Eckart menyeretku masuk ke rumah. Tanpa peduli apa yang aku rasakan. Dia masih menggenggam erat pergelangan tanganku - sakit. Aku meringis tapi Eckart tidak menghiraukanku. Aku ingin melawan, tapi aku sudah tahu itu tidak ada gunanya.
Tubuhku di hempaskan di sofa dengan kasar. Eckart berdiri tepat di depanku. Aku menundukkan kepalaku cepat setelah melihat wajah Eckart bermuram durja.
Dia tetap berdiri, tak beranjak sedikit pun. Tidak juga berbicara.
Lalu beberapa detik kemudian Eckart mendekat. Hal yang pertama dia lakukan adalah meraba tengkukku dan kemudian mengendus-ngendus di area yang tadi di rabanya. Aku bisa merasakan nafasnya di tengkukku. Hal ini membuat tubuhku merinding. Namun, tak lama kemudian tubuhnya menjauh.
"Ck.."
Aku mendengarnya berdecak kesal dan kemudian menghela nafas panjang dan berat.
"I told you, i hate that damn pheromones on your body!" Ucapnya dengan nada kesal.
Aku mendongak, melihat wajahnya yang sedang marah.
"Why? I'm not even yours."
"But you live at my damn home!" Ujarnya dengan nada tinggi. Matanya merah, raut wajahnya terlihat sangat frustasi.
Aku tidak tahu kenapa Eckart bertingkah seperti ini. Aku ingin meminta penjelasan. Bukan menerima bentakan seperti ini.
Mataku memanas, air mataku sudah menggenang di pelupuk mata, siap tumpah kapan saja.
"Daddy." Suara kecil itu memecah suasana.
Aku berdiri. Tanpa mempedulikan Eckart dan Nuri, aku berlari menuju kamarku dan mengurung diri.
Aku menangis, meluapkan perasaanku yang entah kenapa terasa sakit. Aku tidak pernah diperlakukan seperti ini. Walaupun Papa tidak menerimaku, aku tidak pernah dibentak atau mendapat perlakuan kasar darinya. Tapi kenapa, Eckart memperlakukanku seperti ini. Sosok yang aku kira lembut dan bijaksana malah membentakku dan berlaku kasar kepadaku.
Aku menangis sejadi-jadinya hingga akhirnya aku lelah dan tertidur lelap.
##
Tok... Tok... Tok...
Aku terbangun setelah mendengar suara ketukan pintu kamarku. Aku mengucek-ngucek mataku. Kemudian melirik jam di atas nakas.
'Ugh, aku kesiangan.'
Pintu kamarku kembali diketuk dikuti oleh suara imut memanggil namaku.
"Lenny."
Sambil sedikit terhuyung, aku membuka pintu kamarku. Mendapati Nuri yang masih mengenakan piyama berwarna hijau muda bermotif teddy bear berdiri tepat di depan pintu.
"Umm... Nuri kenapa belum mandi?"
Nuri menggelengkan kepalanya, "Minggu, Nuri gak mau mandi pagi-pagi."
Setelah menyelesaikan kalimatnya, Nuri menarik tanganku dengan tangannya yang kecil.
"Lenny, masakin Nuri sarapan. Nuri lapar."
Aku mengikuti langkah kecil Nuri sambil beberapa kali menguap. Aku masih mengantuk karena kejadian beberapa jam sebelumnya.
Sesaat sampai di dapur, aku menghentikan langkahku setelah melihat Eckart duduk di depan meja makan sambil menyilangkan tangannya di dada.
Nuri yang mengetahui langkahku yang terhenti mebalikkan badannya dan menatapku dengan penuh pertanyaan. Namun sesaat kemudian dia berbalik dan berlari ke arah Eckart.
Nuri menarik salah satu tangan Eckart, "Daddy, minta maaf sama Lenny."
Pria itu tidak bergeming dari tempat duduknya. Nuri yang masih menarik-narik lengannya terus merengek.
"Say sorry to him, Dad."
Eckart menatapku tajam. Aku hanya terdiam. Mematung seperti orang idiot.
"Daddy, cepat minta maaf. Daddy salah karena berteriak ke Lenny." Ujar Nuri dengan nada kesal.
'Benar Nuri, Daddymu memang menyebalkan dan membuat kesal.' Batinku.
Sepertinya ucapan Nuri menyadarkannya. Eckart bangkit dari tempat duduknya. Dengan ditutun oleh bocah kecil itu dia berjalan mendekatiku.
Nuri yang sudah berada di antara kami berdua kemudian meraih tanganku. Mendekatkan ke tangan Eckart yang dari tadi digenggamnya.
"Sekarang salaman." Ujar Nuri polos.
Nuri melihatku dan Eckart bergantian.
"Ayo Daddy, salaman. Lenny juga."
Aku menunggu Eckart menjabat tanganku. Dengan sedikit terpaksa akhirnya dia mau bersalaman denganku. Kami bersalaman dengan cepat.
Nuri menggembungkan pipinya sambil menatap Eckart. "Daddy bukan begitu, ulangi."
Nuri kembali meraih tangan Eckart dan sekarang membantu kami bersalaman. "Now say sorry."
Melihat tingkah laku Eckart membuatku sedikit bahagia. Aku sedikit terkekeh.
"Sorry. It was my fault." Ujarnya pelan.
Setelah itu Eckart melepaskan tanganku. Nuri melompat kegirangan setelah misinya berhasil.
"Yay! Sekarang ayo kita sarapan. Nuri mau waffle." Ujar Nuri sambil berlari ke arah meja makan.
Eckart mengikuti Nuri sedangkan aku dengan sigap langsung mengambil alih dapur dan melakukan apa yang biasa aku lakukan.
Dimulai dari menyiapkan adonan waffle, kemudian membuatnya dengan menggunakan bantuan cetakan dan kemudian meletakkannya ke piring. Tidak lupa kuberikan sepotong kecil butter diatas waffle untukku dan Eckart. Sedangkan untuk Nuri, aku mengolesi selai coklat hazelnut kesukaannya.
Aku menyajikan waffle di atas meja makan, tidak lupa menyediakan madu dan juga mapple syrup sebagai pilihan pelengkap.
"Kopi atau teh?" Tanyaku pada Ekcart.
"Terserah kamu aja." Jawabnya asal.
Aku kemudian membalikkan badanku dan berjalan kembali menuju dapur.
Tanganku sibuk membuatkan kopi untuk Eckart. Fokusku hanya tertuju pada coffe machine mini di depanku. Aku tidak sadar dengan Eckart yang ternyata sudah berada tepat di belakangku.
Eckart mendekatkan tubuhnya. Kepalanya di dekatkan ke tubuhku dan kemudian bertumpu di pundakku. Nafasnya yang berhembus lembut di leherku membuat tubuhku menegang. Jantungku berdetak kencang seakan ingin keluar dari dadaku. Tanganku yang tadi sibuk sekarang terhenti.
Aku tidak berani melihat pantulan diriku dan Eckart yang terlihat jelas di coffe machine di depanku ini.
Cup!
Eckart mendaratkan ciuman di leherku dan kemudian mengangkat kepalanya dan kemudian berbisik di telingaku.
"I'm sorry Lennox Selim."
Setelah melakukan hal tersebut. Aku bisa merasakan Eckart berjalan menjauh. Sedangkan aku masih mematung. Jantungku makin berdegup kencang. Pipiku memanas. Aku melirik coffe machine di depanku. Dari pantulan itu aku melihat bayangan wajahku yang sekarang sudah memerah.
Otakku serasa memberikan sinyal bahaya. Ya, Eckart sangat berbahaya untuk kesehatan jantungku dan juga kesehatan hatiku.