Raka Kamandaka mendadak sedkit rikuh. Hakikatnya dia bukanlah orang yang gemar dipuji. Malah kalau dirinya mendapatkan pujian dari orang lain, tidak jarang pemuda itu akan merasa malu.
Baginya, pujian adalah sesuatu yang berlebihan.
Yang berhak dipuji bukanlah manusia. Melainkan Dia, Sang Pemilik Manusia.
"Kau terlalu memuji, aku benar-benar merasa sungkan untuk menerimanya," ucapnya sambil membungkukkan badan.
Arya Saloka tersenyum simpul. Dia sudah mempunyai banyak pengalaman kehidupan. Karena itulah dirinya bisa membaca karakter seseorang meskipun dia baru bertemu dengannya.
Menurut penilaiannya, Raka Kamandaka merupakan pemuda yang rendah hati. Meskipun dia mempunyai kemampuan setinggi langit, namun ternyata pemuda itu tidak memperlihatkan sifat sombong sedikitpun. Dia berbeda dari para pendekar pada umumnya.
"Aii, aku benar-benar kagum kepadamu. Meskipun ilmu mu sudah sangat luhur, namun sedikitpun kau tidak memperlihatkan sifat sombong. Di zaman sekarang, pemuda sepertimu sudah lumayan jarang,"
"Untuk apa aku sombong? Memangnya apa pula yang mau aku sombongkan?" jawabnya sambil tersenyum.
Arya Saloka paham akan maksud Raka Kamandaka. Dia tidak mau membahas hal-hal pribadi seseorang lebih jauh lagi. Sekarang, dirinya ingin membahas suatu persoalan penting. Persoalan rumit yang sudah tersedia di depan mata.
Yang mempunyai pemikiran seperti itu bukan saja dirinya saja, malah Raka pun demikian.
"Tempat ini tidak cocok untuk membicarakan persoalan, lagi pula, aku yakin sebentar lagi bakal ada orang-orang mereka yang datang menyusul kemari. Lebih baik kita segera pergi sebelum terlambat," ajak Arya Saloka kepada Raka Kamandaka.
"Benar sekali, aku setuju denganmu,"
Arya Saloka mengangguk. Akhirnya mereka setuju untuk segera berlalu dari sana.
Bagaimanapun juga, apa yang dikatakan oleh Pendekar Tangan Sakti tidak salah. Malah perkataan itu sangat tepat. Bukan tidak mungkin musuh-musuh lainnya akan segera berdatangan ke hutan itu.
Dalam setiap gerakan, sudah pasti ada yang memimpin. Entah itu satu orang ataupun berapa orang, pasti ada yang dianggap sebagai pimpinan.
Namun pada saat ini, mereka berdua belum menemukan pemimpin yang dimaksud. Yang tadi mereka lawan hanyalah antek-anteknya saja. Hanya pasukan keroco yang tidak berharga.
Pada saat keduanya membalikkan tubuh dan akan beranjak dari sana, mendadak gerakan mereka seketika berhenti. Bukan tanpa alasan apa-apa. Melainkan karena sekarang, di depan keduanya sudah berdiri pula dua orang pria tua asing.
Mereka sedang berdiri sambil mengawasi Pendekar Pedang Pencabut Nyawa dan Pendekar Tangan Sakti. Dua orang tua yang tidak dikenal itu menatap tajam. Mereka ibarat dua ekor macan kumbang yang sedang menyelidiki calon mangsanya.
Yang satu mempunyai perawakan tinggi sedang. Rambutnya digelung ke atas. Wajahnya sudah dipenuhi dengan keriput. Garis wajah itu menandakan bahwa dia telah melewati berbagai macam rintangan kehidupan. Pahit manisnya hidup ini, seprtinya sudah pernah dirasakan oleh orang tersebut.
Dia memakai pakaian biru tua yang sedikit gombrang. Di tangan kirinya tergenggam sebatang pedang bersarung biru pula.
Sedangkan yang satu lagi usianya sudah sekitar tujuh puluhan tahun, dia mempunyai postur lebih tinggi. Tubuhnya sangat kurus kering. Hanya tulang berbalut kulit. Matanya cekung. Alis matanya juga jarang-jarang. Orang tua tersebut memelihara kumis cukup tebal. Jenggotnya setengah jengkal. Mulutnya selalu tersenyum mengejek. Seolah di dunia ini tidak ada yang berharga baginya.
Yang unik dari orang tua tersebut adalah hidungnya. Hidung itu bengkok seperti paruh burung elang. Lantas apakah orangnya juga mirip seperti burung pemangsa tersebut?
Selain daripada itu, orang tua tersebut juga memakai pakaian kelabu. Sewarna dengan bulu elang. Di tangan kanan dan kirinya terdapat sebuah senjata yang unik namun menakutkan. Pada masing-masing punggung tangannya ada tiga cakar besi yang berujung runcing.
Siapa kedua orang tua itu?
Siapapun tidak ada yang tahu. Karena baik Arya Saloka maupun Raka Kamandaka, keduanya sama sekali tidak mengenal orang tua itu. Malah Pendekar Tangan Sakti yang sudah mempunyai nama pun, rasanya belum pernah bertemu dengan dua orang tua itu.
"Siapa kalian?" tanya Pendekar Pedang Pencabut Nyawa.
"Aku si Pedang Biru, dan ini rekanku si Manusia Elang," jawab orang tua yang memakai pakaian biru tua itu.
Arya Saloka dan Raka Kamandaka mengangguk. Mereka tidak mau tahu lebih lanjut lagi. Karena walaupun berusaha ingin tahu, mereka pasti tetap tidak akan tahu.
"Apakah kalian pemimpin dari tiga puluh orang berseragam hitam tadi?"
"Benar,"
"Apakah kalian datang untuk membunuh Pendekar Tangan Sakti karena disangka sudah membawa Kitab Tapak Manunggal? Dan apakah kalian juga ingin membunuhku karena mengetahui bahwa aku adalah keturunan yang tersisa dari keluarga Kamandaka?"
"Agaknya kau bukan pemuda yang bodoh," kata si Pedang Biru sambil menghela nafas.
Tentu saja Raka bukan orang bodoh. Dia terbilang cerdas, bahkan dalam beberapa hal, kecerdasannya mampu melebihi manusia pada umumnya.
Jangankan Raka, bahkan jika yang sekarang berada di posisinya adalah orang lain, dia pasti dapat menduga tujuannya dengan mudah.
Dua orang yang tak dikenal tiba-tiba menghalangi jalan dan datang dengan membawa senjata tajam, kalau bukan untuk membunuhnya, lantas untuk apa lagi?
"Terimakasih," jawabnya singkat.
Keempat orang tokoh dunia persilatan itu langsung diam. Mereka tidak berbicara kembali. Semuanya berdiri tanpa bergerak.
Hawa kematian tiba-tiba menyelimuti tempat sekitar. Hawa pembunuh keluar dari tubuh si Pedang Biru dan si Manusia Elang. Kedua hawa itu terasa sangat kentara. Jangankan manusia, mungkin binatang pun bisa merasakannya.
Angin berhembus. Sinar matahari sudah sepenggalah. Susana masih hening. Sudah beberapa waktu mereka saling diam, dan pada saat itulah si Pedang Biru bergerak lebih dulu dari rekannya, si Manusia Elang.
Wutt!!!
Cahaya biru berkelebat. Hawa pedang menyebar luas ke segala penjuru. Tusukan beruntun langsung dilayangkan oleh musuh.
Dua pendekar muda itu melompat mundur dua langkah ke belakang. Mereka tidak menyangka kalau lawan akan langsung turun tangan dengan kejam seperti barusan.
Semua tusukan yang diberikan oleh si Pedang Biru sangat dahsyat. Raka belum pernah melihat serangan keji seperti ini.
Ribuan titik pedang tercipta. Cahaya biru bergulung-gulung menerjang tanpa belas kasihan.
"Biar aku yang melawannya," kata Raka kepada Arya Saloka.
"Baik,"
Arya memundurkan langkahnya kembali. Untuk sementara ini dia hanya bisa berdiri sambil terus menunggu. Menunggu si Manusia Elang turun tangan ke arena.
Wushh!!!
Bayangan putih melesat cepat ke depan sana. Raka Kamandaka langsung menyongsong datangnya serangan lawan. Pada saat itu, Pendekar Pedang Pencabut Nyawa belum mencabut pusakanya.
Dia selalu mengingat pesan dari gurnya, dulu, Eyang Pancala Sukma pernah berkata kepadanya, "Raka, jangan kau gunakan Pedang Pencabut Nyawa jika keadaannya tidak benar-benar terdesak. Selama musuhmu tidak terlalu tangguh, meski dia memakai senjata apapun, maka lawanlah dengan kedua tanganmu. Kau harus selalu ingat perkataanku ini. Sekali Pedang Pencabut Nyawa dikeluarkan, maka dia tidak akan mau masuk sebelum memakan korban nyawa,"