Matahari terbit seperti biasa, sinarnya menghangatkan kasurku, membangunkan ku dari tidur yang sepertinya berlalu seperti hanya sesaat saja.
Suara ketukan pintu terdengar, mengetuk dengan nada pelan dan lembut. Tapi aku tak ingin membuka pintu, lebih tepatnya aku tak ingin bangun. Tidak bisakah kau membiarkanku istirahat untuk sekejap saja?
"Kakak, bangun kak! Nanti kakak terlambat ke sekolah!" suara lembut wanita yang berdiri dibalik pintu kamarku. Dari suaranya saja aku langsung tahu siapa dia. Tidak, lebih tepatnya bahkan tanpa mendengarkan suaranya aku juga langsung tahu. Begitu mendengar ketukan pintu, itu pasti ulah adikku. Karena hanya dia satu satunya orang dirumah ini yang peduli padaku.
"Jangan tidur kembali kak. Jangan sampai terlambat berangkat sekolah" adikku sekali lagi mengingatkan. Aku yang masih sangat mengantuk hanya samar samar mendengar perkataannya. Mungkin karena itulah aku melamun sekarang, mengabaikan perkataannya.
Tik.... Tok... Tik... Tok....
Entah berapa lama waktu berlalu, aku tetap tak beranjak dari tempat tidur. Hanya menatap daun yang terlihat hijau dari jendela. Melihat pemandangan yang masih sepi karena masih pagi.
Tapi entah kenapa sepertinya sekarang aku memang tak boleh berleha leha. Buktinya saja tak berselang lama tiba tiba pintu kamarku terbuka lebar, menampilkan sesosok gadis remaja berusia tiga belas tahun.
Berseragam osis lengkap, sudah mengenakan sepatu dan tas dipunggung. Wajahnya tampak segar dipagi hari, tidak aku salah, wajahnya langsung memucat begitu melihatku masih duduk diam dan belum bersiap untuk pergi kesekolah.
"Kakak!! Apa yang kau lakukan sekarang!! Jika kau terus melamun begitu bisa bisa kita terlambat!!" gadis itu langsung menyelonong masuk tanpa melepas sepatu. Boro boro melepas sepatu, dia bahkan tak mengetuk pintu. Yang pasti, jika orang sopan seperti adikku melakukan hal itu berarti masalah besar benar benar terjadi.
"Biarkan aku istirahat sebentar saja" kataku malas saat tangan adikku yang terasa dingin menarikku untuk bangun.
"Istirahat? Disaat seperti ini? Dari kemarin kakak kemana hah?! Bukankah tadi malam kakak juga istirahat?" mulai lagi, ocehan pagi adikku. Tidak bisakah dirinya membiarkanku membolos walau hanya sehari?
"Huh.... Kakak, aku tahu apa yang kau pikirkan. Jangan kira kau bisa menyembunyikannya dengan raut mukamu yang seperti itu" tampaknya dia menyadari apa yang kupikirkan.
"Baiklah, terserah kakak saja. Kakak mau kesekolah ataupun tidak, itu bukan lagi urusanku" akhirnya dia menyerah setelah beberapa saat mencoba menarikku agar meninggalkan kasur yang ternyata tak berhasil jua. Dia membanting dirinya kesal kekasur tempatku sekarang duduk dengan raut muka cemberut.
Melihatnya begitu membuatku ingin tertawa. Ternyata asyik juga menjahili adikku.
"Iya... Iya... Aku akan bersiap" kataku sambil berdiri dari kasur, mulai berjalan ke kamar mandi untuk bersiap.
"Hanya lima menit, kutunggu kau!!" sepertinya Mana benar benar kesal. Dia mengatakan hal itu tanpa memandang wajahku dan tetap tiduran dikasur.
Setengah jam kemudian, aku baru selesai bersiap siap. Sungguh melewati batas waktu yang ditetapkan Mana. Tapi tak apa, tampaknya dia benar benar orang yang sabar. Nyatanya dia masih tidur tiduran sambil membaca buku dan menunggu diriku.
"Kak"
"Hah, apa?" jawabku yang sedang mengelap kacamata yang akan kupakai kesekolah.
"Kenapa kakak suka membaca buku?" tanyanya datar sambil terus membalik lembar yang dibacanya.
"Entahlah... Aku juga tak tahu. Kau tak perlu alasan untuk menyukai sesuatu bukan?" aku menjawab seadanya. Sebenarnya aku punya alasan lain, tapi jika aku mengatakannya mungkin dia akan berpikir aku gila.
"Aku sebenarnya tak membenci membaca buku... Tapi aku membenci membaca buku roman fantasi, itu benar benar membuatku ingin muntah" gumam Mana pelan yang ternyata masih terdengar oleh telingaku.
"Kenapa? Kupikir itu salah satu genre kesukaanku" aku menatapnya bingung. Tatapan mata kami bertemu, dia nampak kaget mendengar perkataanku.
"Kak"
"Hah, apa lagi?"
"Kurasa kau adalah orang yang membosankan" Mana mengatakan hal itu dengan raut muka sungguh sungguh yang malah membuatku semakin kesal.
"Sekali kau mengucapkan itu lagi, aku akan langsung mengeluarkanmu dari kamar" kataku dingin.
"Jangan!! Maksudku bukan begitu.... Maksudku, apa kau tahu.... Semua buku roman fantasi itu mempunyai alur yang sama" katanya gugup, dia mengetuk ngetukkan kedua ujung jari telunjuknya.
"Lalu?" aku tak paham apa maksudnya. Apapun itu, beraninya dia mencela genre favoritku!!!
"Pada akhirnya heroin selalu hidup bahagia, dikelilingi banyak lelaki tampan dan mempunyai teman yang mendukungnya. Itu selalu membuatku iri. Karena itulah aku tak menyukainya" yang dikatakan Mana benar, sejujurnya aku juga selalu iri dengan kehidupan didalam novel.
"Lebih baik bagiku membaca novel dengan akhir yang tragis, kematian atau apapun itu... Yang penting aku tak lagi iri padanya" keluh Mana pelan sambil mulai bangun dari kasur, merapihkan seragamnya yang sedikit berantakan dan kembali berdiri.
"Yah, terkadang aku juga ingin masuk kedalam dunia novel, mengubah alur yang ada. Sepertinya itu sedikit menyenangkan" gumamnya pelan, sama sekali tak terdengar olehku yang sedang fokus memperbaiki rambutku didepan cermin.
"Tadi kau bilang apa?" tanyaku khawatir. Aku takut dia mengatakan hal yang tidak tidak.
"Tidak ada apa apa kok" Mana hanya tersenyum sambil berjalan keluar kamar. Aku mengikutinya dengan tas dan seragam yang telah terpasang rapi.
Kami tiba diruang tamu dengan seragam rapi, bersiap berangkat kesekolah.
"Selamat pagi, Papa..." Mana berlari ceria menyambut ayah yang sudah berdiri menunggu. Memeluknya dan memberi ciuman singkat dipipi. Mungkin terlihat agak berlebihan, tapi lupakanlah, Mana yang melakukannya jadi tak masalah.
"Cepatlah, atau kau akan terlambat" suaranya lembut sambil mengusap rambut Mana. Mana yang mendapat reaksi sama setiap hari hanya bisa tersenyum selebar lebarnya.
Aku hanya memandang dari kejauhan. Walaupun kami saudara, keluarga, jelas kedudukanku dengan Mana berbeda.
Mana itu imut dengan senyumannya, karena itulah bahkan Ayahku yang dingin bisa luluh padanya. Sedangkan Aku, dengan kacamata dan gaya rambut yang biasa saja mungkin nampak membosankan. Tapi itu bukan saatnya memikirkan hal ini, sekarang waktunya sekolah!! Aku tak boleh hanya iri dan menatap kemesraan mereka.
Mana memberi isyarat dengan matanya, menyuruhku cepat masuk kemobil. Jadi sekarang, aku sudah duduk dikursi belakang.
Tak lama kemudian Mana dan ayah masuk mobil, dan langsung berangkat tanpa memastikan ada yang tertinggal. Jika aku tak masuk duluan, mungkin aku akan tertinggal. Ayah takkan ingin repot repot mengecek apakah aku sudah masuk ataukah belum. Dia bahkan tak peduli apakah aku sekolah atau tidak.
Dalam perjalanan kesekolah Mana dengan senang hati bercerita dari bangku depan dan Ayah menanggapinya. Nampak hubungan keluarga yang harmonis.
Tapi sayangnya Aku tak ada. Dalam hubungan harmonis antara ayah dan anak, disana Aku tak ada. Keberadaan seorang anak bernama Riana dihati Ayah tak pernah ada dan takkan pernah ada.
Hening menggantung diperjalanan. Bukan, lebih tepatnya hening menggantung dalam kepalaku. Mana asyik bercakap dengan Ayah, tapi tidak denganku.
Terkadang Aku merasa iri kepadanya, benci padanya. Tentu saja wajarkan. Ayah hanya peduli Mana, adikku saja. Ia sama sekali tak memandangku. Bahkan pernah aku mencari perhatiannya sama seperti yang dilakukan Mana, tapi tentu saja hasilnya berbeda. Aku tak pernah dianggapnya, yang ada malah ayah menatapku sebagai pengganggu. Saat itulah Mana menyelamatkanku dari situasi yang seperti mencekik leher.
Bahkan jika aku mengatakan iri padanya, aku tak bisa membencinya terlalu lama. Aku tak bisa melakukannya, karena...
"Wah... kita sudah sampai. Ayah, kenapa Ayah secepat ini?" kata Mana kecewa, padahal ia masih ingin menikmati pemandangan jalanan pagi hari.
Sepertinya Mana melihatku melamun melalui kaca spion depan. Dia memberiku isyarat untuk turun. Bahkan tanpa aku memintanya, dia sangat peduli padaku.
Aku turun diam diam, tanpa mengatakan apapun pada Ayah. Sangat berbeda jauh dengan Mana yang memberi ayah kecupan di pipi dulu baru keluar dari mobil.
Mobil melaju cepat, meninggalkan kami yang sedang berada dalam halaman sekolah. Sampai akhirpun, aku tak berbicara satu katapun dengan ayah.
"Duh... Ayah itu yah... Kenapa sih dia sangat dingin kepadamu?" keluh Mana saat berjalan dilorong. Karena mungkin tadi Ayah menambah kecepatan, kami sampai disekolah pagi sekali. Untunglah tak ada yang menguping pembicaraan kami.
"Entahlah. Tapi jika dia bersikap baik padamu, itu sudah cukup bagiku" kataku tulus sambil tetap berjalan lurus. Begitu mendengar hal itu Mana menghentikan langkahnya sejenak, mungkin dia tersentuh dengan kata kataku?
"Kak" gumamnya pelan
"Huh, apa?" aku membalikkan badan dan menatapnya yang masih berdiri jauh karena sama sekali tak melangkahkan kakinya.
"Bagamana bisa aku mendapat kakak berhati malaikat seperti ini" dia berlari memelukku kencang. Mulai lagi deh, sikap manja yang ditunjukannya pada Ayah.
"Kyaa.... Bagaimana bisa kau terlalu baik seperti ini? Kau pasti malaikatkan?! Turun dari langitkan?" saking girangnya Mana, aku bahkan tak bisa menahannya.
"Tidak, aku manusia biasa" kataku tegas sambil mulai kembali berjalan.
"Malaikat! Jika semua orang tahu kebaikan hati kakak mereka juga akan memanggil kakak Malaikat!!" dia mengikutiku lengket seperti lem. Banyak mata menatap kami karena suara ribut Mana. Saat itu betapa menyesalnya aku mengatakan hal itu.
Aku sampai dipintu kelas, kelasku lebih dekat dibandingkan Mana. Mau tak mau Mana harus berpisah denganku.
"Sana pergi kekelasmu!! Ini bukan tempatmu" kataku sambil mencoba melepaskan pelukan Mana ditangan kananku.
"Maaf kak" gumam Mana pelan sambil tetap memeluk lenganku erat erat. Raut mukanya nampak sedih, dia menatap lantai dan tak berani menatap mataku.
Karena alasan inilah aku tak bisa berlama lama membencinya. Dia tahu posisinya, dia juga tahu posisiku. Dia merasa tak enak padaku, merebut posisi sebagai anak perempuan ayah dan segala kasih sayang ayah. Dia merasa tak enak padaku karena telah merebut sesuatu yang berharga.
"Tak apa kok, lagi pula aku tak peduli soal Ayah" aku mengusap kepalanya pelan, barulah setelah itu dia mau melepaskan pelukannya pada lenganku.
Dengan raut muka pasrah, Mana berjalan menuju kelasnya. Apakah dia mempercayai perkataaanku?
Sebenarnya aku bohong kalau aku tak peduli soal ayah. Ya, aku pasti melakukan kebohongan besar kalau sampai berkata seperti itu. Bahkan untuk diriku yang sudah mulai memasuki usia remaja ini, aku juga ingin dicintai. Siapapun itu boleh, tolong cintai aku dengan tulus.
Untunglah ada saudara perempuanku. Walaupun kami saudara tiri dan terpaut dua tahun, Mana selalu menyayangiku. Menyayangi? Ya, dia berlaku seolah dialah kakak perempuannya. Biasa menghibur adik perempuan yang kesepian. Setidaknya tingkahnya itu menenangkanku.
Tapi apakah itu cukup? Bukan berarti aku serakah. Namun saat membandingkan diriku dengan Mana, perbedaan kasih sayang jelas akan terpampang.
Mana yang dicintai semua orang dan akulah bayangannya, walaupun bentuknya sama tapi takkan pernah menjadi benda itu sendiri. Jika Mana adalah matahari maka akulah sang bulan yang kesepian. Tentu saja orang lain akan memilih Mataharikan? Itu sudah pasti.
Yah, bukannya aku berharap. Tapi tetap saja aku juga ingin dicintai oleh keluarga, dan satu satunya keluarga yang tersisa adalah Mana dan Ayah dan Ibu. Tak apa aku tak mendapat cinta sebanyak yang Ayah berikan pada Mana, tapi tolong... Tolong anggap aku, Ayah...
Tapi itu semua mungkin mustahil bagiku, menjadi gadis seperti Mana, tentu mustahil bagiku.
Karena aku adalah anak terkutuk.....
Karena aku adalah gadis pembaca masa depan yang terkutuk.... Oleh karena itu aku tak pantas dicintai