Hening menggantung mencekam. Tak ada suara yang keluar, seolah olah tak ada makhluk hidup disini.
Aku diam tak bersuara, begitu juga Mana. Bagaimana tidak kami tak diam, melihat mata merahnya yang seperti bersinar dikeremangan kamar, itu membuat darahku serasa membeku ditempat. Mana juga nampaknya terkejut melihat matanya yang terlihat bersinar indah. Bahkan sebelum itu, dia terkejut melihat matanya yang berwarna merah dan rambutnya yang nampak hitam panjang berkilau.
"Si-siapa kau?! Beraninya kau masuk kedalam kamar kakak sembarangan!!" Mana berteriak membelaku. Bahkan aku yang berdiri dibelakangnya bisa mendengar suaranya yang bergetar ketakutan.
Wajar jika dia ketakutan. Ayah belum pulang, hanya kami berdua yang berada dirumah. Jika terjadi sesuatu, kami tak bisa meminta bantuan orang lain.
"Siapa aku? Bagaimana jika aku bilang kalau aku adalah kenalannya, apakah kau akan percaya?" laki laki itu berkata sambil tersenyum. Hei... Memangnya apa yang sedang kau pikirkan hah?! Berbohong menjadi kenalanku padahal berniat membunuhku, sungguh kurang ajar!!
"Aku takkan percaya. Tadi kakak meminta tolong, kau pasti ingin menyakitinyakan?! Aku takkan membiarkanmu!!" Mana, dia mengacungkan sendok garpunya kedepan. Bersiap akan keadaan terburuk yang mungkin terjadi.
"Heee.... Benarkah?" senyuman pria itu bertambah lebar. Ia sepertinya benar benar senang melihat kami yang sekarang gemetar ketakutan.
Aku tak bisa melanjutkan ini lagi. Secepatnya aku dan Mana harus keluar dari keadaan ini. Bisa gawat kalau Mana sampai terluka.
"Mana, kita..." belum sempat aku menyelesaikan kata kataku, aku kembali menatap wajahnya. Dia tersenyum padaku. Senyum yang malah nampak mengerikan.
Hei!! Apa yang kau rencakan?! Kenapa kau memberikanku senyum iblismu hah?! Kenapa kau tak melepaskan kami saja dan pergi kembali ketempat asalmu!!
Saat itu aku baru menyadari apa arti sebenarnya dari senyuman menakutkan yang dilemparkannya padaku.
Senyuman yang terpasang diwajahnya seolah mengatakan padaku 'Jangan mencoba kabur atau aku akan membunuh kalian'. Aku menelan ludah lelah.
"Kakak, biar aku saja yang menghajarnya!! Dia pasti mengancam kakak kan?" seolah bisa membaca situasiku, Mana bertindak demi melindungiku. Begitu cepat dan tak terduga membuatku kaget sampai tak sanggup bereaksi.
Mana maju menyerang, hendak menusukkan sendok garpunya ke pria misterius yang bahkan belum kuketahui namanya. Pria itu tersenyum, lalu menggerakkan tangan kanan yang sepertinya tadi diniatkan untuk membunuhku.
"Mana, Tunggu!!!" jeritku panik sambil memegang lengannya. Aku meneteskan keringat dingin, kakiku gemetar karena takut. Ku gigit bibirku kuat kuat untuk mencoba menenangkan diri.
Aku lengah....
Aku salah....
Pria dihadapanku bukanlah tandinganku, bukan pula tandingan Mana.
Kupikir dia takkan membunuhku jika ada Mana yang melihat, tapi sepertinya aku terlalu menyepelekan masalah ini.
Pria ini, dia memang benar benar berniat membunuhku... Dan mungkin juga dia akan membunuh Mana...
Ya.... Dia sama sekali tak bercanda. Dia benar benar gila.
Bagaimana bisa aku bertemu orang gila ini?
"Kak ada apa?" tanya Mana khawatir. Dia tak menyadari diriku yang gemetar ketakutan. Syukurlah.....
Karena jika dia menyadari....
Menyadari diriku yang ketakutan....
Menyadari ada yang aneh dengan pria ini.....
Maka saat itulah akhir hidupnya....
"Ah.... Mana, sebenarnya dia temanku" kataku sambil mencoba tersenyum. Keringat dingin mengalir dipunggungku. Entah kenapa kurasakan aura dingin merambat sampai keleher.
"Hah?!" Mana nampaknya terkejut dengan pernyataan tiba tibaku. Tentu saja dia memasang raut muka tak percaya. Dia menatapku demgan mata curiga. Yah... Aku tahu apa yang dia pikirkan. Pergantian kejadian ini pasti terlalu cepat baginya sehingga otaknya menolak untuk menyerap informasi baru.
"Dia temanku. Aku marah padanya karena dia tiba tiba datang" kataku mencoba menipu. Sungguh, lidahku terasa kelu saat mengatakan omong kosong itu.
Mana, tolong percayalah pada kakakmu ini. Ini demi kebaikanmu sendiri. Kumohon....
"Lalu kenapa kakak meminta tolong tadi? Tunggu, apakah dia benar benar teman kakak? Mana ada teman yang akan menyakiti temannya" dia sama sekali tak mempercayai ucapanku. Bagaimana ini.... Aku harus segera melakukan sesuatu...
Tak ada cara lain. Satu satunya cara cepat untuk membuat Mana langsung mempercayai semua ucapanku adalah....
"Mana, apa kau pikir kakakmu ini akan berbohong?" tanyaku dengan raut muka memelas. Bagai serangan tak nyata pada jantung Mana, dia langsung luluh melihat raut memelasku.
"Oh begitu ya.... Dia pasti teman kakak. Kakak kan bilang sendiri, mana mungkin kakak membohongiku" Mana menyingkirkan semua spekulasi dan rasa curiganya. Dia mempercayai apapun yang kukatakan dengan raut muka memelas.
"Aku lapar Mana dan kau menumpahkan makanannya. Bisakah kau membawakanku makanan lagi?" tanyaku padanya. Mana, cepat pergi!! Kau harus segera lari!!! Itulah yang sebenarnya ingin kukatakan.
"Baiklah kak. Aku akan membawakannya juga untuk temanmu, dia pasti lapar kan?" dengan langkah ringan Mana meninggalkanku sendirian dan kembali kedapur.
Dia tak mencurigaiku...
Dia sama sekali tak mencurigai acting dadakanku.....
Syukurlah..
Begitu Mana menghilang dari pandangan mataku, aku langsung jatuh melorot kelantai. Kakiku tak kuasa lagi untuk berdiri. Ya ampun... Ini bukan waktunya seperti ini... Yang harus kita lakukan sekarang adalah mencoba bertahan dari serangan orang gila ini!!
"Waw.... Kupuji kemampuan actingmu" laki laki itu kembali berbicara setelah sekian lama. Hawa membunuhnya kini sudah menghilang. Tapi aku tak tahu kapan hawa itu akan muncul dan kemudian dia akan menyerangku.
Aku menatap lantai dengan mata bergetar. Diriku masih saja ketakutan. Tadi pria ini jelas berniat membunuh Mana. Aku tahu pasti. Hawa membunuhnya tadi membuatku seolah tercekik, tanpa sadar aku melakukan tindakan penyelamatan pada Mana. Mana mungkin tak tahu kalau pria ini berusaha membunuhnya. Tapi aku tahu pasti. Tentu saja aku tahu, untuk orang yang sering berpetualang sepertiku itu bukanlah hal yang sulit untuk diketahui.
"Siapa kau sebenarnya? Kurasa kau bukan orang biasa" suaraku keluar lirih. Bahkan dari hawa keberadaannya aku bisa langsung tahu kalau dia bukan manusia pada umumnya.
"Lagi lagi kau menanyakan hal yang sama. Padahal seharusnya kau sudah tahu siapa diriku. Ngomong ngomong, kau kakak yang baik yah... Tak kusangka kau akan melindunginya... Padahal aku ingin menghilangkan ingatannya dengan sihirku" keluh laki laki itu, dia nampaknya kecewa berat karena tak bisa menggunakan kesempatan ini untuk menunjukan sihirnya....
Tunggu.... Apa?!
Ha.. Ha... Ha... Pasti aku hanya salah dengar..
Tadi pria ini bilang sihir kan? Yah, pasti aku salah dengar... Mana ada orang didunia nyata yang membicaran sihir. Jika itu didunia novel maka itu mungkin saja terjadi.
Dan jika Mana mengetahuinya, dia pasti...
Aku langsung menoleh ketika kurasakan sinar hangat yang memenuhi ruang. Diruangan yang seharusnya remang remang, kini cahaya ungu mengisi seluruh ruang. Dan naasnya sinar itu berasar dari tangan pria misterius itu. Ada api berwarna ungu ditangannya. Api itulah yang menghasilkan sinar ungu tersebut. Aku merasa seperti melihat ilusi, seperti melihat sihir.
Ya. Seperti melihat sihir....
Dan jika Mana mengetahuinya...
"Hei!!! Kau gila yah!!! Cepat sembunyiakan hal itu!! Cepat padamkan apinya!!" kataku sambil cepat berdiri dan memojokkannya ketembok. Dia nampaknya sangat kaget dengan sikap dadakanku, tapi sekarang aku tak peduli hal itu.
"Apa apaan sih... Kenapa kau berkata seperti itu tiba tiba!!" dia nampaknya kesal karena aku berteriak padanya. Tapi sepertinya lebih dari itu, dia kesal karena aku memojokkannya ketembok.
Yah, bagaimanapun posisi kami bisa membuat salah paham orang yang melihatnya. Kedua tanganku mengurung tubuhnya. Dia tak bisa kemana mana karena terhalangi tembok dibelakangnya. Tapi, mari lupakan itu karena...
"Kubilang cepat sembunyikan!!", teriakku marah "Cepat sebelum Mana mengetahuinya!!"
Dia membulatkan matanya paham. Sekarang dia sepertinya paham betul alasanku langsung marah nan panik serta menyuruhnya langsung menyembunyikan api ungu ditangannya. Aku takut Mana sampai mengetahuinya, mengetahui keberadaan sihir. Bukan berarti aku ingin menyembunyikannya. Hanya saja tak ada hal baik yang akan datang jika kau mengetahui sesuatu semacam sihir.
Tapi laki laki didepanku bukanlah laki laki yang baik. Dia tak bisa diajak bekerja sama. Dia bukanlah orang yang akan memenuhi permintaanku bahkan jika aku sampai memohon dengan berlinang air mata. Orang didepanku adalah orang yang jahat, tak peduli pada hidup orang lain.
"Oh.... Sepertinya kau punya sesuatu yang lebih berharga dibandingkan nyawamu yah..." senyum jahatnya mengembalikanku pada kenyataan. Kenyataan bahwa laki laki ini berusaha membunuhku tadi.
"A-apa maksudmu?" lidahku tiba tiba kelu, tak bisa bergerak. Keringat kembali keluar dari dahiku, membasahi wajah. Sekarang aku kembali ketakutan.
"Adikmu, sepertinya kau sangat menyayangi adikmu yah..." kata pria dihadapanku lagi. Matanya yang bersinar merah menatapku dengan tatapan dalam. Seolah dia sedang menimbang sesuatu, membiarkannya hidup atau membunuhnya.
"A-apa yang kau rencanakan pada Mana?" tanyaku gugup. Tapi tak ada jawaban yang keluar dari bibirnya, hanya digantikan senyuman. Aku bahkan langsung tahu apa arti senyumannya.
"Jangan bunuh Mana... Tak apa jika kau membunuhku, tapi jangan bunuh Mana karena dia tak tahu apapun" kataku lirih. Aku menyerah. Hidupku akan berakhir disini. Demi Mana, aku harus berkorban. Setidaknya dengan begini Mana selamat dari pembunuh gila bermata merah ini.
"Dugaaanku benar, ternyata kau lebih menyayangi adikmu dibandingkan dengan nyawamu sendiri" dia juga berkata pelan. Kurasakan ada kesedihan di nada kalimatnya, tapi sepertinya itu hanya ilusiku semata. Dia pasti tak benar benar sedih, dia hanya mencoba mempermainkan perasaanku saja.
Tepat saat itu...
Tok... Tok... Tok... Suara ketukan pintu terdengar, mungkin itu Mana yang kembali mengantarkan makanan untukku. Tapi kenapa bisa secepat ini? Ini baru sekitar empat menit, bagaimana bisa? Mana, makanan apa yang kau buat yang hanya membutuhkan waktu dibawah lima menit?!
"Kakak, aku masuk ya" tanpa mendengar jawaban dariku Mana langsung menerobos masuk. Dia membawa nampan berisi dua mangkuk didalamnya.
Laki laki dihadapanku langsung menyingkirkan tanganku dan menuju kearah Mana, aku hanya bisa diam membeku melihat semuanya terjadi. Habislah nasib kami....
"Aku lapar, mana bagianku?" tanya pria itu kepada Mana dengan nada santai.
"Ini... Berterima kasihlah pada kakak, kalau tidak maka aku takkan pernah membuatkanmu makanan" Mana berkata kesal sambil menyodorkan sebuah mangkuk yang masih mengepulkan asap.
"Hah... Memangnya ini makanan?" tanya pria itu setelah melihat isi mangkuk.
"Kau ini yah... Ini mie instan. Jelas ini makanan lah" Mana tak terima perkataannya, dia berkata dengan nada ketus. Sepertinya hubungan mereka tidak baik.
"Oh... Baru pertama kali aku melihatnya" gumam pria itu kagum.
"Hah.. Baru pertama kali melihatnya? Memangnya kau ini orang zaman dahulu sampai sampai tak tahu mie instan" keduanya bercakap cakap beberapa kata lagi, tapi aku tak terlalu mendengarnya karena aku masih saja kaget dengan situasi yang ada.
Apa aku selamat? Apakah dia tak jadi membunuh diriku? Dia takkan membunuhku dan Mana kan?!