"Ma-malaikat, sampai kapan kita harus berlari?" tanya bocah kecil berusia sepuluh tahun yang sedang kutarik paksa untuk berlari. Saat mendengar perkataannya, aku merasa malu yang teramat sangat. Malaikat? Sejak kapan namaku menjadi malaikat?!
"Sebentar lagi, sampai orang orang yang mengejar kita sudah hilang semua" kataku dengan napas yang kembang kempis karena berlari. Kami terus berlari, menulusuri hutan belantara.
"Nona malaikat, tidak bisakah kita berhenti sejenak? Kakiku lelah" keluhnya saat kami telah tiba ditengah hutan. Saat aku melihatnya kembali, dia nampak sangat lelah. Raut mukanya merah dan berkeringat. Napasnya juga terdengar memburu, seolah olah jika tak demikian dia bisa kehabisan napas.
Aku mengedarkan pandangan kesekitar, amankah kalau kita beristirahat disini? Aku tak tahu. Tapi sesuatu yang nampak jelas disini adalah anak ini bisa pingsan karena kelelahan jika aku tetap melanjutkan perjalanan.
"Baiklah, kita akan istirahat sebentar. Tapi setelah itu kita harus kembali berlari, oke?" tanyaku padanya yang sudah terduduk ditanah. Dia langsung duduk begitu aku memperbolehkannya istirahat.
Aku menatap anak laki laki kecil itu dengan tatapan kasihan. Padahal ia baru berumur sekitar sepuluh tahun, tapi bisa bisanya dia mati secepat itu.
"Kak Malaikat, ada apa?" mungkin karena menyadari tatapanku, anak itu bertanya polos. Dia mengedipkan matanya yang bulat dan membuatnya tambah imut. Hei... Disini bukan aku yang merupakan malaikat, tapi dia sendiri!! Bagaimana bisa anak kecil ini begitu imut.
"Tidak ada apa apa kok. Ngomong ngomong, aku bukanlah Nona Malaikat, aku hanya manusia biasa" kataku padanya yang masih menatapku dengan tatapan imutnya.
"Tapi kata mama malaikat itu punya cahaya, mereka juga baik. Aku harus menjadi anak baik agar disayang malaikat" anak ini, astaga betapa polos dan imutnya dia. Seandainya Mana mendengar perkataannya, Mana pasti akan langsung memeluknya dan mengelus elus kepalanya karena gemas.
"Tapi tetap saja, aku bukan malaikat" kataku tak terima. Aku tak ingin disandingkan dengan makhluk suci itu, itu membuat diriku rendah diri.
"Iya kakak... Jadi nama kakak siapa?" sambil menggaruk garuk tanah hutan dengan ranting, dia bertanya tanpa menatap mataku.
Lagi lagi pertanyaan soal nama. Bukan berarti aku membenci namaku sendiri, tapi aku tak terlalu suka jika sosokku dikenal orang lain. Yang aku inginkan hanyalah dikenal sebagai nona muda yang tak sengaja mampir sebentar diakhir kehidupannya.
"Riana" kataku singkat, anak laki laki itu mengangguk begitu mendengar namaku.
"Nama yang cantik" gumamnya pelan.
"Tapi terlalu pasaran" keluhku pelan, mendengar hal itu anak laki laki itu menutup mulutnya menahan tawa.
Aneh. Kenapa kau tertawa? Apakah seaneh itu? Apakah namaku seaneh itu?!
Sebenarnya aku tak tahu ini dimana dan anak ini siapa, yang aku tahu pasti adalah aku harus segera menyelamatkannya. Yah, dialah anak yang akan mati dalam waktu dekat. Walaupun aku sudah mencoba membekukan hatiku sendiri, tapi aku tetap tak bisa mengabaikan anak kecil yang sebentar lagi akan menemui ajalnya.
Kalian pasti bingung kenapa aku bisa tahu hal itu, tentu saja karena kemampuanku.
Kuulangi perkenalan diriku, namaku Riana sang gadis pembaca masa depan. Karena aku bisa membaca masa depan, tentu saja aku tahu apa yang akan terjadi kedepannya. Tapi meski begitu, walaupun aku tahu masa depan apa yang akan terjadi, bukan berarti aku bisa mencampurinya dan mengubahnya sesuka hati.
Khususnya tentang kematian. Karena apa aku tak bisa mengubah kematian? Tentu saja karena kematian adalah hal yang pasti, hal yang tak dapat diubah oleh siapapun. Bahkan jika kau menangis air mata darah dan berusaha sampai tulang yang ada ditubuhmu remuk semua, itu takkan bisa mengubah kematian yang akan terjadi didepan matamu.
Dan jika kalian bertanya bagaimana dengan masa depanku? Apa yang terjadi denganku dimasa depan? Jawabannya aku tak tahu. Karena sama sekali tak ada petunjuk yang bisa kugunakan untuk melihat masa depan.
Entahlah... Kurasa masa depanku akan suram dan kelam. Bagaimana tidak, para pemegang buku masa depan memiliki masa depan yang suram.
Ya, aku adalah pemegang buku masa depan. Bukankah sudah kubilang bahwa aku membaca masa depan, tentu saja aku membaca masa depan orang lain dari buku itu.
Sebuah kisah akan muncul, biasanya dua minggu sekali. Dan kisah itulah yang harus kubaca, kenapa aku berkata harus? Karena jika aku tak membacanya maka kepalaku akan sakit. Sakit yang teramat sangat sampai sampai aku tak bisa menahannya. Kalau bisapun, aku tak ingin membaca kisah dalam buku itu. Buku itu hanya berisi kisah menyedihkan yang membuatku selalu geram dan meneteskan air mata.
Dan begitu aku selesai membacanya, diriku akan berteleportasi kedalam kisah itu. Aneh bukan?! Tak masuk akalkan?! Silahkan kalian anggap aku gila, tapi itulah kenyataannya.
Aku datang hanya untuk melihat dengan mata kepala sendiri akhir cerita yang kubaca. Aku datang untuk melihat kematian yang akan mengubah seluruh jalan cerita.
Dan sekarang adalah giliran anak ini, sekarang gilirannya mati dihadapanku. Dia memang bukan tokoh utama namun tetap saja kematiannya mengubah jalan cerita. Kakaknya, sang tokoh utama akan sangat marah begitu mendengar kematiannya. Dan bisa dibayangkan sendiri bukan kelanjutan ceritanya?
Aku akan kembali keduniaku begitu ini semua berakhir. Ya semuanya akan berakhir begitu dia mati.
Tapi memangnya aku bisa membiarkannya begitu saja?! Apa kau pikir, aku manusia tanpa hati nurani yang akan membiarkan anak kecil berusia sepuluh tahun mati didepanku tanpa melakukan apapun?!
Aku bukanlah orang yang tak berhati nurani seperti itu!! Bahkan jika aku tahu akhirnya, bahkan jika aku tahu kalau kematiannya takkan bisa dirubah, aku akan tetap berusaha sekuat tenaga. Karena masih ada harapan dalam hati!! Dan jika harapan itu mati, maka aku bukan lagi manusia melainkan moster yang tak peduli pada hidup orang lain.
Tetapi, apakah benar bahwa harapan itu dapat terwujud? Kematian adalah hal pasti dan jika mencoba mengubahnya maka akan menimbulkan kutukan. Ya... Seberapa keras aku mencoba, hasil akhirnya sudah diputuskan.
"Kak Riana, apakah kau membawa air?" tanya anak laki laki itu lemas. Wajahnya nampak pucat, mungkinkah ia terkena dehidrasi?
"Oh, aku punya.... Minumlah yang banyak" aku menyerahkan botol minumku padanya. Saat aku memberikan botolnya, aku tak sengaja menyentuh kulit tangannya.
Tangannya panas.
Membara bagaikan aku menyentuh oven atau loyang kue yang masih panas.
"Hei, kau tak apa apa?" tanyaku panik begitu mengetahui suhu tubuhnya.
"Hah, maaf kak aku tak mendengar suaramu. Kepalaku sangat sakit, seperti ada yang memukul gendang ditelingaku" keluhnya sambil memegang kepalanya. Tangannya gemetaran, kulit wajahnya pucat, warna paling pucat yang pernah kulihat.
"Hei... Bertahanlah sebentar lagi!! Aku akan segera membawakanmu obat" kataku sambil hendak meninggalkannya, aku akan mencari obat darurat dalam hutan!!
"Kakak... Jangan tinggalkan aku" gumamnya pelan sambil memegang bajuku. Aku yang melihatnya begitu menderita sekarang hanya bisa menggigit bibir. Apa yang harus kulakukan sekarang?!!
Tak sempat aku berpikir, tiba tiba sebuah anak panah melesat cepat melewati anak ini dan juga melewatiku. Untunglah ia tak mengenai kami berdua. Anak panah itu menancap dalam dipohon tepat dibelakang kami.
"Siapa itu?!" kataku marah. Bisa bisanya seseorang memanah kami disaat saat seperti ini!! Memangnya kami binatang buruan hah!!
Tak ada jawaban, hening mencekam menggantung dipohon dalam hutan. Bulu kudukku berdiri tegak, entah kenapa aku merasakan firasat bahaya.
Aku lupa....
Saking fokusnya pada demam anak ini, aku sampai lupa jalan ceritanya, aku sampai lupa takdirnya dimasa depan.
Sekelompok warga sedang mengejar kami, bukan lebih tepatnya mengejar anak ini. Mereka hendak membunuhnya atas tuduhan yang tak mungkin bisa dilakukan anak berusia sepuluh tahun. Astaga... Kenapa nasib semua tokoh harus dibunuh?!
Secepatnya aku menggendong anak itu dengan tubuhku yang kecil. Anak laki laki itu tampak terkejut karena aku menggendongnya, dia memeluk leherku erat erat, seolah takut terjatuh.
"Kak Riana, apa yang sedang terjadi?" tanyanya bingung saat melihatku menggendongnya dan berlari secepat mungkin. Aku dengan napas terengah engah menjawab pertanyaannya.
"Tenanglah nak, kakak akan menyelamatkanmu" kataku dengan hati hati sambil berlari dalam hutan. Sangat sulit bagiku berlari sambil menggendong anak kecil, tapi itu masih bisa kuatasi.
Masalah yang sebenarnya adalah kecepatanku menjadi menurun, lama kelamaan kita berdua bisa terkejar. Dan masalah yang tiba tiba muncul adalah sekarang didepanku ada danau.
Kenapa danau menghadang disaat saat seperti ini?!! Aku ingin berteriak frustasi, tapi tak ada waktu untuk itu. Sekarang adalah waktunya melarikan diri, bahkan jika aku tak bisa melarikan diri, aku perlu bersembunyi.
Aku butuh tempat bersembunyi!! Dimanapun itu, asalkan sepi dan tak ketahuan. Aku butuh tempat seperti itu!!
Saat aku mengedarkan pandangan, aku menemukan sebuah menara besar, menara yang terlihat tua dan tertutup oleh lumut. Menara yang tak terawat dan sudah ditinggalkan.
I-itu menara penyihir.