Chereads / Ramalan Takdir / Chapter 10 - Janji Dengan Eiji

Chapter 10 - Janji Dengan Eiji

"Sebentar lagi selesai" gumamku pada diri sendiri sambil mencoba menempelkan potongan terakhir untuk karyaku. Sekarang adalah ulang tahun Mana yang keempat belas, aku ingin menghadiahinya sesuatu yang lumayan berkelas. Tapi karena aku tak punya banyak uang dan Ayah juga Ibu sudah pasti membelikannya, jadi aku mengganti rencanaku. Akhirnya aku menghadiahinya dengan barang bekas. Tentu saja yang sudah kuolah kembali, aku membuatnya menjadi sebuah bingkai foto. Aku ingin melihat foto diriku dan dirinya bersama dalam bingkai ini, tapi entah kenapa aku yakin kalau dia pasti tak punya foto kami berdua.

"Kenapa kau senang sekali melakukan hal yang membuang buang waktu seperti itu?" lagi lagi Eiji berkata sambil menghela napas lelah. Dia memperhatikanku yang sedang membuat bingkai dengan raut muka bosan tiada tara. Wajahnya juga menunjukan kalau dia sama sekali tak tertarik dengan apa yang kulakukan.

"Ini adalah hadiah ulang tahun Mana, jadi aku harus membuatnya dengan sepenuh hati," kataku tanpa menolehkan pandangan kearahnya.

"Kau mau menghadiahkan orang lain dari bahan bekas? Betapa miskinnya dirimu," mungkin maksud Eiji hanya bercanda, tapi tetap saja itu menimbulkan luka.

"Benar juga. Lagi pula ayah dan ibu akan memberikan hadiah yang pastinya sangat berharga, ini tak sebanding dengan hadiah mereka. Apa aku ganti saja hadiahnya?" mendengar perkataannya membuat hatiku ragu. Kupandangi kembali bingkai yang hampir jadi itu, sungguh hadiah yang sangat sederhana.

"Jangan!" tiba tiba Eiji berseru tak terima. "Jangan ganti hadiahnya, kau membutuhkan waktu lama untuk menggantinya. Ingat, kita hanya punya sedikit waktu sekarang"

"Maksudmu kita hanya punya sedikit waktu bukan untuk ulang tahun Manakan? Melainkan untuk jalan jalan malam ini," aku menatapnya dengan pandangan mata curiga. Sungguh, bagaimana bisa kau memikirkan hal itu disaat saat seperti ini?

"Tidak bisakah kau pergi sendiri saja? Bukankah kau penyihir, kau bisa pergi dengan mudah" keluhku kepadanya. Dia lagi lagi menunjukan raut muka kesal.

"Tidak, aku tak mau pergi sendiri. Siapa yang akan membelikanku minuman saat aku haus?"

"Hah, jadi kau menganggapku sebagai kantung uangmu, begitu?" kataku kesal. Dia benar benar kelewatan batas, hanya karena aku ingin dia tutup mulut tentang Dunia Lain bukan berarti dia bebas memerasku seperti ini.

"Kalau iya kenapa? Lagi pula itu bukan sihir, itu kemampuan. Bukankah aku sudah mengajarkan triknya padamu? Trik untuk melampui orang biasa dan mengendalikan energi yang ada disekelilingmu," aku kehabisan kata kata. Sudahlah, dia pasti punya banyak alasan tersisa. Percuma saja diriku membujuknya untuk mengundur tanggal.

"Baiklah, kalau begitu maumu kita akan pergi malam ini, lagi pula aku juga tak punya aktivitas yang ingin kujalani" pada akhirnya aku mengalah, memilih menuruti permintaannya dibandingkan rahasiaku yang bisa bocor ditangannya.

"Sungguh kasihan, kau sudah berusaha keras namun kau malah akan memberikannya satu hari setelah ulang tahunnya," saat aku menyelesaikan langkah terakhirku, dia malah mematahkan semangatku.

"Mau bagaimana lagi, Mana akan merayakannya bersama keluarganya" aku tak terlalu memikirkan perkataannya, tapi tetap saja hati ini sakit mendengarnya.

"Jadi apakah kau bukan keluarganya? Lalu bukankah dia anak angkat, lalu kenapa dia lebih disayangi dibandingkan dengan dirimu yang masih anak kandung mereka? Bahkan ibumu tak menganggapmu, ayahmu juga bersikap dingin padamu" kata katanya serasa jarum yang menusuk jantung, begitu dalam dan lara sehingga membuatku tak bisa berkata kata.

"Sudahlah, sana pergi. Kau sudah menghabiskan makananmu bukan? Temui aku ditempat perjanjian nanti malam," kataku sambil mendorongnya pergi, mencoba mengusirnya. Dia hanya bisa menghela napas dan pada akhirnya menghilang tanpa tersisa jejak apapun. Bagaimana orang lain takkan percaya kalau itu sihir?

Aku lelah, kubaringkan tubuhku diranjang yang terasa empuk dipunggung. Dengan sendirinya tangan kananku bergerak menuju mata, menutupi dirinya yang sepertinya hendak mengeluarkan air mata. Bagaimanapun yang dikatakan Eiji benar, aku adalah anak kandung mereka, sedangkan Mana hanya saudara angkatku, seorang anak angkat.

Tapi kenapa mereka berdua lebih menyayangi Mana dibandingkan diriku?

Kuharap semuanya akan baik baik saja. Biarlah Mana bahagia sedangkan aku terluka, aku tak peduli lagi. Kurasakan harapanku pada mereka berdua perlahan lahan mati.

****

Tapi bahkan jika aku sudah merendahkan diriku seperti itu, tetap saja takdir tak menghendaki. Entah karena karena senang bercanda atau apa, dia mengirimiku masalah bertubi tubi. Masalah yang tak bisa kuselesaikan walau sudah berdiskusi. Sungguh ironis sekali.

Aku membuka mataku perlahan, ternyata aku ketiduran. Jarum jam sudah hampir menunjuk ke angka delapan, itu adalah waktu untukku bertemu dengan Eiji ditempat yang telah disepakati.

Segera ku berkemas diri, merapihkan penampilan sebaik mungkin. Tanpa waktu lama aku sudah segar kembali. Tapi tak sengaja mataku menangkap bingkai yang tadi kubuat dengan sungguh sungguh. Cat merah melapisinya. Tunggu?! Cat merah? Bagaimana bisa?

Ya, sepertinya bingkaiku terkena tumpahan cat merah saat aku tidur. Mungkin cat merah yang kuletakkan disampingnya tumpah dan mengenainya. Mungkin itu ulah kucing ataupun angin?

"Sayang sekali, padahal itu hadiah yang sudah susah payah kusiapkan," keluhku sambil menatap sesal bingkaiku. Sungguh, aku terluka amat sangat dalam sekarang. Tapi entah kenapa warna merah ini mengingatkanku pada sesuatu yang sering kujumpa. Warna ini mengingatkanku pada darah yang mengalir diraga. Firasat tak enak segera menghampiriku.

"Tidak!!!" terdengar jeritan keras. Keras nan penuh keputus asaan. Itu adalah jeritan Mana.

Seketika bingkai yang susah payah kubuat terjatuh kelantai. Darahku membeku. Tanpa pikir panjang aku langsung berlari kearah suara dan melupakan janji yang kubuat bersama Eiji.