Chereads / Ramalan Takdir / Chapter 7 - Bertemu Lelaki Misterius

Chapter 7 - Bertemu Lelaki Misterius

Setelah kejadian itu, aku hanya tiduran dikasur. Mengurung diri dan tak pergi kesekolah. Tapi bahkan walau sudah seperti itu, ayah sama sekali tak menjengukku atau menanyakan alasan padaku. Dia sampai akhir tak peduli padaku.

Tapi berbeda dengan Mana, setiap jam makan, dia selalu datang kedepan kamarku. Membawakanku makanan dan menanyakan keadaanku, tentu saja aku tak menjawab pertanyaaannya. Aku sedang tak ingin bertemu siapapun sekarang. Karena tak kunjung mendapat jawaban dariku, dia meninggalkan nampan makanan didepan kamarku dan pergi meninggalkanku. Mungkin dia tahu kalau aku sedang ingin sendirian saja.

"Aku ingin tahu kondisi anak itu sekarang" gumamku lirih sambil menatap daun yang nampak gelap dari jendela lantai dua. Sambil membawa bantal dipelukanku, aku memulai pekerjaan harianku sekarang yaitu melamun.

"Sungguh, aku lelah menjalani kehidupan seperti ini" gumamku sambil kembali kekasur. Sekarang sudah malam hari. Seharusnya Mana akan segera datang dan membawakanku makanan.

"Hari ini dia terlambat" aku membalikkan tubuhku lelah. Aku benar benar lapar sekarang, kapan Mana akan datang kemari? Yah, aku sepertinya tahu alasan dia terlambat hari ini. Hari ini ayah akan bekerja lembur, hingga mungkin takkan pulang sampai dini hari. Karena itulah Mana sendiri yang harus menyiapkan makanan. Pada hari biasa, akulah yang biasanya melakukan itu. Tapi itu hanya pada hari biasa....

Aku menunggunya setelah sepuluh menit, ia tak sampai juga. Lalu dua puluh menit kemudian, ia juga belum mengetuk pintu kamar untuk menanyakan keadaanku sekaligus mengantarkan makanan.

"Apa membuat makanan sesusah itu? Kurasa dia terlalu lama. Apa terjadi sesuatu padanya?" tanyaku dalam hati. Entah kenapa firasat buruk menghampiriku. Mana, jangan katakan kalau kau tak baik baik saja!!

Aku segera bangun dari kasur. Mari kita move on sejenak, tinggalkan dulu kesedihan karena sekarang mungkin Mana sedang kesusahan ataupun dalam bahaya.

"Mana, kau baik baik saja bukan?" gumamku pelan sambil hendak berjalan keluar dari kamar. Tapi tepat sebelum aku keluar kamar, sebuah suara mengagetkanku.

Braaakkk.....

Tiba tiba daun jendelaku terbuka lebar. Aku yang mendengar hal itu langsung melompat karena kaget. Astaga... Kenapa kau membuatku kaget disaat saat yang mencekam seperti ini hah?!

Tapi disana tak ada siapapun. Apakah mereka terbuka karena angin? Yah mungkin begitu. Mari pikirkan itu nanti dulu!! Sekarang kita harus secepatnya pergi ke Mana. Gawat kalau sampai dia terkena masalah.

Tapi sekali lagi, sebelum aku sempat membuka pintu kamar, sebuah suara mengagetkanku. Ini bukan lagi suara jendela yang terbuka dengan keras, melainkan suara seseorang, lebih tepatnya seorang pria. Suaranya dingin, membuatku langsung meneteskan keringat gugup.

"Ri-a-na. Jadi kau yah.... Orang yang bernama Riana" ucap suara itu. Instingku langsung berkata kalau ini adalah masalah serius.

Aku berbalik cepat, melihat sekeliling ruangan. Kurasakan darahku membeku begitu aku menemukan sesosok pria muda sedang berdiri sambil memeriksa buku catatan sekolahku. Apa dia mengetahui namaku karena membaca itu? Tunggu, bukan itu masalahnya sekarang! Masalahnya adalah siapa dia?! Bagaimana dia bisa masuk seenaknya kedalam kamarku?! Dan kenapa dia memanggil namaku?!

"Si-siapa kau?" kataku gugup. Suaraku seolah tak mau keluar, tersangkut ditenggorokan. Keringat dingin mengalir dipunggung dan dahiku. Kurasakan hawa berbahaya keluar dari tubuhnya.

"Aku? Kau bertanya siapa diriku? Entahlah.. Siapa diriku aku juga tak tahu" laki laki itu, dia pasti ingin dilempar bantal! Bagaimana dia bisa tak tahu tentang dirinya sendiri?! Tapi, redakan dulu emosi. Aku harus berpikir jernih disituasi seperti ini.

"A-apa alasanmu datang kemari?" pertanyaan itu keluar tanpa sadar dari mulutku. Aku harus sangat berhati hati, entah kenapa aku merasa perasaan terancam yang sangat kuat.

"Tujuanku datang kemari? Pasti kau sudah tahu kan" laki laki itu sungguh membuatku jengkel. Bagaimana bisa aku tahu tujuanmu hah?! Kau kira kejadian ini akan tertulis dibuku sehingga aku bisa membacanya? Tak ada sama sekali!!! Kajadian ini tak ada!!

"Mana kutahu!!! Memangnya aku bisa membaca pikiranmu hah?!" akhirnya kesabaranku habis. Mulai dari dirinya yang masuk kamar orang lain sembarangan, mengagetkanku hingga tak mau menjelaskan identitas dan tujuannya, itu semua membuatku hilang kesabaran.

"Sungguh, apa kau benar benar tak tahu alasanku datang kemari?" dia berkata sambil mendekatiku. Jalannya pelan, membuatku semakin terpojok. Tanpa sadar aku melangkahkan kakiku kebelakang, mencoba mundur dan menjauhinya.

"Ah.... Sepertinya kau benar benar tidak tahu ya.... Biar kuberi tahu, aku datang kemari untuk membuat perhitungan denganmu. Dengan kata lain, aku datang untuk membunuhmu" begitu mendengar kata itu, seluruh tubuhku bergetar ketakutan. Aku, yang sudah banyak melihat kematian, tak disangka akan mati dalam usia yang masih sangat muda yaitu lima belas tahun.

"Perhitungan? Memangnya aku punya kesalahan apa?" kataku mencoba mengulur waktu. Ayo ulur waktu!! Sebentar lagi Mana akan datang kemari, pria ini takkan berani macam macam jika ada orang yang melihat.

"Kesalahan yah... Entahlah... Aku hanya sedang merasa bosan dan kebetulan menemukan mainan yang tepat" sambil tersenyum jahat, dia kembali maju satu langkah. Tubuhku semakin gemetaran ketika dia mendekat.

Gila!! Dia pasti sudah gila!!! Kenapa aku bertemu orang gila ini hah?! Bisa bisanya dia menganggapku mainannya!! Dia pikir aku bukan manusia hah?! Lalu, apakah kau datang ingin membunuhku hanya karena bosan?! Yang benar saja!! Kalau kau benar benar bosan, maka lakukanlah hal lain yang lebih bermanfaat!!!

"Ha... Ha... Ha... Kau pasti sedang bercanda kan?" kataku gagap. Ya, dia pasti bercanda. Mana ada orang yang membunuh orang lain hanya karena bosan. Memangnya dia tidak takut ditangkap polisi?

"Apa aku terlihat sedang bercanda?" mata merah yang bersinar dalam mengatakan padaku, kalau dia benar benar tidak bercanda. Ha... Ha... Ha... Hidupku benar benar menyedihkan.

"Tu-Tunggu, setidaknya kau harus menjelaskan alasanmu datang kemari dan siapa dirimu" aku terus melangkah mundur, yang sayangnya langsung menabrak tembok. Sekarang aku tak bisa melangkah mundur lagi!!!

"Bukankah sudah kukatakan, aku datang kemari untuk membuat perhitungan denganmu. Dan siapa diriku? Kau pasti lebih mengenalku" dia tersenyum lebar saat melihatku meneteskan keringat dingin dan ketakutan. Apakah kau benar benar senang melihatku seperti ini hah?!

Mana... Tolong aku, Mana. Kaulah satu satunya harapanku, manusia yang bisa menyelamatku dari situasi mencekam nan membingungkan ini!!

"Baiklah, kurasa kau sudah siap mendapatkan hukuman" rambut hitamnya berkibar terkena angin malam yang masuk lewat jendela yang masih terbuka lebar.

Astaga.... Apakah benar aku akan mati disini? Haruskan aku mati diusia yang masih begitu muda? Kalau aku benar benar mati, apakah Mana akan menangisi kematianku? Apakah dia akan merasa kehilangan diriku?

Aku menelan ludah. Mana, kau adalah satu satunya harapanku. Tolong jangan tinggalkan aku. Kumohon datanglah sekarang!!!

Tepat saat itu.....

"Kak, maaf kak. Makan malamnya sedikit terlambat... Apakah kakak sudah tidur?" suara Mana terdengar dengan jelas ditelingaku.

"Kak, kenapa tak menjawab? Duh... Jadi apakah kau benar benar tidur?" pintu kamar terbuka. Disana terlihatlah gadis berusia tiga belas tahun, membawa nampan makanan yang nampak masih panas.

Dia berdiri diam. Mana hanya bisa terbengong melihat kami berdua. Tunggu Mana, jangan kau berpikir sesuatu yang tak masuk akal!!

"Ah... Kurasa aku mengganggu pertemuaan rahasia kalian. Maaf kak. Tenang saja, aku takkan menggangu dan akan tutup mulut kok" seketika raut muka Mana menjadi cerah. Dia kembali menutup pintu kamar tanpa suara sedikitpun.

Dia salah paham!!! Mana, kau salah besar!!! Ini tak seperti yang kau bayangkan!!!

"Ah... Sepertinya dia salah paham. Yah, kurasa itu lebih baik. Aku tak mau membunuh gadis cantik sepertinya" laki laki itu kembali menatapku.

Haruskah aku bersyukur karena Mana salah paham? Dia selamat karena kesalah pahamannya. Jika dia sampai menyadari situasiku, mungkin Mana juga akan kehilangan nyawanya.

Tapi, walau aku tahu seperti itu, aku tetap ingin hidup!! Mana, tidak bisakah kau menyelamatkanku? Tolong Mana... Selamatkan saudarimu yang sedang menghadapi orang gila ini!!!

Hatiku bimbang. Ingin rasanya aku berteriak, meminta bantuan. Tapi kalau seperti itu, Mana juga mungkin akan dalam bahaya. Juga tak ada kemungkinan kalau Mana bisa menyelamatkanku. Resikonya terlalu besar dibandingkan keuntungannya.

"Mana!!!! Selamatkan aku!!!" pada akhirnya mulutku berteriak. Ternyata aku masih tak mau mati. Betapa berdosanya diriku, sampai melibatkan Mana dalam urusan yang tak diketahuinya.

Tak ada jawaban. Mana tak menjawab panggilanku. Mungkinkah dia tak mendengarnya? Mungkinkah suaraku terlalu lirih untuknya?

Tak peduli apapun alasannya, yang pasti sekarang aku akan mati. Oleh orang gila bermata merah dan berambut hitam panjang.

"Hahaha... Sepertinya dia takkan menyelamatkanmu. Sekarang matilah menebus dosamu" tepat saat tangan pria itu hendak bergerak, aku menutup mata pasrah. Inilah akhir kehidupanku.

Tapi tak ada yang kurasakan beberapa saat kemudian. Sepertinya tak terjadi apapun.

"Beraninya kau menyentuh kakakku!! Apa kau sudah bosan hidup?! Kalau mau mati, aku bisa mengantarkanmu" terdengar suara didepanku. Itu suara Mana. Apakah dia menyelamatkanku?

Aku membuka mata. Mana berdiri tepat dihadapanku, menjadi tameng bagi diriku. Ditangannya ia memegang senjata yang sepertinya akan digunakannya.

Ialah sendok garpu. Apakah ia mengambilnya dari nampan makanan?

"Kak Riana, kau tak apa apa? Maaf kak, seharusnya aku langsung menyelamatkanmu, tapi aku malah meninggalkanmu. Kupikir dia temanmu. Maafkan aku kak" Mana mengatakan hal itu tanpa menengok kebelakang. Dia masih saja mengacungkan sendok garpunya kedepan. Memberi isyarat kalau dia akan menusuknya kalau laki laki itu mendekat satu langkah lagi.

Mana, kau benar benar malaikatku!! Bagaimana bisa aku mendapatkan adik tiri sebaik dirimu.

Tapi ini bukan waktunya senang. Mungkin seharusnya aku tambah takut sekarang karena wajah pria muda itu menjadi gelap. Seolah ada awan hitam menggantung disana.

Sepertinya akan ada badai yang menimpa kami berdua.