dia menganggapku tak ada.
Tapi ayah sama sekali tak mengeluarkan jawaban. Dia hanya kembali berjalan. Aku merasa seolah olah pertanyaanku itu bukanlah sesuatu yang penting. Entah kenapa aku merasa hidupku dimata ayah sama sekali tak penting.
Tunggu, jangan pergi!! Ingin aku berteriak seperti itu padanya. Tak apa kalian berdua meninggalkanku dan tak menganggapku, tapi jangan lakukan itu pada Mana. Mana masih saja menangis dipelukanku. Setidaknya kalian juga harus menghiburnya, jangan limpahkan padaku. Mendengarnya menangis membuat hatiku semakin hancur saja. Ini juga demi diriku, tolong pedulikan dia.
Tapi tak ada satupun dari mereka yang mendengar permohonanku.