Setelah hari itu, Mana juga semakin sering berkunjung kekamar ini, sesering laki laki itu berkunjung kemari. Entah kenapa aku merasa keduanya semakin dekat saja, sedangkan tak ada lagi untukku ruang yang tersisa. Seperti yang terjadi saat ini.
Aku merebahkan tubuhku dikasur dan membuka novel yang belum sempat kubaca. Disofa ada pria yang belum juga menyebutkan namanya dan Mana yang yang nampak sedang bercakap cakap ria. Aku tak begitu jelas mendengar percakapan mereka berdua, tapi yang kutangkap dari gerakan yang mereka lakukan sepertinya laki laki itu mengucapkan kata kata yang membuat marah Mana jadi Mana membalasnya dengan melemparnya dengan bantar yang tadinya ada dipelukannya. Sungguh harmonis hubungan mereka berdua, melihatnya dari sini seperti sepasang kekasih yang sering bertengkar. Lagi pula umur pria itu nampak hanya delapan belas tahun, walaupun terpaut hampir empat tahun tapi sepertinya mereka berdua cocok.
Namun aku tak tahu kenyataan pastinya, yang sebenarnya terjadi adalah...
"Huh... Sepertinya dia sangat suka membaca. Kenapa dia senang sekali membuang buang waktunya?" laki laki misterius itu berkata sambil duduk selonjor disofa. Dilihat dari manapun nadanya terdengar kesal.
"Membuang waktu? Kurasa tidak. Nyatanya Kakak menjadi orang yang pintar" Mana menjawab tak terima.
"Pintar? Sepintar pintarnya dia tapi tetap lebih pintar diriku" saat mengatakan itu, hanya ada aura sombong yang keluar dari tubuhnya.
"Apa kau ingin berkata kalau Kakak itu bodoh?" Mana sepertinya mengartikannya dengan cara lain.
"Kalau iya kenapa? Aku hanya menyampaikan kenyataan saja"
Tepat setelah itu, sebuah bantal melayang kearah wajahnya. Tentu saja dia takkan menduganya, bantal itu mendarat tepat dikepalanya.
"Sepertinya kau minta berkelahi yah... Takkan ada satupun orang yang kuizinkan menghina Kakakku" Mana mengatakan itu dengan tangan yang masih terangkat. Dialah tersangka utama pelemparan bantal. Wajahnya merah karena marah.
Tapi sungguh, aku tak tahu isi percakapan mereka adalah diriku.
"Oh ya... Ngomong ngomong namamu siapa?" tanyaku pada akhirnya. Mengulang pertanyaan yang sama dengan yang sebelumnya. Sungguh, hatiku tak tenang rasanya bila tak mengetahui namanya.
"Kapan kau akan berhenti menanyakan hal itu? Kau sudah menanyakannya lebih dari sepuluh kali dalam dua hari ini" dia menjadi kesal karena aku terus mengulang pertanyaan yang sama. Tapi mau bagaimana lagi, aku bukan orang yang akan memanggil orang lain dengan kata gantinya.
"Itu karena kau selalu menyembunyikannya," aku memberi alasan masuk akal. Dalam minggu minggu ini dia pasti langsung menghindar jika ditanyai tentang nama. Sepertinya Manapun sependapat dengan diriku, buktinya "Benar, kau selalu menghindar jika ditanya. Alasannya karena kau tak punya nama, tapi aku tahu kau pasti sebenarnya punya walau hanya satu kata kan? Mana ada orang dimuka bumi ini yang masih tak mempunyai nama."
"Apa kalian pikir aku berbohong saat aku berkata tak punya nama?" tanyanya pada kami berdua. Kami lantas diam tak mengeluarkan kata. Kurasa apa yang dia katakan adalah nyata.
Tapi tetap saja, apapun alasannya menurutku sangat tak nyaman memanggil orang lain tanpa nama. Aku mengalihkan pandanganku kemeja belajar, seketika aku menemukan ide cemerlang saat melihat barang barang yang bersebaran.
"Bagaimana kalau Eiji?" tanyaku spontan dengan penuh semangat.
"Eiji? Eiji apanya?" laki laki itu nampaknya tak mengerti apa yang ku katakan, begitu juga dengan Mana.
"Namamu, mulai sekarang aku akan memanggilmu Eiji. Bukankah itu terdengar bagus?" entah kapan terakhir kali aku bersemangat seperti ini, yang pasti itu sudah berlalu lama.
"Eiji yah... Sepertinya itu bagus" dia juga nampaknya menyetujuinya. Syukurlah kalau begitu, jadi seperti ini rasanya memberi nama seseorang? Tapi yang Mana lakukan adalah tertawa. Tawa yang tak kunjung reda. Aku tahu alasannya, alasan kenapa dia tertawa dengan begitu lepasnya.
.