Chereads / Pendekar Pedang Pencabut Nyawa / Chapter 17 - Kisah yang Memilukan

Chapter 17 - Kisah yang Memilukan

Darah menyembur deras dari dadanya. Ternyata, dada si Golok Ular sudah terkena sabetan Pedang Pencabut Nyawa milik Raka Kamandaka. Luka itu sangat lebar. Dari samping kanan hingga samping kiri. Lukanya juga cukup dalam.

Ujung pedang pusaka itu masih meneteskan darah segar. Darah perlahan jatuh membasahi rumput di bawahnya.

Sedangkan si Golok Ular telah ambruk ke tanah. Dia jatuh telungkup. Menjadikan darah itu membasahi pula seluruh badannya. Orang tua itu mengalami nasib yang sama dengan rekannya.

Dia mampus tanpa sempat mengeluarkan suara apapun. Mati dengan cepat, bagi sebagian orang memang lebih baik.

Tapi mati demikian mengenaskan dan membawa perasaan penasaran ke alam baka, adalah suatu sikssan tersendiri.

Pertarungan hebat telah usai. Dua tokoh kenamaan dalam dunia persilatan mampus di tangan seorang pemuda yang masih hijau.

Keadaan kembali sunyi. Entah sejak kapan, tahu-tahu Pedang Pencabut Nyawa sudah kembali lagi ke sarungnya. Malah pedang itu juga sudah terbungkus rapi oleh kain putih seperti sedia kala.

Ki Jaya si Golok Terbang maju beberapa langkah ke depan Raka Kamandaka. Wajah orang tua itu sulit dijelaskan. Dia tampak senang, sekaligus terlihat sedih.

Mungkin senang karena musuhnya mampus. Dan sedih karena saudara seperguruannya tewas di depan mata.

Seburuk dan sejahat apapun, saudara tetaplah saudara. Sekalipun Golok Terbang dan Golok Ular bukan saudara kandung, tapi mereka tetap saudara seperguruan.

Keduanya telah melewati berbagai macam kenangan pahit manis secara bersamaan. Mereka sudah menjalani kehidupan yang penuh suka duka ini berbarengan.

Kalau kau berada di posisi Ki Jaya sekarang, kira-kira apa yang kau rasakan?

"Hahh …" tokoh tua itu menghela nafas dengan dalam. "Sayang, sayang sekali,"

"Memang sayang. Tapi bagaimanapun juga, dia tetap harus mati. Terkadang membunuh jauh lebih baik daripada harus dibunuh,"

Mau tidak mau Ki Jaya harus mengakui kebenaran perkataan ini. Memang, hakikatnya lebih baik membunuh daripada dibunuh.

Tapi kalau yang dibunuh itu adalah saudara seperguruan sendiri, bukankah hal itu patut disayangkan juga?

"Semuanya sudah ditentukan oleh garis takdir kehidupan. Kita hanya berusaha menjalaninya dengan tabah dan penuh keyakinan," kata Raka melanjutkan bicaranya.

"Memang benar. Selaku manusia yang hidup di alam mayapada, kita hanya dapat pasrah terhadap rencana yang telah ditetapkan oleh Sang Hyang Widhi," jawab Ki Jaya menyetujui ucapan Raka.

Raka Kamandaka tidak menjawab, dia sedang menunggu Ki Jaya melanjutkan bicaranya.

"Sebenarnya saudaraku ini adalah orang yang baik. Tapi sayang sekali, dia malah salah memilih jalan. Aii, sungguh malang nasibmu saudaraku,"

Rasa penasaran tiba-tiba menyelimuti diri Raka Kamandaka. Kalau si Golok Ular adalah orang baik dan tadinya berada di jalan lurus, lantas kenapa dia bisa berpindah jalan?

"Kalau boleh tahu, sebenarnya apa yang telah terjadi di antara kalian berdua sehingga harus berpisah jalan seperti ini?"

"Ceritanya cukup panjang. Aki hanya akan membeberkan kejadian intinya saja,"

"Aku siap mendengarkan …"

Ki Jaya menghela nafas beberapa kali sebelum memulai bicaranya. Seolah orang tua itu merasakan kesulitan tersendiri. Sepasang matanya memandang jauh ke depan sana.

Cahaya jingga mulai pudar. Matahari telah kembali ke haluannya. Sebentar lagi tabir hitam yang gelap bakal muncul.

Dua orang itu masih berdiri di sana. Seolah mereka tidak perduli dengan keadaan sekitarnya.

"Waktu itu, kami berguru kepada seorang resi yang kenamaan pada zamannya. Beliau adalah Resi Jayantala Paniisan, seorang resi yang digdaya dan dikenal dengan sifat-sifatnya yang luhur. Awalnya murid beliau hanya ada dua orang, aku dan dia (si Golok Ular), tapi setengah tahun kemudian, ada seorang murid baru lagi. Dia seorang gadis yang sangat cantik. Tubuhnya padat sempurna. Setiap pria yang memandangnya pasti bakal bergetar seluruh tubuhnya,"

"Begitu juga aku dan adik seperguruanku (Golok Ular). Gadis itu bernama Diah Ratna Wangi Pancacipta. Dia berasal dari keluarga kenamaan di dalam dunia persilatan. Yaitu Keluarga Pancacipta. Awal mulanya memang tidak terjadi apa-apa, tapi setelah enam bulan berselang, rasa cinta mulai tumbuh dalam jiwa kami yang kebetulan masih muda. Apalagi, pada saat itu kami semua berumur sekitar delapan belas tahunan. Umur yang sedang matang-matangnya untuk menjalin hubungan asmara,"

"Karena sama-sama mencintai gadis yang sama, mulanya kami bersaing secara sehat. Hingga akhirnya tragedi mulai terjadi. Ketika tahu bahwa Diah Ratna Wangi lebih memilihku, Adikku yang bernama asli Brasanta itu mulai mempunyai perasaan iri kepadaku. Diam-diam dia merencanakan sesuatu, yaitu ingin membunuhku. Waktu terus berjalan, permusuhan di antara kami tak terhindarkan lagi,"

"Karena kami sudah sangat mencintai satu sama lain, maka akhirnya kami memutuskan untuk menikah. Siapa tahu, pernikahan itu malah menjadi sebuah malapetaka. Brasanta atau yang lebih dikenal dengan sebutan si Golok Ular, tega mengacaukan hari paling bahagia itu. Dia membunuh Diah Ratna Wulan tepat pada malam harinya. Bahkan dengan kejamnya pula, Brasanta membunuh guru kami yang sedang melakukan tapa,"

Sampai di sini, Ki Jaya langsung menghentikan ceritanya. Dia tidak dapat melanjutkan lagi bicaranya. Sebab pada saat itu, berbagai macam perasaan telah menjalari seluruh tubuhnya. Sedih, marah, kesal, semuanya bercampur menjadi satu.

Raka Kamandaka sangat paham akan keadaan orang. Oleh sebab itulah dirinya mengusap-usap pundak Ki Jaya. Dia tidak menyuruh orang tua itu untuk melanjutkan ceritanya.

"Kisah yang sangat memilukan. Tak kusangka, hanya karena wanita, dia berani melakukan perbuatan yang sangat keji itu. Aku tidak habis pikir, bagaimana mungkin orang sepertinya sanggup membunuh seorang guru yang telah mendidiknya selama ini?" gumam Raka Kamandaka seperti bicara kepada dirinya sendiri.

Ki Jaya masih diam. Sepertinya orang tua itu sedang berusaha mengendalikan perasaannya. Selang sesaat kemudian, barulah dia bicara kembali.

"Kisah ini tiada seorangpun yang tahu kecuali hanya kita saja. Masalah itu bisa terjadi terhadap siapapun. Amarah memang suka membuat buta segalanya. Jangankan seorang guru, bahkan jika seseorang sudah kalap oleh amarah, orang tua sendiri pun bisa dibunuh,"

Raka Kamandaka tidak menyangkal. Hal itu memang benar adanya.

Tragedi tentang anak yang tega membunuh orang tuanya tidaklah sedikit. Dari sejak dulu hingga nanti, kejadian tersebut pasti bakal terus terjadi lagi dan lagi.

Apakah amarah se-menakutkan itu?

"Aki benar. Aii, manusia memang sulit dimengerti. Hanya karena masalah sepele ternyata bisa mendatangkan sebuah bencana besar,"

Ki Jaya terdiam. Dia tidak mau membicarakan hal itu lagi. Semakin jauh dia membicarakannya, semakin pedih juga hatinya.

"Setelah ini, apakah Aden akan tetap mengembara di dunia persilatan?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.

"Tentu saja, Ki. Kematian keluargaku harus diusut sampai tuntas. Sebelum pelakunya ketemu, aku akan tetap mencarinya walau sampai ke ujung dunia sekalipun,"

"Kalau begitu, Aki tidak bisa melarang lagi. Aki hanya menitip pesan agar kau selalu waspada. Perlu kau ketahui, saat ini nyawamu amat mahal," katanya mengingatkan.

"Aku tahu, terimakasih atas pesan yang telah Aki berikan," kata Raka sambil menjura.