Chereads / Pendekar Pedang Pencabut Nyawa / Chapter 18 - Serombongan Orang Berkuda

Chapter 18 - Serombongan Orang Berkuda

Malam semakin larut. Keadaan semakin sunyi sepi. Di kaki Gunung Puteri, tidak ada lagi Raka Kamandaka dan Ki Jaya. Kedua orang itu sudah pergi. Pergi dengan keputusannya sendiri-sendiri.

Sebelum berpisah, Ki Jaya mengatakan kalau dia akan menempuh jalan sunyi. Dia ingin menenangkan diri dan menghabiskan hidupnya di tempat sepi. Kakek tua itu ingin bersembunyi dari dunia ramai yang penuh dengan sandiwara ini.

Itu artinya, tadi, mungkin saja adalah pertemuan terakhir antara mereka berdua. Entah suatu hari nanti bakal bertemu lagi atau tidak. Biarlah waktu yang menentukan semuanya.

Kalau Ki Jaya memutuskan untuk menempuh jalan sunyi, sebaliknya, Raka Kamandaka justru sudah memutuskan untuk menempuh jalan ramai. Jalan yang diwarnai dengan hiruk pikuk sandiwara. Jalan yang dipenuhi dengan darah dan air mata.

Sudah beberapa kali pemuda itu bertekad kalau dirinya bakal mengembara. Jika Raka sudah memutuskan sesuatu, siapapun tidak akan ada yang bisa melarangnya. Bahkan kalau para Dewa turun tangan sekalipun, pemuda itu tetap teguh dengan tekadnya.

Menjelang waktu subuh.

Raka Kamandaka sedang berjalan seorang diri. Dia ingin mencari kedai makan yang telah buka sekedar untuk mengisi perutnya. Di depan sana ada kedai yang sudah buka, tanpa berpikir lagi, Raka segera menuju ke kedai tersebut.

Suasana di kedai itu ternyata masih sepi. Belum ada seorangpun pengunjung yang terdapat di sana. Maklum, saat ini, hari belum benar-benar terang tanah. Mungkin sebagian orang masih tidur bersama mimpinya.

"Pesan apa, Den?" tanya pemilik kedai.

Dia merupakan seorang wanita tua yang sudah berumur sekitar lima puluh tahun. Wajahnya telah dipenuhi oleh keriput, tubuhnya pun sedikit bungkuk.

"Pesan teh hangat dan singkong rebus saja," jawab Raka dengan tenang.

Si pemilik kedai mengangguk. Dia langsung ke belakang untuk menyiapkan pesanan. Begitu selesai, nenek tua itu segera memberikannya kepada Raka.

"Silahkan, Den,"

"Terimakasih,"

Raka makan dengan perlahan. Caranya makan persis seperti seorang wanita yang sedang bersolek. Sangat pelan. Sangat hati-hati. Seolah dia tidak mau terjadi kesalahan apapun dalam menyantap singkong itu.

Belum selesai menyantap semua singkong itu, tiba-tiba dari pintu kedai masuk seseorang.

Orang itu merupakan pria. Umurnya sekitar lima pulih tahunan. Pakaiannya cukup mewah karena dipenuhi oleh manik-manik. Kain pakaiannya juga terlihat mahal, mungkin terbuat dari kain sutera. Rambutnya hitam panjang. Wajahnya cukup sangar dan berwibwa.

"Pesan tuak, Bi," katanya dengan suara cukup lantang.

Si pemilik kedai segera mengangguk. Sepertinya orang tersebut merupakan pelanggan di tempat ini.

Sementara itu, orang tadi langsung berjalan semakin masuk ke dalam setelah dia memesan tuak tersebut.

"Saudara hanya makan sendirian saja?" tanyanya.

Ternyata orang itu bukan menuju ke meja lain, dia malah menuju ke meja di mana terdapat Raka sedang makan singkong.

Alhasil pemuda itu langsung menghentikannya makannya. Raka menengadah memandang wajah orang tersebut.

"Hanya seorang diri," jawabnya kalem.

"Kalau begitu, bagaimana kalau aku temani? Biar ada teman ngobrol,"

"Usul yang baik," ucap pemuda itu sambil tersenyum mengangguk.

"Namaku Ranggana, siapa nama suadara?" tanya orang itu sambil memperkenalkan diri.

"Namaku Raka,"

"Nama yang bagus. Seperti juga pemiliknya,"

Pada saat mereka mulai berbincang-bincang, si wanita tua pemilik kedai baru saja selesai menyuguhkan tuak pesanan orang bernama Ranggana tadi.

"Silahkan Tuan,"

Ranggana hanya menjawab dengan anggukan kepala. Dia lantas menuang tuaknya ke dalam cangkir yang terbuat dari bambu tersebut.

"Pagi-pagi begini sudah minum tuak, memangnya enak?" tanya Raka dengan polosnya.

"Tentu aja. Bagi sebagian orang, tuak adalah tenaga. Mabuk adalah sesuatu yang menyenangkan," jawabnya sambil tersenyum

Ranggana langsung mengangkat lalu meminum tuak dalam cangkir.

Raka Kamandaka diam saja. Dia hanya memperhatikan orang minum tanpa bicara sepatah kata pun.

"Pagi-pagi begini sudah keluar, kalau boleh tahu, ke mana tujuanmu sebenarnya?"

"Ah, hanya ingin mencari angin saja,"

Orang itu mengangguk-angguk, dia baru menyadari kalau dandanan Raka mirip seorang pendekar yang berkecimpung dalam dunia persilatan.

"Apakah kau seorang pendekar?" tanyanya dengan tatapan penuh selidik.

"Tidak berani, tidak berani. Aku hanyalah seorang pemuda yang masih hijau," jawabnya malu-malu.

Pemuda itu bicara sejujurnya. Dia memang masih hijau. Malah sangat-sangat hijau. Sejatinya, Raka Kamandaka belum pernah menginjakkan kakinya dalam dunia yang penuh darah itu. Baru sekarang saja dia akan menempuh ke sana.

"Aii, sudah tampan, gagah, seorang pendekar pula," kata Ranggana sambil tersenyum dan mengelus-elus jenggotnya sendiri.

"Tuan Ranggana terlalu memuji,"

Pemuda itu paling risih kalau ada orang yang memujinya terlalu berlebihan seperti itu. Raka Kamandaka bukanlah orang yang haus akan sebuah pujian.

Baginya, pujian hanya pantas diucapkan untuk Sang Hyang Widhi saja.

Sementara itu, mengetahui kalau pemuda di hadapannya merupakan seorang pendekar, sepasang mata Ranggana selalu menatapnya penuh selidik. Seperti orang yang sedang mengawasi. Tatapannya tajam. Wajahnya juga amat serius.

"Raka, aku pergi dulu. Kalau ada waktu senggang, datanglah ke perusahaan pengawalan barang Singa Merah," kata Ranggana sambil bangkit berdiri.

"Ah, baiklah. Nanti pasti aku akan datang ke sana,"

"Baik, aku tunggu. Sampai bertemu lagi,",

Ranggana langsung pergi begitu selesai membayar biaya minumnya.

Pada zaman ini, perusahaan pengawalan barang memang sudah lumayan banyak. Berbagai macam kalangan masyarakat sengaja membuka usaha ini. Sebab bagi sebagian orang, usaha ini merupakan peluang yang sangat jitu.

Kebetulan pula, sekarang sedang banyak terjadinya kejahatan. Oleh sebab itulah, menyewa jasa perusahaan pengawalan barang menjadi jalan pintas yang sangat tepat bagi mereka yang ingin mengirimkan barang berharga.

Hari sudah terang tanah. Sang Surya telah muncul di ufuk timur. Cahaya emas menyinari alam mayapada dengan terangnya.

Raka sudah pergi dari kedai makan tadi. Sekarang pemuda itu akan memulai langkah kakinya.

Langkah yang baru. Suasana baru. Dan dunia yang baru pula.

Saat ini dirinya sedang berjalan menyusuri jalanan hutan. Udara sangat sejuk. Hawa dingin masih terasa dengan jelas. Embun pagi belum habis, masih menempel di pucuk dedaunan.

Di tengah perjalanan itu, telinganya yang sangat tajam tiba-tiba mendengar sesuatu. Sesuatu yang sangat ramai.

Wushh!!!

Dengan sigap dirinya melompat ke atas dahan pohon. Pemuda itu ingin melihat apa yang bakal terjadi.

Ternyata di kejauhan sana, ada serombongan orang berkuda yang sedang melarikan kudanya dengan sangat kencang. Jumlah mereka tak kurang dari lima belas orang. Semuanya memakai pakaian hitam ringkas dan seragam.

Mata Raka Kamandaka terus mengawasi keadaan di sekitarnya. Dia baru menyadari, ternyata serombongan orang berkuda itu sedang mengejar seseorang yang berada cukup jauh di depannya.

Orang itupun berlari dengan memakai kuda. Kuda warna merah yang gagah perkasa. Seperti juga penunggangnya. Dia seorang pemuda berumur sekitar dua puluh empat tahunan. Wajahnya cukup tampan. Badannya juga terbilang tinggi tegap.