Satu tahun sebelumnya...
"Hah..." Helaan napas panjang keluar dari mulutku. Lagi lagi seperti ini. Yah, lagi lagi seperti ini.....
Matahari bersinar indah diatas kepala. Tak terlalu panas, ditambah dengan semilir angin membuatku ingin tertidur seperti ini untuk selamanya. Kuharap kedamaian seperti ini terus melingkupiku. Tapi aku tahu kalau itu mustahil.
Tentu saja mustahil, untuk orang terkutuk sepertiku. Itu mustahil bagiku untuk mendapat kebahagian.
Karena aku adalah anak terkutuk
Aku menutup mataku lelah, berniat menikmati hembusan angin dipadang rumput yang sunyi ini. Melupakan semua beban berat yang selama ini kutanggung. Namun tiba tiba sebuah suara memutuskanku dari kenikmatan sesaat ini.
"Nona, jika kau terus tertidur ditempat ini, kau bisa terkena demam" sosok wanita berumur tiga puluhan tersenyum lembut padaku. Kepalanya menghalangi sinar matahari yang ingin kurasakan, sejenak aku membuka mata dan menatapnya lekat lekat.
Dia cantik. Sosoknya yang membelakangi sinar matahari membuatnya semakin cantik.
"Aku melihatmu dari kejauhan, kau sudah berbaring disini dari tadi pagikan? Angin disini cukup kencang, mungkin jika kau melanjutkan lebih lama lagi maka kau akan sakit" sama seperti senyumannya, bahkan kata katanya terdengar lembut ditelingaku. Menurutku dia seperti seorang ibu yang mengkhawatirkan anaknya. Padahal kita tidak saling kenal, kenapa kau sebegitu pedulinya pada orang asing?
"Rumahku tak jauh dari sini, apakah kau ingin mampir sekejap? Aku juga sedang bosan karena tak punya teman" wanita itu mengulurkan tangannya, mengajakku ikut bersamanya.
Mungkin dimatanya aku hanyalah gadis remaja berusia lima belas tahun yang labil dan merasa muak berdiam diri di rumah. Kabur entah karena masalah keluarga ataupun alasan alasan tak masuk akal lainnya. Mungkin baginya aku hanyalah gadis remaja yang tak tahu apa apa.
Aku mengangkat tanganku. Menggenggam tangannya yang terulur padaku. Dengan senang hati wanita itu menarikku bangkit, tenaganya kuat. Tentu saja ia kuat, dengan tangannya ini ia banyak menolong orang lain, di sisi lain juga banyak membunuh orang lain.
Dia adalah pahlawan perang wilayah ini. Dengan pedang ditangannya ia berusaha sekeras mungkin menyelamatkan warga negaranya dan membunuh orang orang yang akan menyakiti orang yang dilindunginya.
Menurutku dia orang yang hebat.
Tapi meski begitu.... Meski begitu....
"Kenapa? Apa ada yang salah dengan tanganku?" wanita itu menyadari bahwa dari tadi aku menatap tangannya. Sambil berjalan diatas padang rumput yang subur, dia menatap lurus kedepan dimana rumahnya berada.
"Tanganmu hangat" gumamku lirih, saking lirihnya mungkin suaraku tak sampai ditelinganya dan malah ditelan angin.
Wanita yang menuntun jalanku tertawa, tawa yang terdengar senang namun ada sedikit kesedihan disana.
"Tentu saja, akukan masih hidup" tak ada beban dalam kata katanya, ia berjalan lurus kedepan.
Ya, meski begitu tangan ini akan segera kehilangan kehangatannya. Tubuh didepanku akan segera kehilangan cahayanya. Aku tahu itu.
Karena sebentar lagi dia akan mati. Dua minggu lagi dia akan mati.
Saat itu, aku hanya berdiri diam tanpa mengatakan apapun. Hanya bisa menerima kematiannya tanpa melakukan apapun.
****
"Hah... Sampai kapan kau akan terus membaca buku seperti itu?" wanita itu duduk didepanku, menyeruput teh panasnya sambil menatapku dengan muka bosan.
"Entahlah, aku juga tak tahu, aku suka membaca, jadi aku bisa mengabiskan waktu hanya untuk membaca buku" aku menjawab tanpa menolehkan sedikitpun pandangan pada wajah bosannya. Aku tahu dia mungkin berpikir aku aneh atau sebagainya, tapi mau bagaimana lagi, itulah yang harus kulakukan hari ini.
"Benarkah? Kurasa kau benar benar tak suka membaca buku. Mana ada orang yang membaca buku dengan raut muka penuh kebosanan seperti dirimu" dia berkata cemberut, aku hanya menghela napas lelah.
"Kau benar... Jika ini buku cerita lain pasti aku akan senang, tapi kebanyakan cerita dalam buku ini hanya berisi cerita yang konyol nan menyedihkan" sambil menutup buku yang tadi kubaca, aku mengambil cangkir tehku yang telah disiapkannya. Tehnya dingin, memantulkan bayangan wajahku saat aku hendak meminumnya.
"Ngomong ngomong namamu siapa?" seolah dia sedang sangat bosan, ia mengulangi pertanyaan yang sama dengan yang ditanyakannya kemarin kemarin.
"Entahlah, untuk apa kau mengetahuinya" jawabku dingin, aku takkan menjawab pertanyaannya, bahkan jika ia melontarkan pertanyaan yang sama esok hari, ataupun lusa, aku sama sekali tak berniat menjawabnya.
"Kau ini yah!! Kau sudah menumpang dirumahku selama hampir dua minggu, tapi kau bahkan tak mau menyebutkan namamu?! Memangnya aku adalah orang jahat yang memanggil orang lain dengan 'hei', 'kau' dan sebagainya hah?!" wanita itu berkata kesal, ia kesal karena aku tak mau menyebutkan namaku? Yah itu wajah sih. Hening kembali menggantung canggung diantara kami berdua.
"Berapa usiamu sekarang?" tanyanya memecah keheningan.
"Lima belas" jawabku pendek.
"Kau masih sangat muda yah, kupikir saat melihat kepribadianmu yang pendiam ini usiamu sudah dewasa, tapi ternyata masih anak anak" gumamnya pelan, aku diam saja mendengar gumamamnya.
"Kau, bukankah kau membencinya? Maksudku buku itu" tiba tiba topik pembicaraan berganti. Bukannya lebih baik, sekarang suasana malah menjadi berat.
"Ya, aku membencinya" buku bersampul biru dipangkuanku nampak bernuansa gelap. Tapi bukan sampul ataupun nuansanya yang kupedulikan, melainkan isinya.
"Kenapa kau tak membuangnya saja? Kau masih muda, jangan menyakiti dirimu sendiri, jika kau tak suka maka kau boleh membuangnya" wanita itu berkata lirih, ia menatapku dengan tatapan kasihan. Begitu mendengarnya aku terdiam, suasana kembali menjadi hening. Tak ada lagi percakapan yang berlanjut.
Kusesali kemudian, seandainya saja aku mengatakan padanya lebih awal.