Bersamaan dengan pertempuran Pendekar Pedang Pencabut Nyawa barusan, di sisinya, Arya Saloka si Pendekar Tangan Sakti juga sedang menggelar pertarungan melawan si Manusia Elang.
Semenjak awal, keduanya telah memutuskan untuk mengeluarkan kemampuannya hingga ke titik tertinggi. Mereka mengadakan duel hidup dan mati ini dengan sungguh-sungguh.
Pada saat ini Arya Saloka sedang berada dalam posisi bertahan. Dia belum bisa melancarkan serangan balasan kepada si Manusia Elang.
Gempuran serangan yang dilayangkan oleh lawannya itu tidak bisa dipandang sebelah mata. Terutama sekali tiga cakar besi yang berada pada masing-masing punggung tangannya.
Arya Saloka tahu betul kalau cakar besi itu, selain tajam juga mengandung sebuah racun teramat ganas. Hal ini bisa dia ketahui karena pada saat si Manusia Elang menyerang, dirinya selalu mencium bau busuk yang cukup menyengat hidung.
Bau busuk itu bukan berasal dari bangkai binatang. Melainkan berasal dari racun ganas yang terkandung pada tiga cakar besi tersebut. Sehebat apapun Pendekar Tangan Sakti, hakikatnya dia tetaplah manusia. Manusia yang tidak kebal terhadap racun.
Entah sudah berapa kali tiga cakar itu hampir mengenai tubuhnya. Untunglah bahwa ilmu meringankan tubuh Arya Saloka sudah terbilang sempurna, sehingga beberapa kali dirinya bisa selamat dari maut yang amat ditakuti oleh kebanyakan orang.
Coba kalau tidak begitu? Mungkin sudah sejak tadi pula Pendekar Tangan Sakti mampus di tangan manusia iblis seperti si Manusia Elang.
Pertarungan kedua tokoh dunia persilatan itu sudah berlangsung selama kurang lebih tiga belas jurus. Selama ini, Arya Saloka selalu berada di posisi bertahan.
Untun sementara waktu, memang hanya hal itu saja yang dapat dia lakukan. Sebab jika dipaksa menyerang, bukan tidak mungkin kalau nyawanya akan melayang dengan mudah.
Saat ini kedua tangan si Manusia Elang sudah diangkat setinggi mungkin. Tokoh aliran hitam itu sudah siap untuk melayangkan serangan keji.
Wutt!!! Wushh!!!
Cahaya hijau tua terlihat seperti kilat. Bau busuk yang lebih kental tercium sehingga mampu membuat siapapun mual karenanya. Dua cakar beracun si Manusia Elang menyerang ke arah dada kanan dan pundak kiri Pendekar Tangan Sakti.
Serangan ini dilakukan dengan waktu singkat.
Arya Saloka bergerak lebih cepat. Tubuhnya berkelit ke samping kanan lalu sepasang tangannya menghantam lengan lawan.
Bukk!!!
Si Manusia Elang tergetar. Lengan sebelah kanannya mati rasa. Lengan itupun lemas lunglai tak berdaya.
Pendekar Tangan Sakti tersenyum simpul. Dengan mudah saja dia menyalurkan seluruh tenaga dalam kepada telapak tangannya. Sesaat kemudian, hantaman keras langsung diturunkan.
Plakk!!!
"Ahh …" si Manusia Elang menjerit sangat keras sekali.
Saking kerasnya jeritan tersebut, bahkan pepohonan kecil di sekitarnya dibuat bergetar. Daun-daun berguguran lalu terbang terbawa angin yang berhembus.
Pertempuran langsung berhenti sessat. Karena pada saat itu, dirinya sudah melompat mundur ke belakang.
Ternyata teriakan itu dihasilkan karena lengan kanannya dipatahkan dengan kejam oleh Pendekar Tangan Sakti. Lengan itu tampak sangat lemas. Lengan si Manusia Elang menggantung tak berguna.
Peluh dingin sebesar kacang kedelai mulai turun dari keningnya. Rasa sakit pada saat dipatahkan lengannya merupakan suatu pengalaman tersendiri. Suatu kesakitan yang mungkin jauh lebih sakit daripada ditinggal seorang kekasih hati.
Si Manusia Elang meringis menahan sakit. Beberapa kali ekor matanya melirik ke arah lengan itu. Dia ingin menangis, tapi hal itu tentu tidak bisa. Daripada menangis, lebih baik mampus di tangan lawan.
Seorang tokoh terkenal sepertinya mengucurkan air mata hanya karena satu lengannya dipatahkan, jika sampai berita itu menyebar luas dalam dunia persilatan, bukankah dia akan menjadi bahan tertawaan semua kalangan?
Tidak, hal itu tidak boleh terjadi. Bagaimanapun sakitnya, dia harus tetap bertahan untuk sementara. Setidaknya untuk saat ini.
Si Manusia Elang kemudian menyalurkan hawa murni untuk mengurangi perasaan sakit tersebut. Setelah selesai, dirinya langsung menyerang kembali menggunakan lengan kirinya yang masih normal.
Jurusnya masih sama. Serangannya juga serupa. Hanya saja, kadar kekuatannya telah berbeda. Begitu juga dengan tekad, nyali, bahkan keadaan si Manusia Elang sendiri juga berubah.
Serangan itu terbilang sangat lemah. Gerakannya juga terhitung lambat.
Arya Saloka tersenyum dingin. Ternyata kemampuan si Manusia Elang memang berpusat pada kedua lengannya. Terbukti sekarang, ketika satu lengannya patah, dia langsung terlihat seperti manusia mati.
Wushh!!!
Arya Saloka memutuskan untuk menyongsong ke depan. Jurus Tangan Meraih Rembulan segera dilayangkan ke arah si Manusia Elang.
Hawa dingin terasa menusuk tulang. Sebelum tiba serangan asli, desingan angin tajamnya ternyata sudah bisa dirasakan dengan jelas.
Plakk!!! Bukk!!!
Benturan antar tulang terdengar. Sesaat kemudian, hantaman telapak tangan yang teramat dahsyat langsung menghunjam ulu hati si Manusia Elang dengan sangat telak.
Tubuh si Mata Elang meluncur dengan deras ke belakang sana. Tubuh itu baru berhenti setelah menabrak sebatang pohon arba berukuran cukup besar.
Brugg!!!
Pohon bergetar. Daunnya berjatuhan menimpa tubuh si Manusia Elang yang saat ink sudah terkapar di tanah. Dia telah tewas dengan cara mengenaskan.
Dadanya sedikit melesak ke dalam. Dari mulutnya tampak ada lelehan darah kental kehitaman.
Si Manusia Elang tewas tidak berapa lama setelah mampusnya si Pedang Biru
Suasana hening kembali. Dua pertarungan hebat telah diselesaikan. Raka Kamandaka dan Arya Saloka kembali berhasil keluar sebagai pemenang.
Keduanya berjalan melawan arahnya masing-masing. Mereka berjalan berhadapan. Setelah jaraknya dekat, kedua orang itu langsung tersenyum hangat. Mereka sama-sama menepuk pundak.
Kemudian mereka segera berlalu pergi dari sana. Arya dan Raka berniat untuk mencari sebuah tempat yang tenang dan nyaman agar mereka berdua bisa bicara serius.
###
Setelah melakukan perjalanan beberapa saat, akhirnya dua orang sahabat baru itu sudah berhenti di sebuah lembah. Lembah yang berhawa sejuk. Lembah yang mempunyai pemandangan indah dan menenangkan.
Di sana, mereka bisa menyaksikan Kotarana dengan jelas. Kemegahan dan keindahan Istana Kerajaan juga terlihat seperti berada di depan mata.
Teriknya matahari di siang hari ini, kalah dengan dinginnya hembusan angin yang membelai tubuh. Hingga saat ini mereka berdua masih diam. Belum ada yang bicara di antara dua pemuda tampan itu.
Sepertinya kedua orang pendekar muda itu sedang berusaha menikmati keindahan yang disajikan oleh Sang Hyang Widhi kepada para makhluknya.
Lembah semacam ini sangat banyak. Malah keindahan pemandangan dan ketenangan yang diberikan pada saat berada di lembah seperti sekarang, juga teramat banyak sekali.
Semua itu anugerah. Semua itu adalah bukti akan adanya Sang Hyang Widhi. Segala yang ada di alam mayapada itu sebenarnya khusus dipersembahkan untuk makhluk-makhluknya yang ditugaskan untuk menjaga dan merawat.
Namun apakah benar kita mau menjaga dan merawat?
Berapa berapa banyak orang yang mau merawat? Berapa banyak yang mau menjaga? Dan lagi, berapa banyak pula orang-orang yang mau menghancurkannya?