Gadis itu mulai duduk di salah satu kursi setelah di berikan oleh Alfa. Cowok itu ikut duduk di sampingnya, memperhatikan berbagai cat di depan meja beserta dengan beberapa contoh sketsa. Ia tidak tahu harus menggambar apa, di tambah lagi dengan kanvas putih bersih di depannya.
Alfa menghela samar, ia merasa bosan dengan kegiatan hari ini. Terlalu aneh, dan sangat tidak menarik minatnya. Cowok itu hanya ingin diam di dalam kelas sambil berbicara, entah kenapa akhir-akhir ini rasanya ingin sekali mengobrol dengan Ebi secara terus-menerus. Memperhatikan setiap gerakan yang di lakukan gadis itu.
"Setiap individu harus bisa membuat satu lukisan abstrak, saya mau sesuatu yang berbeda, dan sangat unik!" perintah Pak Anas sambil berjalan mengelilingi ruangan.
Gadis itu mulai mengambil salah satu pensil, membuat satu garis lurus untuk mencari sesuatu yang menurutnya indah.
Sementara Alfa hanya diam di tempatnya. Memperhatikan setiap sudut alat-alat yang tergeletak di depannya. Mungkin dia pikir alat-alat itu bisa bergerak sendiri, dan akan melulis sesuai keinginan Alfa.
"Kamu kenapa gak ngelukis?" tanya Ebi tanpa menatap lawan bicaranya.
"Males, gak tertarik. Gue pengen ngobrol banyak sama lo, soal kehidupan gue yang bener-bener abstrak." kali ini Alfa menoleh, menatap Ebi dengan tatapan excited.
"Kenapa gak kamu lukis aja kehidupan abstrakmu itu?"
"Kalau bisa mah udah gue lukis Na, cuman kan gak bisa. Udah deh Na, mendingan kita ngobrol aja yuk!" jelas Alfa sambil memainkan pensilnya.
"Fokus Fa, jangan banyak main!"
"Yang kerja itu tangan, bukan mulut!" teriak Pak Anas kesal.
Ebi terkejut, dan kembali melanjutkan kegiatannya tanpa menyuruh Alfa diam. Cowok itu malah mendengus, menatap Pak Anas dengan tatapan kesal.
"Na, nanti lo kerja jam berapa, terus pulangnya jam berapa? Abis dari sekolah langsung kerja atau gimana Na?" tanya Alfa dengan berbisik.
Ebi tak menggubris ucapannya, ia masih sibuk memberikan warna dasar untuk lukisan sederhananya kali ini.
"Elena, pacar lo siapa? Alzam ya? Lo kenapa gak jomblo aja sih Na? Kalau jomblo kan nanti sama gue pacarannya," ucap Alfa lagi yang kali ini memperhatikan wajah Ebi dengan senyuman tipisnya.
Tangan kirinya mulai membelai rambut pendek Ebi dengan lembut. Mencoba untuk menutupi setiap mentari yang menyinari wajah Ebi dari samping. Sebenarnya Ebi merasa terusik, tapi dia mencoba untuk tetap diam karena ia harus fokus sekarang.
"Elena, gue suka sama lo. Suka banget, tapi belum sayang sama cinta. Jadi Na, jangan jadi pacar gue dulu!" ucap Alfa dengan kekehan kecilnya.
"Jangan bercanda lagi Alfa!" sahut Ebi berbisik.
"Gue bosen, beneran gak bohong."
"Tapi aku mau fokus, soal kamu bosan bosen atau engga, itu bukan urusanku!"
"Na, kok lo ketus mulu sih sama gue? Gue salah apa?"
"Salah karena kamu ngajak aku ngobrol terus!" bentak Ebi dengan berbisik.
Alfa menghela panjang, ia tidak mau Ebi marah kepadanya, jadi lebih baik dia yang mengalah dengan cara memalingkan wajah. Memperhatikan sekitar, dan mulai mengambil salah satu kuas beserta cat air.
Tak ada sketsa yang di buatnya dengan pensil. Alfa langsung membuat sebuah lukisan dengan cat airnya tanpa berpikir panjang. Untuk kali pertamanya terlihat sangat jelek, terlalu urakan, dan tidak terlihat dengan sangat jelas.
Namun, Ebi merasa tertarik. Sesekali ia melirik ke arah kanvas milik Alfa sekilas, dan kembali fokus pada lukisannya yang tak kunjung selesai. Ebi mulai bosan, lukisannya tak secantik milik temannya yang lain, yang memiliki makna lulisan, dan tema yang mereka buat. Sementara dia sendiri hanya melukis tanpa tujuan yang jelas.
Gadis itu menghela panjang, perhatiannya beralih pada Alfa sekarang. Apa lagi ketika Pak Anas ikut berdiri di samping Alfa dengan kening bertaut dalam.
"Kamu ini kenapa malah keluar dari tema?" tanya Pak Anas ketus.
"Saya gak suka sama tema yang Bapak kasih, jadi saya gambar sesuatu yang saya suka," sahut Alfa dengan bangga sambil membalik kanvas itu.
Sekarang terlihat jelas, seorang gadis cantik dengan rambut hitam legam terurai di sana. Alfa tersenyum puas, sementara Pak Anas hanya menggelengkan kepala. "Nilai kamu kosong kali ini," ucap Pak Anas sebelum melenggang pergi.
Alfa tak menggubris, ia masih tersenyum senang dengan hasil lukisannya yang sangat indah itu. Di pegangnya kanvas itu, dan segera ia tunjukan pada Ebi. "Ini siapa?"
"Aku."
"Pinter!"
"Kenapa kamu keluar dari tema?" tanya Ebi bingung, "Tapi lukisan kamu keren, aku suka, apa lagi cara ngelukisnya yang beda pake acara terbalik."
Cowok itu terdiam, memikirkan alasan dari pertanyaan Ebi barusan. "Gue gak ngerti, intinya gue bosen, gue suka sama lo, jadi gue lukis apa yang gue suka," jelas Alfa jujur.
Gadis itu menghela sambil memutar bola mata malas, "Jawabanmu selalu saja aneh, terlalu jujur."
"Jujur kan bagus Na."
"Iya, tapi aku gak suka sama kejujuranmu."
"Kenapa?" tanya Alfa sedih, "Oh! Karena alzam ya? Yaudah, sih gapapa. Gue sadar lo suka sama dia, gue sadar lo tertarik sama dia, tapi apa salahnya buat usaha?"
"Usaha?" Ebi menoleh dengan kening bertautnya.
"Usaha buat ngambil hati lo itu, emangnya lo gak tahu sama usaha yang gue lakuin selama ini?"
Gadis itu menggeleng dengan tatapan polosnya. Membuat Alfa menghela lemas karena merasa semua usahanya sia-sia, tapi detik berikutnya ia kembali tersenyim, dan mengacak rambut Ebi dengan gemas.
"Gapapa, intinya gue punya sesuatu yang bisa gue banggain," ucap Alfa sebelum kembali meletakkan kanvas itu di depannya.
"Bangga? Sesuatu?"
"Iya, gue duduk sama lo terus setiap kali kelas di mulai. Gue bisa lihat semua wajah lo dari deket, meskipun Alzam bisa lebih lama lihat senyum yang lo keluarin," jelas Alfa tanpa menatap lawan bicaranya.
Gadis itu terdiam, menatap lukisannya dengan tatapan yang sulit di artikan. Ebi merasa aneh dengan perasaannya sekarang, apa lagi sesuatu yang aneh itu datang setelah Alfa mengeluarkan semua unek-uneknya.
"Hari ini kelas kita akhiri sampai di sini, jam juga sudah hampir habis. Hasil karya kalian segera di kumpulkan, nanti akan saya nilai," ucap Pak Anas yang sekarang sedang berdiri di depan papan tulis putih sambil berkacak pinggang.
"Baik Pak!" sahut seluruh siswa dengan kompak.
"Terkecuali Alfa ya! Saya gak mau koreksi, karena dia keluar dari tema. Siapa pun yang keluar dari tema, nilai akan saya kosongi! Mengerti?!"
"Mengerti Pak!"
"Oke, sekian kelas hari ini, saya pamit!" ucap Pak Anas sebelum keluar dengan raut kesalnya.
Beberapa siswa mulai beranjak dari tempatnya setelah memberikan nama di pojok kiri kanvas masing-masing. Mereka mulai pergi satu per satu, meninggalkan ruangan seni tanpa mengucapkan sepatah kata pun pada Alfa, dan Ebi yang masih duduk di bangku mereka masing-masing.
"Kamu gak keluar?" tanya Ebi bingung.
"Males, gak ada yang gue suka."
"Tapi kan sekarang ada kelas matematika."
"Gue tahu, kalau lo mau pergi, pergi aja Na! Gue mau di sini sendirian."