Pesan dari Eyang Pancala Sukma itu selalu diingat oleh Raka Kamandaka dengan seksama. Dia tidak pernah melupakannya meskipun hanya sekejap.
Oleh sebab itulah, sekarang Pendekar Pedang Pencabut Nyawa berniat untuk menangkis serangan lawan dengan kedua buah tangannya.
Raka adalah pemuda tampan dan rupawan. Tubuhnya tinggi kekar. Otot-ototnya menonjol keluar. Selain itu, diapun merupakan pemuda yang suka merawat diri. Kuku-kukunya dirawat. Kuku itu bersih dan selalu dipotong.
Sekilas pandang, kalau saja di punggungnya tidak terdapat sebatang pedang, mungkin setiap orang tak akan percaya jika dirinya adalah seorang pendekar muda pilih tanding.
Karena pada dasarnya, seorang pendekar biasanya tidak terlalu mementingkan penampilan, kecuali hanya sedikit. Raka benar-benar berbeda dari pendekar pada umumnya. Termasuk juga si Pendekar Tangan Sakti.
Meskipun namanya sudah termashur ke seluruh penjuru. Walaupun kemampuannya mungkin setinggi langit, namun kalau masalah penampilan, rasanya dia tidak akan bisa menang dari Raka Kamandaka.
Dandanan Pendekar Tangan Sakti sangat sederhana. Malah terkadang dia cuma memakai pakaian ringkas yang warnanya sudah hampir luntur.
Terlepas apapun dan bagaimanapun itu, hakikatnya setiap manusia mempunyai prinsip dan ciri khas yang berbeda.
Serangan si Pedang Biru sudah tiba di depan mata. Dua tusukan maut dan lima tebasan berantai dilayangkan dengan sekuat tenaga.
Orang itu mengincar berbagai macam titik penting di tubuh Raka Kamandaka. Setiap serangannya mempunyai kecepatan yang sulit diikuti oleh mata orang awam.
Wutt!!! Wutt!!!
Raka Kamandaka berkelit untuk menghindari dua tusukan awan. Setelah itu dirinya segera bergerak kembali dalam kecepetan yang sama.
Sekalipun benar bahwa serangan si Pedang Biru sangat cepat, namun sayangnya masih belum sangggup untuk mengungguli kecepatan gerakan Pendekar Pedang Pencabut Nyawa.
Walaupun setiap serangannya dilakukan dengan penuh perhitungan dan kematangan, nyatanya hal tersebut masih belum sanggup dijadikan bekal untuk menghadapi pemuda bernama Raka Kamandaka itu.
Serangan beruntun perdananya tidak bisa diandalkan. Semua serangan tersebut gagal mengenai tubuh lawan. Dia hanya menusuk dan menebas angin.
Setelah menyaksikan bahwa serangan si Pedang Biru habis dan gerakannya mulai melemah, saat itulah Raka bergerak cepat.
Kedua lengannya bergerak secara bergantian. Sembilan pukulan dilancarkan dengan kecepatan yang sulit diikuti oleh mata. Setiap pukulan mengandung kekuatan hebat. Jangankan manusia, batu sebesar kerbau pun sanggup dia hancurkan dengan mudahnya.
Wutt!!! Wutt!!!!
Dua cahaya putih dan biru mewarnai alam semesta. Kedua cahaya itu melesat cepat ke sana kemari bagaikan sebuah bayangan setan di kegelapan.
Si Pedang Biru masih menyerang dengan pedang pusaka kesayangannya. Sedangkan Raka Kamandaka masih mengandalkan pukulan dan tamaparan kedua lengannya.
Pertarungan itu terus berlanjut hingga belasan jurus lamanya. Entah bagaimana, namun secara tiba-tiba, cahaya biru mendadak membelah udara hampa kembali.
Pedang Biru sudah datang lagi. Dua belas tusukan beruntun mencecar tubuh Raka Kamandaka.
Posisi pemuda itu mulai terdesak. Dia merasa sedikit kewalahan karena tusukan lawan yang datang tersebut tiada hentinya. Sebelas tusukan pertama habis, maka akan segera dilanjut kembali dengan tusukan ataupun tebasan lainnya.
Si Pedang Biru menggempur dengan dahsyat. Hawa pedang menyelimuti alam mayapada. Pertempuran keduanya sudah berlangsung selama kurang lebih delapan jelas jurus.
Hingga saat ini, belum terlihat siapakah di antara keduanya yang bakal meraih kemenangan. Namun ketika posisi dirinya benar-benar tidak menguntungkan, pada saat itulah Raka Kamandaka bertindak cepat.
Sringg!!!
Sebuah pedang telah dicabut dari sarungnya. Pedang yang hitam. Pedang yang kejam. Aura hitam menyelimuti seluruh batang pedang.
Hawa pedang yang sebelumnya keluar dari pusaka si Pedang Biru, sekarang seakan lenyap tanpa jejak. Pedang pusaka yang dikeluarkan oleh Raka Kamandaka ternyata mempunyai pamor maha dahsyat. Hawa pedang yang keluar dari dalamnya sudah tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata lagi.
Pedang Pencabut Nyawa!!!
Akhirnya pedang itu dikeluarkan.
Jika sudah seperti ini, maka keadaannya benar-benar gawat. Bisa dipastikan kalau si Pedang Biru merupakan pendekar pedang yang tidak bisa dianggap dengan enteng.
Wutt!!!
Hawa pedang segera menyebar luas ke seluruh penjuru mata angin. Bayangan putih melesat secepat terjangan angin. Cahaya hitam pekat meluncur deras bagaikan kilat yang menyambar ke bumi.
Jurus Mengejar Bayangan Menembus Awan sudah digelar oleh Raka Kamandaka.
Serangan yang terkandung di dalamnya benar-benar ganas. Jurus ini ditakuti lawan disegani kawan, alasannya karena ke mana pun perginya musuh, maka si pemilik jurus bakal tetap mengejarnya meskipun itu harus menembus awan.
Si Pedang Biru terkaget-kaget. Hampir saja dirinya terkena tusukan pedang lawan karena sempat terbengong beberapa saat.
Untunglah bertepatan pada saat itu dia segera berkelit ke samping. Tanpa mau membuang waktu lagi, si Pedang Biru lantas mengeluarkan pula jurus mautnya.
Jurus Pusaran Angin Badai digelar. Pedang Biru memainkan pusakanya dengan gerakan lincah. Jurus ini adalah jurus andalannya. Sudah puluhan tahun dirinya malang melintang dalam dunia persilatan, dan selama itu, jurus inilah yang selalu dia andalkan. Jurus ini pula yang bisa membuat namanya dikenal luas di kalangan orang-orang sungai telaga.
Kalau begitu, apakah sekarang Jurus Angin Badai tersebut juga sanggup menolongnya?
Trangg!!! Trangg!!! Trangg!!!
Benturan pedang terdengar nyaring. Pedang Pencabut Nyawa berbenturan dengan pusaka si Pedang Biru. Jika pusaka kelas atas bertemu, maka akibat yang ditimbulkan pun akan lumayan.
Daun-daun di sekitar pertarungan rontok karena tidak kuat menahan pancaran dua hawa pedang. Raka Kamandaka terus menggempur lawan tanpa kenal lelah.
Belasan tusukan dan tebasan mencecar si Pedang Biru.
Selama sebelas jurus, dia masih sanggup bertahan dari semua serangan Raka Kamandaka. Tetapi setelah lebih daripada itu, posisinya sudah terlihat terdesak hebat. Kuda-kudanya mulai goyah. Pertahanan yang tadinya sangat rapat sekalipun, sekarang mendadak terlihat ada banyak celah kosong.
Pada saat itulah serangan Pendekar Pedang Pencabut Nyawa yang sesungguhnya telah tiba di depan mata.
Slebb!!!!
Cahaya hitam berkelebat ke arahnya. Sesaat kemudian, leher si Pedang Biru telah ditembus oleh pusaka pembawa maut tersebut.
Dia membelalakkan matanya pertanda tidak percaya.
Dari tatapan itu, terselip berbagai macam perasaan. Ada rasa menyesal, rasa haru, juga rasa bangga. Yang terlihat hanyalah tatapan rasa sakit. Seolah si Pedang Biru tidak dapat merasakan apa-apa.
Benarkah dirinya sudah tidak bisa merasakan kesakitan?
Brukk!!!
Suara tubuh jatuh ke tanah langsung terdengar begitu pedang Raka Kamandaka telah dicabut kembali. Si Pedang Biru telah tewas. Tewas di tangan seorang pemuda berjuluk Pendekar Pedang Pencabut Nyawa.
Raka masih berdiri di sisi mayat musuhnya. Sepasang matanya menatap jauh ke depan sana. Seperti ada sesuatu yang dia rasaakan dan sulit untuk dijelaskan.
Angin berhembus. Rambutnya meriap-riap. Pakaiannya berkibar karena hembusan angin tersebut.
Entah sejak kapan, namun saat ini ternyata Pedang Pencabut Nyawa sudah berada di posisi semula. Malah pedang itu sudah dibungkus kembali dengan kain berwarna putih.