[Sang adikpun mati didalam menara penyihir, tempat terlarang. Dia tak bisa menghindari kelompok itu dan mati ditempat dimana tak seorangpun yang mau datang kesana.]
Entah kenapa aku tiba tiba teringat bagian dari kisah dalam buku. Buku yang menjelaskan kisah anak kecil ini. Ya... Itu adalah takdirnya, dia ditakdirkan mati dalam menara penyihir.
Tapi bahkan jika aku sudah mengetahuinya, hanya itulah satu satunya tempat yang bisa digunakan untuk sembunyi. Jika kita tetap diam disini, kita hanya akan ditangkap lebih cepat dibandingkan dengan dikisah asli.
Tapi bagaimana mungkin aku bisa menggiringnya masuk ketempat dimana dia akan mati.
"Kak Riana, aku takut kak" anak laki laki ini, tubuhnya gemetaran, pelukannya juga semakin kuat, dia pasti sangat ketakutan.
Tak ada waktu lagi untuk berpikir, secepatnya aku harus menyelamatkannya. Dengan langkah tergesa gesa, aku menggendongnya dan berlari cepat kedalam menara.
Kami sampai dilantai tertinggi menara, didalamnya banyak barang membuat kami bisa bersembunyi dengan leluasa. Disini juga banyak cairan dalam tabung, apakah itu obat? Ataukah racun?
Aku segera memutuskan, kita bisa sembunyi disini, asalkan mereka tak menemukan kita maka kita berdua akan baik baik saja.
Tapi masalah terus bertambah, demamnya tak mau turun. Jika terus seperti ini, mungkin demamnya akan bertambah parah dan menyebabkan kematiannya. Bibirnya juga berubah menjadi ungu, begitu pula kulitnya. Apakah dia terkena racun? Bagaimana bisa!! Kalau begitu aku harus cepat mencari penawarnya, mungkin didalam sini ada penawarnya. Bagaimanapun ini adalah milik penyihir terkuat sepanjang sejarah, dia pasti punya penawar segala racun.
"Aku akan pergi sebentar, kau tetaplah disini dan jangan bersuara" kataku padanya dengan nada pelan nan tegas. Dia mengangguk mengerti, ditambah dia menutup mulutnya tanda dia takkan banyak bersuara.
Dengan langkah kilat, aku mengelilingi ruangan. Banyak sekali botol berisi cairan hitam dan warna warna mencolok lainnya.
"Yang mana!! Pasti ada salah satunya penawar racun" kataku sambil menggigit bibir bingung, sama sekali tak pernah terbayang bagiku akan jadi seperti ini. Kupikir membedakan obat dan racun itu mudah, tapi ini sama saja!! Mana obat dan mana racun, tolong katakan lebih jelas!!
Tanpa sadar aku telah kehabisan waktu. Aku baru menyadarinya saat aku mendengar jeritan anak laki laki yang tadi sudah berjanji untuk tak bersuara.
"Kak Riana!! Hmmm.... Hmmmm..." suaranya menghilang karena sebuah tangan menutupinya. Tangan besar milik seorang laki laki dewasa yang nampak seperti raksaksa sekarang.
"Hei, kau baik baik saja?" tanyaku khawatir sambil berlari kearahnya. Tapi begitu sampai, yang bisa kulakukan hanyalah menelan ludah.
Aku terlambat.
Anak itu telah jatuh ketangan kelompok yang ingin membunuhnya.
Segera, aku berlari kearah mereka semua. Jika kalian berani, lawan aku!! Jangan gunakan anak kecil sebagai tameng!!
"Minggir nona, jangan menghalangi kami! Kami harus membunuh anak terkutuk ini agar kami bisa kembali mendapat kedamaian, agar ibu alam tak lagi marah pada kami" seorang pria berbadan besar mengatakan hal itu sambil meninju perutku. Aku yang tak siap dengan serangan langsung terpental dua meter jauhnya. Melihatku terpental dan mendarat dengan keras, anak yang sedang disandera pria lainnya memberontak, yang langsung ditodong pisau tepat di depan lehernya.
Aku marah
Anak terkutuk? Kau bilang anak berhati malaikat ini sebagai anak terkutuk?! Jangan bercanda!! Lalu ibu alam akan kembali tenang jika kau membunuhnya? Memangnya siapa yang membuatnya marah. Bukankah kalian sendiri yang membuatnya marah, kenapa kau limpahkan segala dosamu pada anak kecil yang tak bersalah!!
Aku mengambil sesuatu dari tas belakang lalu menyeka darah yang keluar dari mulutku. Kurasakan rasa sakit diperut tempat tendangan mendarat, tapi jangan pedulikan itu. Yang perku dipedulikan sekarang adalah cara menyelamatkan anak itu.
Jika aku membunuh semua orang yang mengepung kami, apakah anak itu akan selamat? Apakah takdir kematiannya akan berubah? Aku selalu bertanya dalam hati.
Tapi bukan itu yang penting, yang penting adalah apakah aku bisa membunuh mereka semua. Ya, aku yakin kalau aku bisa namun apakah hati nuraniku mengizinkannya? Apakah tak apa jika aku membunuh orang lain? Hatiku bimbang sekarang, kupegang erat erat senjata yang telah kusembunyikan.
"Kak Riana, selamatkan aku" anak laki laki itu memanggil namaku dengan nada serak, ingin menangis. Kubulatkan keputusanku.
"Aaaaaaaa....." teriakku membulatkan tekad. Kukeluarkan pedangku dan berlari kearah mereka semua. Aku akan membunuh mereka demi anak tak berdosa itu!!
Tapi kau tak bisa merubah takdir kematian, itulah kata kata yang diucapkan bibiku dulu. Sekarang aku benar benar menyadari apa artinya itu.
Sinar dari buku membungkus diriku, mempersiapkan diri membawaku ke dunia nyata.
Tolong jangan sekarang!!! Biarkan aku menyelamatkannya dulu!! Kumohon....
Tapi sebanyak apapun aku meminta, buku itu takkan mendengarkan permohonanku.
"Kakak... Jangan tinggalkan aku sendiri!!" itulah kata kata terakhir dari anak laki laki itu yang terdengar ditelingaku, tepat sebelum sinar membungkusku sepenuhnya dan menyilaukan mataku.
Begitu aku membuka mata, latar berganti. Aku telah sampai diduniaku, dikamarku sendiri.
"TIDAKKKK!!!!!!"
****
Seorang pria berjubah hitam berjalan dengan tenangnya memasuki kawasan terlarang, menara penyihir.
Menara itu adalah menara milik penyihir terkuat sepanjang sejarah. Menara yang tampak tak terawat itu menyembunyikan beberapa benda ajaib dan banyak sekali ramuan kesehatan. Seharusnya menara itu tersegel dan tak ada orang yang bisa masuk, tapi kini segelnya rusak entah karena apa.
"Cih... Sepertinya ada tikus tikus yang sembarangan masuk" katanya kesal saat melihat beberapa jejak yang tersebar disepanjang tangga menara.
"Jika mereka sampai merusak ramuanku, akan kubunuh para tikus itu" langkah kakinya menjadi cepat. Ia buru buru menaiki tangga dan naik kepuncak tertinggi, tempat dimana ramuan dan barang barang berharganya berada.
Begitu yang dia membuka pintu, yang ditemukan bukanlah tikus seperti gumamannya tadi. Tunggu, memangnya ia benar benar bicara tentang tikus? Dia pasti membicarakan para penyusup yang seenaknya saja masuk.
Yang ditemuinya disana hanyalah setumpuk mayat. Ya, itu adalah mayat para warga yang berusaha membunuh anak lelaki berusia sepuluh tahun itu.
Tapi meski begitu, masih ada yang bernapas. Napasnya terdengar sangat lirih hingga seakan akan bisa hilang kapan saja.
"Nona Malaikat, apakah kau masih disana?" tanya satu satunya orang dalam ruangan yang masih bernapas.
"Aku bukan Nona Malaikat, aku manusia biasa" laki laki itu berjalan mendekat kearah anak berusia sepuluh tahun yang sedang sekarat.
"Racun yah... Diberi penawar sekarang juga takkan selamat" gumamnya pelan saat melihat keadaan anak kecil yang terbaring lemas dihadapannya.
"Nona Malaikat, apakah itu kau?" tanyanya sekali lagi sambil mengulurkan tangannya seperti hendak meraih sesuatu. Tapi yang diraihnya hanyalah udara kosong, tak ada apa apa diudara.
"Aku bukan Nona Malaikatmu, mungkin Nona Malaikatmu sudah pergi meninggalkanmu, kalau tidak maka kau takkan berakhir sendirian disini" laki laki itu menjawab dingin. Kata kata yang sangat dingin untuk orang yang sudah diambang batasnya.
"Nona Malaikat tak mungkin meninggalkanku. Tadi dia berselimut cahaya, sangat terang hingga membuat mataku silau. Saat dia pergi, dia menangis. Air matanya mengalir banyak" anak sepuluh tahun itu mengatakan sesuatu yang tak masuk akal sambil tersenyum. Ya, anak ini melihat dengan jelas apa yang terjadi pada Riana.
"Kau bilang dia takkan meninggalkanmu, tapi dia pergikan" laki laki itu mengerutkan kening mendengar perkataan sang anak kecil. Dia tak paham maksudnya.
"Dia takkan meninggalkanku... Pasti takkan meninggalkanku... Karena Nona Malaikat adalah orang yang baik" napasnya menjadi semakin lirih, ajal semakin mendekatinya. Tapi walaupun begitu, senyuman saat mengingat Nona Malaikatnya tak hilang.
"Orang baik? Kurasa bukan. Mana ada orang baik yang meninggalkan anak berusia sepuluh tahun sekarat begini" bahkan sampai akhir, laki laki berjubah tak percaya apa yang dikatakan anak kecil dihadapannya.
"Oh ya... Dia melarangku... Memanggilnya... Nona Malaikat.... Namanya... Riana" setelah mengatakan hal itu, napas tak lagi terdengar keluar dari paru parunya. Dia juga tak lagi bergerak.
Hujan turun membasuh menara, seolah alam juga menangis akan kepergian anak itu. Hawa dingin segera menyebar, seolah memberi kabar bahwa orang baik telah pergi.
Tapi mari kesampingkan kesedihan itu dulu, karena sekarang....
"Riana yah.... Orang itu, pasti akan segera kutemukan!!! Berani beraninya dia masuk ke menaraku tanpa izin!!" laki laki berjubah itu mengepalkan tangannya, membulatkan tekad. Matanya yang nampak merah bersinar dalam, seolah ada kobaran api yang terperangkap disana.
Ya, matanya berwarna merah. Rambutnya panjang berwarna hitam lembut. Mirip sekali dengan deskripsi deskripsi yang menggambarkan tentang penyihir paling kuat dalam sejarah.
Memang benar dialah orangnya. Penyihir paling kuat dalam sejarah. Orang yang bisa menghancurkan satu kerajaan hanya karena kemarahannya.
Orang yang tak berhati nurani. Dia membekukan hatinya sendiri. Tak peduli pada hidup orang lain. Jika orang itu mengincar Riana, dapatkan Riana bersembunyi darinya?