Sari memulai aktivitasnya seperti biasa, walaupun sudah hampir satu bulan kepergian Abra namun luka dihati Sari seolah masih basah dan tak membaik sama sekali.
Cukup sulit.. selama hampir sebulan ini juga Sari harus bersandiwara di depan teman-teman dan customernya, ia harus menunjukkan senyum setiap harinya, padahal di hatinya sangat sakit dan ingin sekali merintih mengeluarkan semua kesedihannya.
'kenapa.. kenapa harus aku yang merasakan ini, kenapa dia pilih aku kalau akhirnya akulah yang harus seperti ini,' rintih Sari sesekali melirik wajah ketiga teman-temannya yang jauh lebih beruntung hingga tak merasakan luka sepertinya.
"Sari.. tadi customer yang kamu handle kemarin telpon bu bos, katanya kamu lupa kasih serum ke wajahnya?" Dita bertanya ke Sari dari meja kasir.
Sari tetap diam sambil memegang majalah ditangannya, majalah itu memang terbuka tapi mata Sari tak menunjukan kalau ia sedang membacanya.
"Hei… Sari.." panggil Dita.
"Sari…. Melamun lo ya?" Ica sedikit berteriak menepuk pundak Sari yang tak mendengar panggilan Dita.
Sari tersadar dan menoleh ke Ica dan Dita "iya.. kenapa?" Tanyanya datar.
"Tu ditanyain sama Dita." Ucap Ica memajukan bibirnya ke arah Dita.
"Iya dit kenapa?" Tanya Sari polos.
"Ini kemarin ada customer yang komplain sedikit, katanya kamu lupa kasih serum ke wajahnya?," Jawab Dita sopan.
"Oh.. iya..ya.. ya ampun, aku lupa.." ucap Sari kaku.
"Iya.. bu bos yang kasih tau aku, soalnya customer langsung nelpon ke bu bos," terang Dita.
Mata Sari langsung membesar dan mulutnya terbuka, "waduh… gawat.. habislah gue," gerutu Sari Menepuk jidatnya.
"Yaudah sih.. namanya juga manusia ada lupanya," imbuh Ica.
"Nanti kamu jelasin aja ke bu bos alasan kamu apa, katanya nanti mau mampir sebentar?" Ucap Dita.
"Sana.. lo ngarang dulu alasan yang paling masuk akal, biar bu bos ga senewen," sahut Ica menggoyangkan kedua alisnya.
"Duh.. bilang apa ya?" Sari bingung harus memberi alasan apa, karena memang itu keteledoran dia yang tidak fokus akibat mikirin si Abra terus.
Pusing memikirkan apa yang harus ia katakan pada Asya kelak, Sari masih termenung sendiru di ruang karyawan.
Tiba..tiba..
Ceklek.. seseorang menarik knop pintu itu.
"Sari.. !" Ucap Asya pelan.
Sigap Sari merubah posisinya yang terbaring menjadi duduk dan merapikan helaian rambutnya yang sedikit tak beraturan.
"Iya bu.." Sari segera akan beranjak berdiri.
"Tetap duduk disana Sari!" Perintah Asya.
Sari menuruti maunya Asya, ia pun kembali merebahkan bokongnya di lantai beralaskan karpet yang bermotif polkadot itu.
"Kamu sudah tau kesalahan kamu?" Tanya Asya masih berdiri melipat kedua tangannya.
"Iya bu.." jawab Sari pelan sambil menundukan kepalanya.
"Kali ini saya maklumin, tapi saya harap kamu tidak melakukannya lagi apalagi sama customer langganan!" Ucap Asya sedikit sinis.
"Baik bu."
"Saya minta kamu fokus ya kalau memang masih betah bekerja disini, karena beberapa bulan terakhir ini target kamu pun selalu menurun," jelas Asya.
"Iya bu." Jawab Sari.
"Ingat ya.. jika kamu sedang ada masalah pribadi tolong jangan sampai berimbas pada pekerjaanmu, berikan yang terbaik untuk Salon ini!" Tekan Asya.
Sari hanya diam tertunduk mendengar perkataan bosnya itu, sementara Asya berbalik dan menutup pintu itu meninggalkan Sari didalamnya.
Kesal.. mungkin itu yang Sari rasakan saat ini, saat hatinya tengah rapuh ada saja masalah yang menambah kesal dihatinya, Sari memikirkan apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Meskipun teman-teman Sari tak mendengar apa yang dibilang Asya, tapi rasa Malu Sari datang dengan sendiri hingga ia canggung dan takut untuk keluar dari ruangan ini.
"Sari.. makan yuk," ajak Wati yang membuka pintu itu tiba-tiba.
Sari kaget mendengar suara Wati dan segera melihat ke arahnya, disaat ia merasa malu dan canggung keluar dari sini tapi ada Wati yang mengajaknya. Memang dari ketiga temannya hanya Wati yang paling perhatian dan dekat dengannya.
"Ayo…" ucap Sari menghampiri Wati.
"Lo kenapa ri.. kok mukanya kaya lesu gitu?"
"Iya.. gara-gara gue ga fokus kerja kemaren."
"Ga fokus gimana?" Wati tak tahu apa-apa sama sekali.
"Kan ada customer yang komplain sama gue, gara-gara lupa kasih serum ke mukanya," terang Sari.
"Terus…."
"Ya tadi gue dikasih peringatan sama bu bos" jawab Sari bete.
"Yaudah… yang sabar ya ri," Wati mengelus pundak Sari.
"Iya ti.. makasih ya."
Wati mengangguk tersenyum, "makan lagi donk," ucapnya menambahkan telur sambal pada piring Sari.
"Huh…." Keluh Sari melemparkan tas hitam kecil ke sembarang arah di dalam kamarnya. Ia langsung menjatuhkan tubuhnya di kasur itu, seakan melepas beban yang sangat berat.
"Gara-gara kamu.. aku jadi gak fokus kerja!" gerutu Sari berbicara menghadap lampu yang tertanam di langit-langit kamar itu.
Selama bekerja Sari belum pernah melakukan kesalahan seperti ini, ini memang bukan kesalahan besar tapi entah mengapa hati Sari begitu sedih bila teringat saat siang tadi Asya bicara padanya.
"Kenapa hatiku kesal sekali, padahal dia bicara sewajarnya saja tadi?" Tanya Sari sambil memiringkan badannya dan meraih badan guling untuk dipeluknya.
Entah kenapa perasaan kesal Sari tak bisa hilang bila terbayang wajah Asya, bosnya itu yang juga kakak dari Abra lelaki yang sangat ia cintai.
"Gara-gara dia Abra ninggalin aku." Pandangan Sari tajam seolah sedang menatap seseorang yang dibencinya.
Sari tahu sekarang kenapa hatinya begitu malas bila teringat wajah Asya. Ya.. karena dialah yang menyuruh Abra pergi dari kota ini ke luar negeri, padahal hubungan Sari sedang baik-baik saja.Gara-gara Asya juga, Sari harus menjalani hubungan secara kucing-kucingan.
"Apa mungkin ia sudah tahu kalau aku berpacaran dengan adiknya?" Tanya Sari menatap dinding putih ini.
Sari berpikir keras apa mungkin kalau bosnya itu mengetahui hubungannya dengan Abra dan sengaja menyuruh Abra untuk pergi agar hubungan mereka tak bisa dilanjutkan.
Sari bangkit dari tidurnya dan mengelus-ngelus dahinya, agar otaknya sedikit rileks. Dan Sari meraih cermin bulat kesayangannya.
"Memangnya aku ini buruk sekali?" Tanya Sari kesal pada cerminnya.
Ia terus menelisik setiap inci wajahnya, Membelai-belai rambut hitam indahnya. Dilihatnya wajah putih mulusnya, hidung yang tidak terlalu mancung dan tidak juga pesek serta dielusnya bibir pink muda yang sedikit tipis namun tetap menawan.
"Perasaan gak jelek-jelek amat deh," Sari meyakinkan dirinya sendiri.
Prakk.. Sari melemparkan cermin bulat itu di lantai, untung cermin itu tidak pecah. Dan kembali Sari merebahkan tubuhnya di kasur.
"Ginilah ya.. nasib orang biasa, gak pantes bersanding sama laki-laki kaya," ringis Sari.
Tak seperti biasanya jika sepulang bekerja Sari bergegas membersihkan diri dan merapikan kamarnya, tapi kali ini ia membiarkan barang-barangnya tergeletak di sembarang tempat, bahkan seragam kerja yang sejak pagi menempel di tubuhnya, ia biarkan tetap melapisi badannya.
Nampaknya kegalauan Sari terusik kembali, hingga ia tak peduli dirinya saat ini.
"Awas saja jika memang benar kalau dia sengaja menyuruh Abra pergi karena tahu akan hubungan kami, menyebalkan!!" Dengus Sari menggertakkan gigi-giginya.