Chereads / Ramalan Takdir / Chapter 3 - Mimpi buruk part 2

Chapter 3 - Mimpi buruk part 2

Hari ini wanita itu menyuruhku pergi ke pasar. Dia memintaku membelikan barang yang ia perlukan. Dengan saat berat hati aku melangkahkan kakiku dan meninggalkannya. Aku tahu, harusnya hari ini aku tak meninggalkannya dan tetap berjaga disisinya. Tapi ini mungkin akan menjadi permintaan terakhirnya, aku harus memenuhinya.

Ya, dua minggu tepat telah berlalu sejak aku sampai disini, itu artinya hari ini wanita itu akan mati. Aku melihatnya mati dan tak melakukan apapun.

Bahkan jika aku kembali sekarang, tak akan ada gunanya. Aku tak bisa sedikitpun membantunya, itulah yang ingin kupikirkan.

Tapi kenyataannya tak bisa...

Kupacu kudaku secepat mungkin, angin dengan ganas menabrak pipiku dan menerbangkan rambutku. Tapi hal itu sama sekali tak kupedulikan. Secepatnya.... Secepatnya aku harus pulang dan menjaganya.

Apa sekarang dia sedang sakit? Tidak, dia sehat. Jika kalian bertanya apa alasannya mati hari ini adalah karena...

Akhirnya pintu rumah itu terlihat. Aku menarik kekang kuda dan dengan cepat melompat turun. Dengan langkah yang terburu buru serta napas yang masih kembang kempis, aku berlari kearah pintu depan.

Kupikir aku akan bisa terus menghindarinya. Kupikir akan lebih mudah jika aku tak merasakan apapun padanya, bagaimanapun dia akan mati, aku tak ingin terlibat perasaan khusus padanya. Tapi ternyata aku tak bisa menjadi sejahat itu. Sejak dia menawariku tempat tinggal, sejak dia bersikap baik padaku, perlahan lahan dinding kokoh yang ingin ku buat runtuh. Ternyata aku selemah itu terhadap kebaikan. 

Tanganku gemetaran hebat begitu hendak memegang gagang pintu. Bahkan dari jarah sejauh ini, aku dapat menciumnya. Bau yang sangat kubenci.

Bau anyir darah.

Secepat kilat aku membuka pintu, berlari kedalam. Memanggil namanya berkali kali tapi sama sekali tak ada jawabannya. Membuka kamar demi kamar, memastikan lokasinya. Tak butuh waktu lama sampai aku menemukan tubuhnya yang penuh luka bersandar lemah disofa istirahat yang beberapa hari lalu ditempati kami berdua.

"Kenapa... Kau kembali secepat ini?" suaranya serak, ia tampak terkejut melihatku datang diwaktu yang tidak tepat.

"JANGAN BICARAKAN HAL ITU!! PERTAMA KAU HARUS MENGOBATI DIRIMU SENDIRI" Aku berlari kearahnya, melihat lukanya. Lukanya parah, luka bekas tebasan pedang dan luka tusukan. Melihatnya membuat air mataku ingin mengalir. Bukan hanya tubuhnya saja, bahkan ruangan ini berantakan seperti habis dirampok sekelompok bandit kasar.

"Cepat gunakan kekuatan penyembuhanmu, lukanya akan bertambah parah jika kau membiarkannya saja" aku dengan cepat menempatkannya diposisi nyaman dan melakukan pertolongan pertama.

"Kenapa... Kenapa kau datang.... Secepat ini?" tanyanya kembali. Aku menggigit bibir marah mendengar perkataannya.

"Apa yang inginkan hah?! Apa kau pikir aku bisa membiarkanmu terluka begitu saja?" mungkin karena terbawa emosi aku jadi meninggikan suaraku diatasnya. Bagaimana bisa aku tak marah saat dia lebih mengkhawatirkan diriku dibandingkan dirinya yang terluka.

"Memangnya apa yang bisa kau lakukan?" mendengarnya berkata seperti itu membuat gerakan tanganku berhenti.

"Memangnya apa yang bisa kau lakukan? Bahkan jika kau sudah mengetahuinya, bahkan jika kau tahu aku terluka, memangnya apa yang akan kau lakukan? Tetap saja kau takkan bisa menyelamatkanku" wanita itu berkata lirih, tangan kanannya terangkat, mengelus pelan pipiku yang sepertinya akan basah karena sungai air mata.

Perkataannya menyadarkanku. Tak ada yang bisa kulakukan, aku tak bisa melakukan apapun untuk membantunya. Tak satupun. Tak terasa air mata mengalir dari mataku, air mata yang sejak tadi kutahan tumpah tak terkendali.

"Setidaknya... Setidaknya aku ada disampingmu, setidaknya tadi aku akan berusaha melindungimu" kataku serak. Jika saja dia tak menyuruhku pergi tadi, jika saja dia berkata dia ingin aku berada disisinya, aku juga takkan meninggalkannya.

"Ha.. Ha... Ha.. Musuh yang kuhadapi itu kuat, kau takkan membantu banyak. Yang ada malah kau akan kehilangan nyawamu" wanita yang terduduk sekarat didepanku kini mencoba memaksakan diri untuk tersenyum. Tapi bukannya meringankan beban hatiku, hal itu malah membuatku semakin sakit hati.

"Memangnya kenapa?! Bahkan jika mereka menusuk jantungku, bahkan jika mereka mencoba membunuhku, aku takkan mati!! Lalu kalau aku benar benar mati, juga tak akan ada yang menangisi kematianku. Mungkin tak apa jika aku mati, tak akan ada yang berubah didunia ini" kukatakan itu keras keras. Selama ini semua orang yang kutemui selalu berpikir aku menyedihkan, mereka mengasihaniku, dan mereka mengutamakan keamanan serta perasaanku. Apakah mereka tak tahu bahwa hal itu selalu membuatku merasa bersalah?! Apakah mereka tak tahu aku juga bisa melindungi diriku sendiri? 

Begitu mendengar teriakanku, wanita itu berhenti sejenak, ia nampaknya kaget mendengar perkataanku. Tapi sedetik kemudian dia tersenyum, senyum yang sama dengan yang ditampilkannya saat pertama kali bertemu denganku. 

"Kemarilah, sayang..." katanya pelan sambil merentangkan tangannya. Dia meminta pelukan dariku, dengan hati hati aku memeluknya, menghindari bagian lukanya. Wajahku terkubur dalam dadanya, rasanya aku masih bisa mendengar detak jantungnya yang semakin lama semakin melemah.

"Cup... Cup... Jangan menangis lagi.... Gadis cantik jangan menangis..." ia mengusap kepalaku pelan. Menenangkanku layaknya aku anak berumur lima tahun yang akan senang bila dipuji gadis cantik. Tapi itu sama sekali tak bekerja, itu tak bekerja padaku.

"Jangan katakan tak apa apa jika kau mati. Jangan katakan hal seperti itu nak, itu membuat hatiku terasa sakit. Seseorang akan sedih bila kau benar benar mati" suaranya memelan, lebih pelan dari sebelumnya.

"Anakku sayang, tolong jangan menangis lagi. Tak apa, ini bukan salahmu karena tak bisa menyelamatkanku. Aku senang kau menemani hari hari membosankanku. Maafkan aku kalau aku terlalu memaksakan kehendak" kata katanya mengalir lembut memasuki kepalaku, selembut elusannya pada rambutku. Sepertinya ia benar benar mengasihaniku.

"Jadi, siapa namamu?" tanyanya lembut, bahkan sampai akhir ia masih menanyakan namaku.

"Riana" jawabku pendek.

"Nama yang cantik, secantik pemiliknya" gumamnya sambil tersenyum.

"Kau tahu Riana, kau berkata kalau sebelumnya banyak orang yang menganggap dirimu menyedihkan. Yah, kuakui bahkan menurutku kau memang menyedihkan, kurasa hidupmu sangat menyedihkan. Tapi pada saat yang sama, aku merasa kau adalah orang yang tegar. Dan pasti orang yang kau temui sebelumnya juga merasakan hal yang sama. Mereka kagum padamu. Jadi, jangan menangis ya.... Jangan sampai hatimu hancur karena kematianku. Atau kalau tidak aku benar benar akan sedih" setelah mendengar perkataannya, aku merasa ada sepotong hatiku yang hilang. Air mata tak henti hentinya mengalir di pipi.

"Kau benar benar anak yang layak dicintai"

Tangan yang mengelus kepala berhenti, lemas dan jatuh tepat disamping tubuhnya. Suara detak jantung yang kudengar meskipun lirih dan suara napas yang terdengar cepat kini perlahan menghilang, sampai tak terdengar sama sekali.

Setelah beberapa saat, aku berpisah dengannya. Berdiri dihadapannya sambil memeluk buku yang kemarin kubaca. Air mata tak henti hentinya keluar, wajahku menunduk menatap lantai, tak berani menatap kedepan.

Buku ini, kemarin dia bertanya apakah aku membencinya.

Ya, aku membencinya. Sampai kapanpun aku akan terus menbencinya.

Lalu dia bertanya apa alasannya.

Karena isi buku ini hanyalah cerita nyata yang sangat menyedihkan. Buku ini hanya mengajarkan padaku kenyataan yang menyakitkan.

Bercerita tentang pahlawan perang wanita yang rela melakukan apapun demi kemerdekaan kerajaannya. Sakit, sedih dan segala perasaan lainnya bisa ditahannya.

Tapi setelah kemerdekaan kerajaannya, dia ditinggalkan dan dibuang. Tak dikenal siapapun, dan tak ingin dikenal siapapun.

Tak akan ada akhir bahagia dibuku ini, begitu pula nasibnya. Wanita itu dibunuh oleh kerajaan yang ia bela dan raja yang ia percayai. Raja menyamarkannya sebagai ulah bandit kasar.

Tak ada seorangpun yang berada disisinya, kecuali aku yang hanya bisa melihat tanpa melakukan apapun.

Cerita dibuku ini adalah cerita tentang wanita yang sekarang berada dihadapanku.

Cerita tentang kehidupannya.

Dan cerita tentang kematiannya.

Dan bahkan jika aku mengetahui semua hal itu, aku tak bisa melakukan apapun. Apapun yang bisa membantunya.

Yang bisa kulakukan hanyalah berdiri diam, aku tak bisa melakukan apapun.

Setelah hening begitu lama, muncullah sinar lembut dari buku yang sedang kupeluk. Sinar itu merambat mengelilingiku, membuat tubuhku seolah olah bersinar. Kemudian sinar itu menelanku bulat bulat, tanpa menyisakan apapun.

Aku hanya bisa menutup mata, larut dalam kesedihan yang tiada habisnya.

Latar berganti, ruang santai yang terkoyak koyak kini terganti dengan kamar redup yang tersinari cahaya bulan purnama. Cahayanya melewati kaca dengan mudah, aku tadi lupa menutup gordennya.

Dengan langkah gontai, aku berjalan menuju kasur. Menjatuhkan diri seolah tak ada lagi yang tersisa dalam hidup ini. Ingin secepatnya menutup mata dan terlelap dialam mimpi.

"Kumohon, aku sudah tak kuat menanggungnya lagi. Tidak bisakah melepaskanku dan mencari penggantiku?" gumamku pelan pada keheningan yang mencekam. Aku menatap buku yang ikut berada dikasur dengan mata berkaca kaca. Bahkan aku tahu betapa menyedihkannya wajahku sekarang.

"Selamatkanlah aku, aku tak sanggup lagi. Melihat masa depan dan melihat orang yang kusayang mati, memangnya ada yang sanggup menahannya? Memangnya ada orang yang sanggup hanya berdiri diam dan menyaksikan itu semua terjadi hah?!" aku bertanya dengan suara serak pada buku dihadapanku. Tapi buku itu hanya diam saja, dia tak mengatakan apapun.

Aku tahu ini, ini takkan ada habisnya. Bahkan sampai aku dewasa dan menua, dia takkan melepaskanku. Dia selamanya akan membuatku menderita dalam roda putaran nasib yang saling bersilangan.